Jump to ratings and reviews
Rate this book

Modjokuto #1

The Region Of Java

Rate this book
'The Religion of Java makes new and important contributions to our understanding of Javanese life; it is well-documented; it is clearly written; it is perceptively and creatively conceived.' The Religion of Java will interest specialists in Southeast Asia, anthropologists and sociologists concerned with the social analysis of religious belief and ideology, students of comparative religion, and civil servants dealing with governmental policy toward Indonesia and Southeast Asia.

Paperback

First published January 1, 1960

56 people are currently reading
830 people want to read

About the author

Clifford Geertz

87 books238 followers
Clifford James Geertz was an American anthropologist and served until his death as professor emeritus at the Institute for Advanced Study, Princeton, New Jersey.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
113 (39%)
4 stars
108 (37%)
3 stars
52 (18%)
2 stars
9 (3%)
1 star
5 (1%)
Displaying 1 - 30 of 31 reviews
Profile Image for Individualfrog.
193 reviews44 followers
June 7, 2018
A wide-ranging look at the fascinatingly diverse syncretic melange of religion in Java. Inevitably the most interesting part to me was at the beginning, about the "folk" religion Geertz calls the abangan strain. Later chapters on the santri, more self-consciously Muslim, strain (which is as much about political party organization as religious practice) and prijaji, aristocratic mystic tradition (which gets into linguistic levels of politeness, interestingly similar to Japanese which I speak somewhat, and is rather vague about the actual mysticism) are also interesting but less immediately so. Plenty to ponder. Now I want one about Bali, which maybe will have less of the strangeness of culture heroes who brought Islam as well as the wayang and batik dyeing to Java, but perhaps therefore more of the so-called 'folk religion' which I find so satisfying and interesting.
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
September 24, 2021
MOJOKUTO

CERITA kali ini dari catatan harian seseorang di suatu kota kecil di Jawa. Siapa saja, katanya, akan mudah mengenal tipikal kota kecil itu: “pohon beringin, dengan patung Hindu di bawah naungannya, tumbuh di tengah alun-alun; sekelompok kantor pemerintahan di sekitar rumah wedana dengan pendapa dan halamannya yang luas; sederetan gudang-gudang dan toko-toko Cina yang terbuka bagian depannya dan berkain tenda; pasar terbuka yang luas dengan bangsal-bangsal seng yang karatan dan kedai-kedai kayu..”.

Lebih dari 50 tahun yang lalu catatan harian itu dianalisis, dan dibukukan. Mungkin kita bisa menyebut catatan ini sebagai catatan tentang konflik, antara santri, abangan, dan priyayi—di dalamnya ada percekcokan, ketegangan, pertentangan dalam suatu kehidupan sosial.

Abangan: “kalau kita tidak punya apa pun buat makan, kalau kita mencuri dan melakukan kejahatan, kalau kita terganggu perasaan, maka kita ada dalam neraka saat ini…kaum santri memeluk agama Arab tapi kami tidak setuju dengan itu. Yang penting bukanlah mengaji dan sebangsanya, tetapi berlaku baik, tidak mencuri, dan sebagainya…”

Priyayi: “mereka pergi bersembahyang di Tanah Suci, lalu pulang lagi ke sini, dan sangat dihormati. Tetapi nyatanya mereka tidak melakukan sesuatu yang pantas dihormati, karena tempat suci yang sebenarnya adalah di dalam batin. Saya naik haji ke situ. Tak ada perlunya kita naik haji ke kota Mekah kalau kita bisa menemani Tuhan di dalam batin sendiri.”

Dalam The Religion of Java itu, permusuhan abangan dan priyayi yang keras ditujukan ke arah “moralisme santri lebih-suci-daripadamu”. Tapi kaum santri pun tak kalah keras: mereka menuduh kaum abangan sebagai “penyembah berhala” dan priyayi yang takabur dengan “tak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan”.

