Anggun Prameswari's Blog, page 4
May 27, 2014
INI DIA CERPEN-CERPEN #KuisUltahAnggun
Wah, kepesertaan #KuisUltahAnggun ditutup. Senang banget ternyata banyak yang ikut, memberanikan menjajal kemampuannya dalam menulis. Mungkin pesertanya tidak sebanyak lomba menulis sekelas nasional, tapi aku sangat amat terharu karena di luar sana ada beberapa orang yang menyediakan waktu, tenaga, dan biaya untuk menuliskanku cerpen.
Sesuai dengan perjanjian, pengumuman pemenang akan diumumkan tepat saat ulang tahunku. Dan di sini akan kupampang nama-nama mereka yang mengirimkan cerpennya untuk #KuisUltahAnggun sebagai bentuk apresiasiku. Duh kalian keren-keren banget. Cium satu-satu ya untuk kalian.
Here we go, peserta #KuisUltahAnggun adalah... *drumrolls*
1. Ilam-ilam oleh Djamall
2. Syndrome Selfie oleh Ika Candra
3. Life After You oleh Dian S. Putu Amijaya
4. Tentangku, dan Tubuhku yang Mencintaiku oleh Ifa A. Inziati
5. Kertas-kertas Terbang oleh Fina Lanahdiana
6. Menunggu Ia Pulang oleh Cikie Wahab
7. Tiga Cinta, Seanggun Namamu oleh @Beningza
8. Duo Plasenta oleh Alifah Aisyah
9. I am Happy oleh Kinanthi Rosyana
10. Buku Baru oleh Alina Raengkutty
11. Huruf yang Memerangkap oleh Aris Setiawan
12. Jantung Hati oleh Agustin Sudjono
13. Jendela Kaca oleh Riska Pratiwi
14. Vendetta oleh Eni Lestari
15. Bukan Untukku oleh Sri Maryani
16. Sepasang Kaki untuk Hadiah Ulang Tahun oleh Fatulconfuse
17. Anggun dan Sebuah Pencarian oleh Fitriyah
18. Chumi oleh Hasna Fauziah
19. Tentang Anggun dan Cintanya oleh Adek Syefri Anidar
20. Pacarku Istri Papaku oleh Witri Prasetyo Aji
21. Dosa oleh Marcella Ismanto
22. (Bukan) Salah Ibu oleh Diana Mahmudah
23. Untuk Anggun oleh Annisa Maharani
24. Sebut Saja Mawar oleh Puthut Kurniawan
25. Sang Penari oleh Puput Palipuring Tyas
26. Perempuan Liong oleh Putri Widi Saraswati
27. Rivalku, Cintaku oleh Diana Aprila
28. Kejutan Menikah oleh Husna Linda Yani
29. Kafe Serabi oleh Ade Ubaidil
Voillaa... itu dia cerpen-cerpen #KuisUltahAnggun. Demi Semesta yang Penuh Misteri, jumlah cerpen yang masuk pas dengan jumlah usiaku tahun ini. Alhamdulillah, kebetulan atau takdir?
Oke, rekapitulasi selesai. Sekarang waktunya penjurian dimulai. Semoga cerpen yang terbaik menang.
Sekali lagi terima kasih atas partisipasinya. Sampai jumpa lagi di tanggal 3 Juni, saatnya pengumuman cerpen terbaik.
*kecup*
*masuk gua lagi*
Sesuai dengan perjanjian, pengumuman pemenang akan diumumkan tepat saat ulang tahunku. Dan di sini akan kupampang nama-nama mereka yang mengirimkan cerpennya untuk #KuisUltahAnggun sebagai bentuk apresiasiku. Duh kalian keren-keren banget. Cium satu-satu ya untuk kalian.
