Kecapekan

Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta. Tahun 2014 adalah tahun pemilihan yang paling brutal — brutal dalam wujud kata-kata — sepanjang sejarah kita sejak 1945. Dalam proses yang sengit ini, hampir tiap saat kita mendengarkan “fakta” yang dikatakan untuk diputar-balikkan, bantahan-bantahan yang tak berniat mencari apa yang benar, dan cepat atau lambat, meruyaknya saling tidak percaya — bahkan kebencian. Bersama itu: hilangnya percakapan yang serius.


Percakapan yang serius mengandung keinginan untuk saling mendengarkan, meskipun tak harus untuk saling setuju. Percakapan yang serius tak berarti percakapan tanpa humor; bahkan humor bisa penting di situ. Dalam percakapan yang serius ada asumsi bahwa kata-kata punya sebuah kekuatan, dalam bunyi dan makna, dalam pikiran dan perasaan — kekuatan yang kadang-kadang disebut disebut “maksud”. “Maksud” dalam bahasa Indonesia bisa berarti “makna”, bisa juga berarti “intensi”. Tapi ketika dusta begitu sering diucapkan, maksud pun hanyut — dan kadang-kadang tenggelam — dalam arus bunyi yang desak-mendesak yang dalam gramatika disebut (untuk memakai ucapan Hamlet yang kesal), “kata, kata, kata…”


Mark Twain pernah mengatakan, perbedaan antara dusta dan kucing ialah bahwa kucing hanya punya sembilan nyawa. Dusta, dengan kata lain, jauh lebih sulit mati. Ia hanya bisa dihentikan oleh lawannya yang sering disebut sebagai “kebenaran”. Tapi kebenaran, apapun definisinya, tampaknya kini sudah kecapekan sebelum berhasil mengejar dan menghajar kebohongan.


Pelan-pelan, sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta, sebuah masyarakat yang tak bisa lagi bercakap-cakap secara serius, akhirnya mirip sebuah koleksi suara berisik yang sebenarnya tak berkata apa-apa. Kita seakan-akan bagian lakon televisi yang disajikan Samuel Beckett: tidak ada lagi dialog. Bahasa sudah habis. Dalam Quad, kita akan melihat para aktor bergerak di pentas dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Kata-kata hanya ditulis Beckett sebagai arahan pementasan. Deleuze membahas lakon tanpa-kata itu dengan judul l’Épuisé, “yang kehabisan tenaga”. Tak ada lagi tenaga untuk saling menyapa. Setidaknya oleh Beckett bahasa ditunjukkan sebagai bagian dari keadaan yang lebih runyam ketimbang sekedar lelah.



Tapi kita tahu, kita tak mungkin hidup tanpa bahasa. Kita mustahil kembali ke sebuah masa pra-linguistik, sebelum bahasa dipergunakan, sebab masa itu tak pernah ada. Realitas yang kita kenal bukan saja disebut dengan bahasa, tapi bahkan dikonstruksikan bahasa — apapun bentuknya. Dalam keadaan “kehabisan tenaga” verbal, kita tahu ada bahasa bunyi, ada bahasa imaji, ada bahasa isyarat. Seorang “bisu” yang dibuang ke sebuah pulau hukuman selama bertahun-tahun, seperti ditunjukkan catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, justru seorang yang mengutarakan banyak hal.


“Bisu” di situ berarti penampikan: menampik bahasa kekuasaan yang membekukan pikiran dan tafsir, menolak bahasa yang memenjarakan hidup dan percakapan ke dalam label dan identifikasi, (“Gestapu”, “Golongan A”) atau melawan bahasa yang memutar-balikkan pengalaman (“Tefaat”, akronim dari “tempat pemanfaatan”, sesungguhnya adalah tempat penyekapan). “Bisu” dalam hal ini mirip dengan yang disebut Deleuze sebagai “gagap”, bégaiement, satu ekspresi yang menyanggah “imperialisme” bahasa yang membekukan gerak dan arus makna.


Dengan kata lain, ada sebuah alternatif ketika percakapan kehabisan tenaga verbal. Tapi saya tak tahu apa jadinya jika masyarakat yang kecapekan oleh dusta kemudian kehabisan asumsi bahwa saling percaya adalah satu hal yang mungkin. Ketika fitnah diproduksi dan disebarkan bertubi-tubi — tak jarang oleh mereka seharusnya dipercaya, yakni tokoh agama — ketika orang saling menyidik apakah tetangganya “kristen”, “zionis”, “teroris”, “Islam fundamentalis”, “neo-lib” atau “komunis”, ketika itulah dunia kehidupan lumpuh. Polisi menggantikan Politik: pengawasan menggantikan ikhtiar bersama.


Dalam keadaan itu, yang tersirat dari Quad — apapun maksud Beckett dengan lakon yang ditulisnya — mengingatkan situasi itu: di atas pentas, empat sosok berkerudung bergerak di bidang bersegi empat, tak punya nama, asal-usul, dan percakapan. Masing-masing hanya tampak beda dari warna jalabiahnya dan bunyi perkusi yang mengantarnya masuk. Mereka semua menyembunyikan identitas, karena mereka tak mau diawasi dan diberi label. Atau sebaliknya, mereka semua telah jadi serupa: penghuni-penghuni yang dicurigai, penghuni-penghuni yang saling mencurigai.


Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang macam itu: kecapekan fitnah dan dusta.


Goenawan Mohamad


7 Juli 2014

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 25, 2014 09:21
No comments have been added yet.


Goenawan Mohamad's Blog

Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Goenawan Mohamad's blog with rss.