Antagonisme seperti itu, seperti telah di-introduksi sang penulis dengan mengutip Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies (The Hague and Bandung, 1955), telah ada sejak masa pertikaian antara kerajaan Mataram di Jawa Tengah dan kerajaan-kerajaan pantai utara, paling tidak sejak abad keenam belas dan ketujuh belas. Priyayi dan santri tak sepakat dalam banyak hal dan petani memendam benci terhadap aristokrat yang eksploitatif serta kaum pedagang santri.

Seseorang itu, Clifford Geertz, yang meneliti ‘Mojokuto’—sebagai nama samara kota Pare di Jawa Timur—toh menemukan hal-hal yang mampu meredakan konflik. Keseluruhan cerita dalam bukunya tak hanya tentang “kekuatan yang memecah” yang bisa menjadikan perang “semua melawan semua”. Di antara yang meredakan konflik adalah suatu rasa satu budaya—baik dalam kosakata agama tradisional atau nasionalisme modern—, toleransi yang berdasar “relativisme kontekstual”, pertumbuhan mekanisme sosial bagi bentuk integrasi sosial nonsinkretik yang pluralistic, serta tipe campuran sebagai mediator.

Mengenai campuran ini Dr. Geertz melihat: “seorang santri yang berkedudukan tinggi seringkali lebih mirip dengan seorang priyayi daripada seorang santri yang rendah kedudukannya. Seorang abangan yang, kalau kiita baurkan kemungkinan, berhasil di bidang usaha, sangat mungkin memandang segala sesuatu menurut cara santri sampai suatu tingkat tertentu, meskipun mereka tidak sembahyang. Dan bagi seorang santri, sebagaimana halnya semua orang Jawa, tetangga adalah tetangga, walaupun ia membakar kemenyan untuk para dewa”.

Pada akhirnya istilah-istilah santri, abangan, priyayi, ‘bukan kategori-kategori absolut’, meskipun Dr. Geertz sendiri memberi kesan kategori-kategori yang tegas dalam memberi judul tiap-tiap istilah tersebut dan membahasnya secara keseluruhan dalam konflik maupun integrasinya.

Hal lain adalah bahwa tidak berarti bahwa ketiga golongan itu merupakan kategori-kategori dari satu tipe klasifikasi: antara abangan dan santri lebih kepada perilaku keagamaan, dan priyayi adalah suatu kelas sosial tertentu—seorang priyayi, maka dari itu, adalah seorang santri bila taat agama, dan abangan bila sebaliknya.

Tentu masa kini telah berbeda dengan 50 tahun yang lalu. Kini seorang anak petani, yang lekat dengan abangan ala Geertz, yang pintar, dapat saja kemudian menjadi seorang pejabat tinggi BUMN atau menteri, seorang priyayi, bahkan santri yang taat agama sekaligus. Kita membaca tetralogi Laskar Pelangi dan takjub bahwa seorang anak pendulang timah miskin yang tak bisa aksara mampu menamatkan studi sampai ke Paris. “Variasi kebudayaan” berkembang dan berganti dengan cepat.

Masa depan makin tak bisa ditebak. Tapi dari yang “tak bisa ditebak” itu orang-orang juga percaya bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi secara kebetulan. Dan hidup dan nasib, kata seorang ilmuwan, kadang tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis. Yeah.
Profile Image for Brasukra Sudjana.
32 reviews
February 28, 2021
I reread this book after a couple of decades. Still a great reference for a deconstruction of Javanese society and how much has or has not changed in 65 years. The grouping of peasant (abangan), religious urban merchant class (santri, and urban aristocrats (priyayi) may seem simplistic. But Clifford Geertz, in several places throughout the book, provided a caveat that the interactions and conflicts among and within the three groups were quite dynamic. In addition, recent research also shows this division is largely universal in other societies.