Here we go, peserta #KuisUltahAnggun adalah... *drumrolls*
1. Ilam-ilam oleh Djamall
2. Syndrome Selfie oleh Ika Candra
3. Life After You oleh Dian S. Putu Amijaya
4. Tentangku, dan Tubuhku yang Mencintaiku oleh Ifa A. Inziati
5. Kertas-kertas Terbang oleh Fina Lanahdiana
6. Menunggu Ia Pulang oleh Cikie Wahab
7. Tiga Cinta, Seanggun Namamu oleh @Beningza
8. Duo Plasenta oleh Alifah Aisyah
9. I am Happy oleh Kinanthi Rosyana
10. Buku Baru oleh Alina Raengkutty
11. Huruf yang Memerangkap oleh Aris Setiawan
12. Jantung Hati oleh Agustin Sudjono
13. Jendela Kaca oleh Riska Pratiwi
14. Vendetta oleh Eni Lestari
15. Bukan Untukku oleh Sri Maryani
16. Sepasang Kaki untuk Hadiah Ulang Tahun oleh Fatulconfuse
17. Anggun dan Sebuah Pencarian oleh Fitriyah
18. Chumi oleh Hasna Fauziah
19. Tentang Anggun dan Cintanya oleh Adek Syefri Anidar
20. Pacarku Istri Papaku oleh Witri Prasetyo Aji
21. Dosa oleh Marcella Ismanto
22. (Bukan) Salah Ibu oleh Diana Mahmudah
23. Untuk Anggun oleh Annisa Maharani
24. Sebut Saja Mawar oleh Puthut Kurniawan
25. Sang Penari oleh Puput Palipuring Tyas
26. Perempuan Liong oleh Putri Widi Saraswati
27. Rivalku, Cintaku oleh Diana Aprila
28. Kejutan Menikah oleh Husna Linda Yani
29. Kafe Serabi oleh Ade Ubaidil
Voillaa... itu dia cerpen-cerpen #KuisUltahAnggun. Demi Semesta yang Penuh Misteri, jumlah cerpen yang masuk pas dengan jumlah usiaku tahun ini. Alhamdulillah, kebetulan atau takdir?
Oke, rekapitulasi selesai. Sekarang waktunya penjurian dimulai. Semoga cerpen yang terbaik menang.
Sekali lagi terima kasih atas partisipasinya. Sampai jumpa lagi di tanggal 3 Juni, saatnya pengumuman cerpen terbaik.
*kecup*
*masuk gua lagi*
Published on May 27, 2014 04:36
May 8, 2014
Mari Rayakan Ulang Tahunku
Nggak terasa sebentar lagi aku akan merayakan ulang tahun. Belum, aku belum tiga puluh. Bulan depan aku akan genap berusia 29. Tua? Belum tentu. Jadi ingat perkataan seorang teman, Neng Farah namanya. Dia pernah bilang: "Kalau ditanya umur, jawablah dengan kata baru, bukan sudah."
"Jadi, umurmu berapa?"
"Ah, aku baru dua sembilan."
Dan, untuk merayakan ulang tahunku bulan depan, aku pengin bagi-bagi hadiah nih. Aku akan berikan paket hadiah cantik berisi:
1 novel #AfterRain bertandatanganku
1 kumcer #KedaiBianglala bertandatanganku
plus... voucher senilai Rp.100.000,- dari Gramedia (ulalaaa...)
Tidak menutup kemungkinan kalau akan ada tambahan hadiah lainnya kalau aku sukses merayu-rayu beberapa pihak untuk jadi sponsor.
Caranya?
Yang pasti nggak gampang, tapi juga nggak susah.
Tulis cerpen untukku (ya iyalah, penulis dikadoinnya dengan cerpen, masa dikadoin pacar-dalam-selimut)
Syarat-syaratnya:
1. Tokoh utama harus bernama ANGGUN. (suka-suka gue ya, kan gue ini yang ultah) Tapi nggak perlu dimirip-miripin sama aku ya. Karakterisasinya boleh bebas kalian kembangkan sendiri.
2. Panjang cerita antara 5.000 - 10.000 karakter termasuk spasi, diketik di kertas ukuran A4, spasi 1,5 dengan margin atas-bawah-kiri-kanan 1 inchi. Kalau sesuai dengan format ini biasanya cerpennya akan jadi sepanjang 3-6 halaman.