What is interesting for me is to read this book against today's political development in Indonesia, esp. since the book was written before Indonesia’s first elections in 1955. First, the santri group has become more diversified and strong at the same time. The traditional division between conservative NU and modern and progressive Muhammadiyah has seen competition from new and more politically militant groups in the past 30 years, among others from the Justice and Welfare Party PKS. These new strands of santri are making headway at the expense of the abangan group, especially since the abangan group is becoming more urban and exposed to modern but more fundamental Islamic movements.

And the political battleground is increasingly fought on the basis of these identities. What kind of Indonesians are we? And if we're Moslem, what kind of Moslem? It's easy to be skeptical and think that the Islamists are making rapid strides. But these movements are also very diversified across different shades of ideology.

Indonesia, however, has had different leaders from all the Geertz categories - presidents from santri, priyayi, and abangan background.
Profile Image for Kathleen.
Author 9 books9 followers
February 19, 2009
First book I read on Indonesia as an undergraduate student...got me hooked!
Profile Image for Δάσκαλος.
146 reviews
February 13, 2021
Buku ini menarik, tetapi bahasanya cukup sulit dicerna. Selain memaparkan apa yang ditemui oleh penulis di Modjokuto, buku ini juga dilengkapi dengan dua esei kritik yang dilampirkan di bagian belakang buku.

Beberapa pembahasan yang saya anggap menarik selama membaca buku ini meliputi: danyang (hlm. 23) yang juga membahas tentang pulung (hlm. 24), jenis slametan kelahiran (hlm 42), tiga jenis nama anak (hlm. 55), larangan berhutang untuk menggelar slametan (hlm. 83), Satu Sura sebagai hari raya Buddha daripada Islam (hlm. 103), jenis-jenis dukun (hlm. 117), jenis-jenis sihir (hlm. 149), sihir biasanya dipraktikkan pada orang dekat (hlm. 153), konflik NU dan Muhammadiyah (hlm. 239), NU mendistribusikan daging kurban untuk pertama kalinya pada 1954 (hlm. 253), mistik Islam empat tahap (hlm. 263), konsep "rasa" (hlm. 343), orang yang tercerahkan rohaninya menjaga keseimbangan psikologisnya dan stabilitas ketenangannya (hlm. 345), andap-asor untuk persaingan menjadi yang paling rendah (hlm. 351), etiket berbahasa (hlm. 358), tingkat bahasa tinggi memunculkan kesan kemegahan kenegaraan (hlm. 363), melek huruf dikaitkan dengan bahasa Indonesia saja (hlm. 372), sléndro untuk wayang Mahabarata dan Ramayana dan pélog untuk kisah kerajaan Hindu Jawa (hlm. 402), tembang (hlm. 403), jogèd vs dangsah (hlm. 407), Yogyakarta vs Solo (hlm. 408), tidak ditekankannya lagi seni Jawa pada mata pelajaran menandai berakhirnya masa "sekolah pribumi" (hlm. 413), seni alus semakin menjadi milik kaum ningrat dengan menguatnya hiburan Barat (hlm. 415), ludruk dianggap banyak merusak rumah tangga (hlm. 426), amuk sebagai penyakit jiwa karena agama (hlm. 463), Sunan Kalijaga sebagai tokoh mitologis (hlm. 469), penyempurnaan emosi pribadi adalah sebuah usaha sosial (hlm. 482), Kejawen atau Jawaisme (hlm. 508), persoalan keagamaan menjadi persoalan politis (hlm. 523), aboge (hlm. 548), pluralisme peranan agama (hlm. 579), Sosrokartono adalah saudara Kartini yang merupakan dukun terkenal di Bandung (hlm. 600). Sebetulnya banyak pembahasan yang lain, tetapi kurang atau tidak menarik bagi saya.