3. Genre roman depresi. (aih, matek!)
Apa itu roman depresi? Kisah percintaan yang bikin depresi. Tidak harus selalu antara kekasih, tapi bisa kakak-adik, orangtua-anak, guru-murid, gadis kecil-bonekanya, dll. Cinta tak selalu antara sepasang kekasih kan? Semakin kamu eksplor dan berpikir out of the box, semakin menambah nilai plus.
4. Settingnya harus Indonesia. Kalau kalian mengangkat tema lokal, malah lebih bagus. Tapi jangan sampai jadi senjata makan tuan dan tempelan semata. Cek lagi. Budaya lokal itu harus menyatu dengan esensi cerita. Cara tahunya dari mana? Kalau budaya yang kalian gunakan itu diganti dengan budaya lain, kemudian tidak mengubah esensi cerita, itu artinya kalian gagal mengangkat budaya lokal.
5. Cerpen dikirim ke alamat emailku [email protected] cerpen dilampirkan, bukan diketik di bodi email dalam format MS Word (extension boleh .doc, .docx, .rtf). Setelah kirim, mention aku (@mbakanggun) di TL twitter dengan hashtag #KuisUltahAnggun
6. Tenggat 23 Mei 2014 pukul 00:00
7. Pengumuman pemenang 3 Juni 2014 pas ulang tahunku. Tapi jamnya entah hahahaha...
8. Lomba ini tertutup bagi keempat nama berikut: Yetti A.Ka, Guntur Alam, Faisal Oddang, Emil Amir *siap-siap ditoyor*
Oke. Sekarang siapkan cerpenmu. Tuliskan kado terbaikmu untukku.
Salam cium,
Anggun Prameswari
"Jadi, umurmu berapa?"
"Ah, aku baru dua sembilan."
Dan, untuk merayakan ulang tahunku bulan depan, aku pengin bagi-bagi hadiah nih. Aku akan berikan paket hadiah cantik berisi:
1 novel #AfterRain bertandatanganku
1 kumcer #KedaiBianglala bertandatanganku
plus... voucher senilai Rp.100.000,- dari Gramedia (ulalaaa...)
Tidak menutup kemungkinan kalau akan ada tambahan hadiah lainnya kalau aku sukses merayu-rayu beberapa pihak untuk jadi sponsor.
Caranya?
Yang pasti nggak gampang, tapi juga nggak susah.
Tulis cerpen untukku (ya iyalah, penulis dikadoinnya dengan cerpen, masa dikadoin pacar-dalam-selimut)
Syarat-syaratnya:
1. Tokoh utama harus bernama ANGGUN. (suka-suka gue ya, kan gue ini yang ultah) Tapi nggak perlu dimirip-miripin sama aku ya. Karakterisasinya boleh bebas kalian kembangkan sendiri.
2. Panjang cerita antara 5.000 - 10.000 karakter termasuk spasi, diketik di kertas ukuran A4, spasi 1,5 dengan margin atas-bawah-kiri-kanan 1 inchi. Kalau sesuai dengan format ini biasanya cerpennya akan jadi sepanjang 3-6 halaman.
3. Genre roman depresi. (aih, matek!)
Apa itu roman depresi? Kisah percintaan yang bikin depresi. Tidak harus selalu antara kekasih, tapi bisa kakak-adik, orangtua-anak, guru-murid, gadis kecil-bonekanya, dll. Cinta tak selalu antara sepasang kekasih kan? Semakin kamu eksplor dan berpikir out of the box, semakin menambah nilai plus.
4. Settingnya harus Indonesia. Kalau kalian mengangkat tema lokal, malah lebih bagus. Tapi jangan sampai jadi senjata makan tuan dan tempelan semata. Cek lagi. Budaya lokal itu harus menyatu dengan esensi cerita. Cara tahunya dari mana? Kalau budaya yang kalian gunakan itu diganti dengan budaya lain, kemudian tidak mengubah esensi cerita, itu artinya kalian gagal mengangkat budaya lokal.