Kutipan yang saya anggap menarik.
Pulau [Jawa] itu lebih lama mengalami peradaban daripada Inggris yang selama lebih dari 1500 tahun telah menyaksikan orang-orang India, Arab, Cina, Portugis serta Belanda, datang dan pergi.
(hlm. xxxiii)

Buku bacaan yang mungkin menarik.
* Seno-Sastroamidjojo, R.A. 1948. Tentang Obat Asli Indonesia. Jakarta.
Profile Image for anis Ahmad.
47 reviews12 followers
January 22, 2008
santri, abangan, dan priyati, adalah tipologi yang dikenalkanoleh geertz tentang bagaimana perkembangan masyarakat islam di jawa. konsepnnya ini bukan lah satu stratifikasi, melainkan diferensiasi, artinya bahwa itu merupakan satu hal yang bukan dilakukan untuk memasukkan manusia ke dalam klas dan memiliki status yang vertikal, melainkan lebih cenderung ke arah horisontal. akan teapi perlu dipahami bahwa tipologi tersebut tidaklah bersifat ajeg kepada satu orang, buktinya ada semacam pergeseran pandangan dan mind-set tentang sebagian ornag, ketika ia muda menjadi abangan atau priyayai,teetapiketika tua menjadi santri. tapi yang jelas buku ini sungguh menambah khazanah pemikiran saya sebagai pendidik dan pegnamat masalah sosial dan budaya
thanks geerz
Profile Image for Anjar Priandoyo.
309 reviews14 followers
December 2, 2018
This book is based on Clifford Geertz (b1926) PhD Thesis, written between 1951-1952 and submitted in 1956. I certainly admire his effort to document the Javanese culture and provide as most important sources into the understanding of Javanese.

However as this is a scientific document, we also need to see the methodology that he used in his study. As a trained anthropologist he used the Thematic Apperception Test (TAT), the best he can do to obtain understanding. His theory is that culture is more complicated as so many symbols that used. So this should not be seen as right or wrong but as the beginning of more in-depth research in Indonesian culture.

The most important lesson that I learn from this book is I think is written in the last part of this book where he mentions about conflict and integration, especially in term of changes. The abangan, santri and priyayi most likely will "no longer operate with traditional effectiveness and forced contact between the two world-views occur"