5. Cerpen dikirim ke alamat emailku [email protected] cerpen dilampirkan, bukan diketik di bodi email dalam format MS Word (extension boleh .doc, .docx, .rtf). Setelah kirim, mention aku (@mbakanggun) di TL twitter dengan hashtag #KuisUltahAnggun
6. Tenggat 23 Mei 2014 pukul 00:00
7. Pengumuman pemenang 3 Juni 2014 pas ulang tahunku. Tapi jamnya entah hahahaha...
8. Lomba ini tertutup bagi keempat nama berikut: Yetti A.Ka, Guntur Alam, Faisal Oddang, Emil Amir *siap-siap ditoyor*
Oke. Sekarang siapkan cerpenmu. Tuliskan kado terbaikmu untukku.
Salam cium,
Anggun Prameswari
Published on May 08, 2014 06:18
March 19, 2014
WANITA DAN SEMUT-SEMUT DI KEPALANYA

Sungguh, tidak ada yang paham rumitnya isi kepala wanita itu. Termasuk sang suami yang mengencaninya selama enam tahun, lalu menikahinya selama enam tahun pula. Konon, pria itu tak kuat lagi menghadapi pikiran istrinya yang selalu rumit. Ia angkat kaki setelah ribut besar dan berkata, lantang sekali sampai sepenjuru gang mendengarnya; “otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”Para tetangga pun mulai bertaruh, apakah wanita itu akan merutuki nasibnya, atau kalap mencari suaminya ke sepenjuru kota; jika perlu mengetuk tiap pintu, atau mulai bertingkah tak waras. Namun, ia tetap melanjutkan hidup seperti tak terjadi apa-apa. Ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang sebelum senja; bekerja sebagai pustakawati di universitas swasta. Setiba di rumah, ia menyeduh teh serai lalu duduk di beranda untuk membaca buku. Tepat jam sembilan malam, ia akan masuk, mengunci pintu, dan mematikan lampu-lampu. Di hari Minggu, ia pergi ke pasar membeli bahan makanan layaknya istri pada umumnya. Lelah menerka, akhirnya mereka pun berhenti bertaruh.Sayangnya, semua berubah saat ia menemukan sepucuk suratyang lupa diambil dari kotak di dekat pagar. Pembantunya, yang memang cuma datang dua jam di pagi hari untuk cuci-seterika, mencuri pandang saat wanita itu membuka amplop dengan tangan bergetar hebat. Majikannya menatap kosong ke arah kertas, seakan matanya tengah mengunjungi tempat yang jauh. “Bu, kok pucat begitu?” dikumpulkannya nyali untuk bertanya.“Bik, bagaimana caranya membunuh semut?”“Hah?”“Kudengar ada kapur ajaib yang bisa mengusir semut?”Pembantu itu makin bingung.“Belikan selusin. Ah jangan, dua lusin saja.”“Banyak betul. Buat apa?”“Mengusir semut, untuk apa lagi. Sebelum mereka makan habis otakku.”Dengan bingung yang bertindihan, ia bergegas menuju warung. Dilihatnya sang majikan melipat suratitu kecil-kecil sembari menatap-jelajah seluruh sudut rumah; seakan ada yang dicari. Pembantu itu sontak teringat sesuatu saat menutup pintu pagar; kalimat penuh amarah suami majikannya selepas bertengkar, “otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”***Wanita itu baru sadar, ternyata di rumahnya ada semut. Awalnya satu. Esok jadi dua. Lusa jadi berlipat banyaknya. Ia lihat semut-semut itu berjajar beriringan dalam selengkung garis di dinding teras rumah. Novel Haruki Murakami di pangkuan tak lagi menggugah seleranya. Ia mendekatkan pandangan, mengamati benar-benar. Semut-semut merah berpapasan, lalu kembali berjalan, berpapasan lagi, begitu seterusnya. Dari lubang kecil di batas taman dan lantai teras, barisan semut itu mengular sampai ke lubang kecil di dekat kusen.Dalam hatinya bertanya, lubang sekecil itu, mana bisa menampung semut sebanyak itu. Apa pula yang mereka katakan saat berpapasan. Apa mereka bertukar kabar atau sedang membicarakan dirinya, yang terlampau khusyuk mengamati koloni semut. Wanita itu terus berjongkok bak profesor peneliti tingkah laku semut. Lupa pada senja yang beranjak. Tuli pada kasak-kusuk tetangganya yang keheranan. Mendadak ia teringat murka suaminya yang membahana ke mana-mana saat itu. Ia berlari mengambil kapur ajaib. Digoreskannya melintang pukang di jalur masuk rumahnya. Semacam mantra ajaib yang Sri Rama guratkan mengelilingi tanah pijakan Dewi Shinta, agar tak ada yang bisa menculiknya. Sekilas ia tersenyum lega. Malam ini tidurnya bisa nyenyak. Namun, tak lama ia sadar. Bukankah akhirnya Dasamuka berhasil menembus lingkaran perlindungan dan menculik Shinta? Kengerian menjalari tengkuk, seakan semut-semut merah itu mencari jalan menembus tengkoraknya. Bersiap memakan habis otaknya.Semalaman, wanita itu tidak tidur. Dibeliakkannya mata lebar-lebar. Mencari lubang setusukan batang jarum di sudut tersembunyi rumahnya yang bisa dijadikan celah masuk semut. Ia pun tak peduli lagi saat tetangganya bulat menyimpulkan; kesepian telah memakan habis kewarasannya.***Semut-semut itu terus berbaris entah mana ujung dan pangkalnya. beranda, dinding belakang rumah, dinding dapur, bahkan di dekat jendela kamarnya, sudah takluk dikepung semut.Ia suruh pembantunya menyapu dua kali lebih sering. Tak lagi ia menyimpan kue untuk mengudap. Ia juga mulai makan di taman depan, agar tak ada sisa makanan berjatuhan di dalam rumah. Tak dipedulikannya tatap iba yang makin ketara, tiap kali ia suapkan makanan ke dalam mulut. Saat ditanya kenapa makan di luar, ia menjawab, “Di dalam banyak semut.”“Apa hubungannya?”“Nanti aku dikerubungi semut.”“Masa takut sama semut?”“Pernah hitung berapa ekor semut di dalam sana? Mungkin ada lebih dari sejuta. Aku bisa dikerubungi! Bisa habis otakku dimakan,” bisiknya sambil melahap lauk terakhir. Sorot matanya tajam dan dalam. Tetangganya memilih pergi sambil menggelengkan kepala.Ia pun balik melawan. Dikerahkan segala resep alami pengusir semut yang ditemukannya di internet. Ada larutan cuka, potongan mentimun, kantong teh mint bekas, jus lemon, air sabun, larutan garam, sampai taburan bubuk kopi dan bedak bayi. Sayang, semuanya berkhasiat sementara. Di ujung hari, iring-iringan semut bertambah panjang, semakin rapat.Terlampau kesal, ia membeli sebotol obat serangga. Tanpa peduli lagi, diarahkan penyemprotnya, mirip bazooka memborbardir ke segala arah. Titik-titik cairan menghujani dinding-dinding, meninggalkan pola basah. Semut-semut itu akhirnya menempel tak bergerak di dinding. Melihat itu, ia makin kalap menggerakkan tangan, menyemprot seisi rumah. Aroma obat membubung, membekap jalur udara. Ia tak peduli. Yang penting mereka mati, tak bersisa lagi.Tak dinyana, tepat tengah malam, garis-garis yang dibentuk dari barisan semut, muncul kembali. Seakan mereka bangkit dari kematian, membawa pasukan lebih banyak. Setengah tercekik aroma obat serangga, wanita itu terkulai lemas. Terduduk dengan mata yang panas. Lelehlah segala kelelahan yang ia simpan kuat-kuat di dada. Andai suaminya ada di sini. Lelaki itu pasti tahu bagaimana mengatasi ini semua. Semut-semut ini, juga kesepiannya.