This book consists of three parts (1) Abangan (2) Santri and (3) Priyayi. Part 1 is very detail, describing the javanese culture, as Indonesian, I learned more about javanese culture from this book, if the purpose of science is to preserve humanity then Geertz already make big achievement here. Part 2 is complicated as it tries to contrast between traditional NU and modernist Muhammadiyah. Part 3 is clearer as it try to contrast an art aspect from traditional abangan and educated priyayi.
Profile Image for Salma.
69 reviews1 follower
May 8, 2021
Buku ini dapat menjadi pegangan bagi mahasiswa budaya yang tertarik dengan simbol, agama, dan kebudayaan Jawa yang dituliskan secara etnografi. Sang penulis —Geertz— adalah Antropolog yang karyanya memiliki banyak setting pada kebudayaan Jawa dan Bali. Seperti biasa, dalam tulisannya ia tidak pernah lupa untuk menguraikan simbol dan makna. Kali ini, dalam buku 604 halaman Geertz mengklasifikasi kemudian menguraikan makna dari simbol dalam berbagai ritus peralihan orang Jawa dari berbagai kelas sosial (:abangan, santri, dan priayi). Buku ini membuat saya merasa Jawa yang tidak Jawa. Lucunya buku ini menjadi panduan saya mengenali jenis-jenis lelembut (mahluk halus) dalam kebudayaan Jawa. Sebuah buku ringan yang menyenangkan untuk dibaca siapapun!
Profile Image for rekasakti.
25 reviews9 followers
December 11, 2018
Penelitian Geertz dimulai sekitar tahun 1950. Lalu, diterbitkan menjadi buku pada tahun 1985. Konon, karya ini menjadi populer pada waktu itu. Buku yang tebalnya bisa menggantikan bantal ini memang memberi kontribusi yang perlu. Namun, lebih perlu lagi dilakukan penelitian yang serupa pada zaman ini. Orang-orang berubah, demikian budaya.
Profile Image for Mike Walczak.
70 reviews
April 18, 2021
I finally got around to reading this 1950's work of Geertz. The book is full of interesting notes from a full scale American English investigation of Javanese culture and religion and I increased my knowledge of Javanese culture and language. I think I may have to read "The Interpretation of Cultures" and "Islam Observed" in the future.
Profile Image for Nanas Firmansyah.
74 reviews11 followers
March 20, 2020
Selama dua semester, buku ini menjadi bacaan acuan yg disarankan. Terutama mata kuliah pengantar antropologi. Merasa sudah mabuk, namun puja puji dosen saya tetap tertuju pada buku ini. Menurut saya pribadi dalam sudut pandang antropologi, buku ini memang membantu.
92 reviews2 followers
July 4, 2020
Buku yang menurut saya menggambarkan realitas masyarakat jawa pada umumnya. Walapun dalam penelitiaanya Geertz memiliki keterbatasan dalam metodologi, proses maupun hasilnya namun review dari Prof. Harsja Bachtiar telah melengkapinya melalui kritik dengan baik.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Repa Kustipia.
27 reviews1 follower
April 2, 2022
Buku etnografi kritis yang mudah diikuti alurnya, santri, abangan, dan priyayi yang tercipta sebutannya memberikan pengaruh besar bagi status sosial masyarakat jawa.
Karakteristik dari setiap golongannya sangat detil dijelaskan berikut kejadiannya.
Profile Image for Wahyudi.
15 reviews5 followers
November 3, 2007
Meski banyak orang mengatakan, buku ini merupakan hasil studi intuisionisme gertz, di mana riset yang dia lakukan, sekedar menjadi penguat emirisme ilmiahnya, namun buku ini mampu memberikan gambaran awal tentang jawa, yang feodal dan sedikit abangan, dengan polesan santri di beberapa sisinya.
Buku ini memang penuh dengan nuansa orientalis, yang memposisikannya menjadi sedikit tidak objektif, sejajar dengan karya Snouck Hourgronje tentang Aceh, buku ini tentunya disusun dalam rangka kepentingan kolonialisme. Namun demikian, kita patut berterimaksih dengan almarhum Gertz, seorang indonesianis kenamaan, yang telah memperkenalkan study jawa ke dunia luas.
Profile Image for jochem.
4 reviews2 followers
May 27, 2010
I appreciate the tremendous wok that has crept into the writing of this book. I especially enjoyed the many notes or quotes from the conversations Geertz has with his "informants". On the whole I am not convinced by Geertz's analysis. He offers no proof whatsoever that there is an Abangan and Priyayi religion. Besides his annoying habit of using concepts such as religion, tradition, mysticism, ideology, syncretism, tolerance, in a fuzzy and sometimes interchangeable manner there is a complete lack of theory to support his contention that there is Javanese (i.e. Abangan or Priyayi) religion.

Profile Image for Lutfi Retno.
Author 2 books14 followers
July 22, 2007
aku suka cara dia nulis. tapi aku engga setuju sama caranya menginterpretasikan orang jawa. seenaknya aja ngebagi-bagi orang jawa dalam tiga golongan. trus, kayaknya aneh aja kalo dia neliti tentang priyayi di pare.
83 reviews2 followers
August 23, 2011
it's one of the hallmark Geertz made in his work, perhaps even the most recognized one, at least among Indonesianist. but, as has been noted by many critics, his rich elaboration has simplify the diverse accents of Islam as embraced by Javanese people.
Profile Image for Justin Hargrave.
130 reviews
April 26, 2014
Not a lightweight read, lots of great information and stories to illustrate his findings. A good reference on a highly specialized topic.
Profile Image for S.
73 reviews
April 27, 2015
This book was modern in its time. Nowadays the santri's "fanaticism" seems mild compared to contemporary extreme practice in the name of religion.
Profile Image for Wiji Suprayogi.
28 reviews1 follower
February 27, 2011
sampai sekarang masih diperdebatkan tapi masih juga dibaca dan dipelajari..
Profile Image for Shobahul.
1 review
Read
April 26, 2012
I want to read this book !!!
How can I read it?
Profile Image for Musrifah Arfiati.
81 reviews11 followers
April 24, 2017
Buku yang saya baca adalah versi terjemahan, di mana judulnya juga sedikit agak berbeda yaitu; Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa. Buku terjemahan ini terbitan tahun 1980-an, tapi untung saja susunan gramatika bahasa Indonesianya masih mirip-mirip dengan bahasa Indonesia masa kini. Halah.