***Akhirnya ia berhenti berperang. Ia biarkan semut-semut itu merambati dinding rumah. Makin banyak saja yang bertandang. Semut dari rumah sebelah, rumah sebelahnya lagi, dan taman depan komplek. Bahkan, semut-semut di kantornya ikut datang ke rumah. Sengaja ia tebarkan butir-butir gula, agar mereka betah, beranak pinak, menemaninya di rumah yang terasa makin sepi setelah pembantunya meminta berhenti karena tak tega melihat majikannya makin gila.Ternyata semut-semut itu memahaminya. Mendengarkannya bercerita. Persis suaminya. Pria itu begitu perhatian, telaten mendengarkannya. Satu-satunya yang bertahan di sisinya, menghadapinya, meladeninya.Pria itu lelaki sederhana. Ia wanita rumit yang jatuh cinta padanya. Tiap ia membuat isi kepalanya semrawut entah oleh apa, pria itu cepat-cepat menyederhanakannya. Dengan pelukan dan ciuman. Seakan bibir pria itu mengandung xanax yang segera mengurai kegelisahannya yang mirip buntal benang wol.“Kalian tahu, aku mencintainya,” ujar wanita itu lirih serupa embus angin. Semut-semut itu hening mendengarkan. “Aku merindukannya. Ia suka sekali memelukku dari belakang sampai aku jatuh tertidur.”Tak ada jawaban. Hanya ada derap kaki-kaki semut.“Suatu hari, ia bilang ia lelah. Katanya aku terlalu rumit. Padahal, aku cuma bertanya, apa jadinya kalau suatu hari ia bertemu wanita yang mirip dirinya. Sederhana. Tak banyak bertanya. Jarang mengkhayal. Tak gemar menumbuhkan cerita-cerita di kepala, tentang kemungkinan-kemungkinan, juga perkiraan. Apakah ia akan jatuh cinta pada wanita itu? Apa ia akan berpaling? Kalaupun meningggalkanku, apa ia masih akan merindukanku? Diam-diam membayangkanku saat bercinta dengan wanita itu.”Kini dinding tak terlihat lagi warnanya. Rata dipenuhi semut-semut yang berdatangan dari pelosok negeri. Mendengarkan dongengnya sembari mengudap butir gula dan remah makanan yang sengaja ia tebarkan. “Awalnya ia tak menjawab, tapi aku bersikeras. Bukankah wanita sederhana itu selalu ada? Mungkin lebih banyak di mana-mana. Aku bilang padanya, ia tampan dan pintar. Perempuan kelak mendatanginya, satu demi satu, lama-lama jadi seribu, mengerubunginya seperti semut mengepung gula-gula. Aku harus yakin bahwa ia akan tetap mencintaiku. Aku terus saja bertanya, sampai akhirnya ia lelah. Pergi dan menyumpahi otakku habis dimakan semut.”Wanita itu terkekeh. Matanya nampak lelah. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar dan merebahkan tubuh. Semut-semut itu mengikutinya, melapisi perabotan dan setiap permukaan rumah, seakan semua ditutup beledu merah kehitaman.“Mungkin wanita sederhana itu benar-benar ada. Bisa jadi karena itulah ia pergi. Bukan karena ia lelah mencintaiku. Bagaimana menurut kalian?”Semut-semut merangsek merambati ranjang. “Mungkin ia bukannya menyumpahiku. Mungkin ia berdoa aku tak lagi rumit. Menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicintai. Kalian setuju?”Mereka terus naik ke tubuhnya. Ujung kaki, ujung tangan, rambut, perut, entah bagian manalagi yang tersisa.“Boleh kuminta tolong, maukah kalian habiskan isi otakku yang rumit?”***Esok hari, komplek itu gempar. Tubuh seorang wanita kesepian ditemukan tak bernyawa. Aroma busuk makanan yang sengaja disebar berbaur dengan uap obat serangga yang memenuhi rumahnya. Suara-suara tetangga yang membubung sekejap diam saat sesosok tiba di rumah berpenghuni malang itu. Entah sudah berapa bulan lelaki itu tak muncul. Sejak ribut besar dan menyumpahi istrinya dengan lantang.Wajahnya pucat. Dalam hati ia mengumpat, andai waktu itu ia tak mengirimkan surat gugatan cerai. Andai ia tak menyumpahinya. Andai ia tak lelah mencintai wanita berpikiran rumit itu. Ah tidak, andai sejak awal ia tak jatuh cinta padanya. Ia memeluk istrinya terakhir kali. Ujung jari wanita itu menggenggam surat gugatan cerai yang lusuh karena terlalu sering dipegang. Tertahan, isaknya menyayat hati. Saking merananya, lelaki itu tak menyadari tak ada seekor semut pun nampak di dinding rumah itu.*** GM, 9 November 2013
Published on March 19, 2014 00:25
DEMI RINDU DAN SAKURA
Dimuat Kawanku no.169/2014 tgl 22 Jan-5 Feb 2014
Bunga sakura. Cinta dan benci. Pemuda itu mencintai bunga Sakura, karena cantiknya mengingatkannya pada rekah senyum gadis yang dia cintai. Sekaligus dia membencinya. Benci karena Sakura mengingatkannya, bahwa makin besar ia mencintai, maka sebesar itu pula rasa sakit menggerus hatinya.Ji Won menatap kelopak-kelopak bunga sakura di atasnya. Terasa jauh dari rengkuhannya. Seakan menjadi jawaban dari semesta atas pertanyaan yang membuatnya hampir tak bisa bernapas selama ini: Sakura, apa kau juga mencintaiku?***Udara musim semi belum bergerak menuju hangat. Sisa uap dingin winter masih menggigit-gigit kulit. Seharusnya aku memakai baju lebih tebal. Aku mengenakan terusan katun putih, dengan tights hitam dan pantofel senada. Aku mengenakan cardigan rajut abu-abu dan syal hitam. Kukira semua ini cukup menahan dingin, tapi ternyata salah. DarahIndonesiaku terlalu terbiasa dengan panasnya Jakarta, sehingga hawa 15 derajat seperti ini terasa seperti di bawah sepuluh derajat.Pukul sepuluh pagi dan Hongik University Area sudah begitu ramai. Wajar. Sekarang hari libur akhir pekan dan bunga-bunga sakura sudah bermekaran. Aku selalu merasa orang-orang Korea begitu lembut dan romantis. Seperti yang biasa kulihat di drama-drama yang hilir mudik di televisi Indonesia. Pemuda-pemudanya menatap sayu, dengan sorot mata menggetarkan hati gadis yang merekah menunggu cinta. Aku berhenti di salah satu sudut gedung Sangsangmadang – gedung sebelas lantai di mana ada bioskop, aula pertunjukan, galeri seni, juga studio – dan mengamati. Muda-mudi menggelayut manja. Saling bergandengan tangan. Mata-mata berbinar penuh cinta. Bahkan ada sepasang kakek nenek yang ikut menautkan tangan, seakan tak mau kalah. Kakek itu membetulkan posisi syal nenek di sampingnya, dan nenek itu hanya tersipu malu. Indah sekali pemandangan itu. Aku pun paham, bahwa cinta sejati bukanlah cinta sehidup semati, tapi cinta yang tumbuh dan ikut menua bersama waktu.Aku teringat Ji Won. Aku ingat bagaimana Ji Won mengambil apa yang erat kujaga. Hatiku. Dan hari ini aku jauh-jauh datang ke Seouldari Jakarta, sebelum habis waktuku untuk menjawab apa yang dulu Ji Won tanyakan padaku. Pertanyaan tentang cinta.Aku terus berjalan melewati pasar kaget yang ada setiap Sabtu. Kampus di dekat sini terkenal karena jurusan seninya, sehingga tiap akhir pekan mahasiswanya menggelar hasil karya mereka. Aksesoris buatan tangan, gaun-gaun rajut warna-warni, pajangan kaligrafi, semuanya dijual dengan harga sangat terjangkau, untuk standar daya beli masyarakat Seoul. Maka aku cukup melihat-lihat saja. Mataku tertuju pada pajangan tembikar yang berbentuk pemuda duduk di atas batu sambil memainkan gitar. Tanganku menyentuhnya, tak bisa kukendalikan. Detilnya begitu sempurna. Penjualnya seorang gadis pendek dengan mata sipit dan kacamata berbingkai tipis. Dia sibuk melayani seorang ibu-ibu yang menawar asbak bergaya retro di satu sudut meja lainnya. Patung tembikar ini mengingatkanku pada Ji Won.“I’m going home two days later,” aku teringat kata-katanya. “My vacation is over.”“I know. I overheard your convo with Kim. Will you come back to Jakarta?”“It depends. Kim said you rejected the heart donor. Why is it so, Sakura?”