Buku ini adalah hasil penelitian program doktoral Dr. Clifford Geertz yang mengambil tempat di sebuah kota kecil dengan nama samaran Mojokuto. Di Mojokuto inilah, Dr. Clifford Geertz mengklaim bahwa terdapat tiga bentuk 'agama' yang dianut oleh orang Jawa yaitu, abangan, santri, dan priyayi.

Namun, terminologi 'bentuk agama' yang dipakai Dr. Geertz ini agak kurang tepat, menurut saya. Saya menganggap bahwa abangan, santri, dan priyayi adalah bentuk kebudayaan dari masyarakat Jawa sendiri. Lebih tepatnya mungkin, jenis kelompok kultural. Saya lebih meyakini bahwa abangan, santri, dan priyayi adalah tiga kelompok kultural yang membagi masyarakat Jawa.

Ketiga kelompok kultural yang dijabarkan Dr. Geertz, menurut saya sebagai orang Jawa, hampir mendekati dengan cara pandang orang Jawa. Namun, tentu saja hasil laporan Dr. Geertz ini juga masih memiliki kekurangan di sana-sini. Ada hal-hal yang dikemukakan oleh Dr. Geertz keliru dan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Saya mafhum, karena mungkin saja dalam pemilihan informan sebagai narasumber kurang representatif. Bisa saja, narasumber tersebut memberikan informasi yang cenderung subjektif sehingga bisa ditafsirkan lain oleh Dr. Geertz sendiri.

Secara umum, saya senang dengan deskripsi detail mengenai variasi kultural dari masing-masing kelompok tersebut. Saya jadi lebih memahami apa yang sebelumnya saya tidak pernah ketahui. Misalnya, kandungan nilai filosofi yang tinggi dalam bentuk-bentuk kesenian 'alus' Jawa seperti; wayang, gamelan, tembang, dan batik. Ada pula penjelasan mengenai aliran kejawen yang muatan filsafat Jawa-nya kental sekali. Ketika saya mendapat mata kuliah Psikologi Budaya Jawa saat kuliah dulu, saya pernah membaca mengenai teori psikologi dari seorang filsuf Jawa, Ki Ageng Suryomentaram. Beliau pulalah yang mencetuskan aliran mistik Kawruh Beja yang kelompoknya banyak tersebar di Pulau Jawa.

Satu lagi, di buku versi terjemahan yang saya baca juga terdapat lampiran komentar dari Harsja W. Bachtiar mengenai buku The Religion of Java ini. Saya hampir setuju dengan komentar beliau. Saya menyetujui komentar beliau yang menyatakan bahwa, jika dilihat dari sistem kepercayaan, masyarakat Jawa hanya ada dua jenis yaitu santri dan abangan. Santri adalah orang yang taat dalam menjalankan agama sesuai kitab suci, sedangkan abangan adalah kebalikannya. Sedangkan priyayi, bisa saja disebut priyayi-santri jika ia adalah seorang yang taat agama dan mau menjalankan perintah agama dengan baik, dan bisa saja menjadi priyayi-abangan jika kurang peduli masalah kehidupan beragama.
Profile Image for Hakam N.
29 reviews1 follower
November 1, 2017
Terlepas dari segala kritiknya, aku suka buku ini
Displaying 1 - 30 of 31 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.