“I had this heart problem since I was a baby. Not to mention, the doctor predicted the surgery’s success will only about 40%. Even if my body accepts the new heart, the recovery will take very long. I don’t think I can do it.”“You should!” Ji Won setengah membentak. Aku terkesiap. “Why should I?”“Because I’ll be back soon to Jakarta, and I want you to pick me up in the airport. To be always with me. You’re the only reason, Sakura, for me to go back to Indonesia. Leaving everything behind in Seoul, because I,…”“Stop it, Ji Won!” aku ganti membentaknya. “You have a perfect life in Seoul. You’re the best art student, you have beautiful Eun Jung, you have everything. You want to give it up just for a person with a heart dysfunction and no future like me? That’s insane.”“It’s not! You do the surgery and you’ll be as healthy as any other girls in the world. Do the surgery and you’ll have no reason to be away from me.”Aku masih ingat kilat matanya yang membara saat memaksaku menerima donor jantung. Aku ingat binar harapannya menungguku sembuh. Aku ingat sorot matanya yang teduh penuh cinta. Itu semua membuatku sesak napas. Aku selalu menghindari untuk dicintai. Karena aku tak pantas dicintai. Karena aku cuma gadis dengan penyakit jantung bawaan dan bisa mati kapan saja. Kalau kau dalam kondisi seperti itu, maka jatuh cinta adalah kemewahan yang seumur hidup tak boleh kau cicipi.Hanya saja, Ji Won telanjur mengambil hatiku. Ji Won telanjur jatuh cinta padaku. Dan dalam diam aku jatuh cinta padanya. Dia tak boleh tahu kenyataan, karena jika dia tahu, dia akan bersikeras menemaniku di Jakartadan meninggalkan semua pencapaiannya di Seoul. Hanya demi gadis penyakitan seperti aku.“Please promise me, Sakura.” Ji Won menggenggam tanganku. “You’ll do the surgery. As soon as you recovered, I’ll take you to Seoul. I’ll bring you to my favorite place, Hongdae. We’ll see cherry blossoms from the bench and eating Chicken Curry. Don’t you wanna see the flower from which your name is taken from?” “I don’t know, Ji Won.”“Just promise me. Please.”Tatap mata dan lembut suaranya meruntuhkan dinding yang kokoh mengelilingi hatiku. Maka, selepas mengantarnya pulang di bandara, aku mengatur jadwal operasi transplantasi dengan dokter. Tepat sebelum mataku terpejam oleh anestesi, yang terlintas di pandanganku adalah, aku dan Ji Won duduk di bangku panjang yang dinaungi rimbun pohon sakura yang bermekaran. Kami hanya duduk lalu saling menggenggam, dan sama-sama menyadari dalam diam, kalau kami sama-sama saling jatuh cinta. Dan aku pun di sini. Di Hongdae. Hongik UniversityArea. Diam-diam aku ke Seoultanpa memberitahunya. Aku ingin mengejutkannya. Aku, gadis bernama Sakura, datang membawakannya cinta, tepat di saat kelopak-kelopak sakura bermekaran.Langkahku terhenti di sebuah jalan setapak. Mataku tertuju pada sesosok tegap yang berdiri di tengah sana. Pemuda itu berdiri diam sembari mendongak ke bunga-bunga sakura di atasnya. Ji Won. Dengan baju hangat cokelat dan celana jeans, dia masih sama tampannya seperti sebelumnya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Pipinya sedikit lebih berisi. Sorot matanya tetap sama. Sorot mata sesendu itu, apakah karena merindukanku?Seakan mengerti aku tengah terpaku menatapnya, Ji Won terbeliak menatapku. Seakan tak percaya dia menemukanku di sini. Aku menepati janjiku. Aku melakukan transplantasi itu dan langsung melesat kemari untuk menagih janjinya.Aku berlari mendekatinya. Begitu erat aku memeluknya sampai air mataku ikut pecah. Tak peduli bagaimana air mataku akan membasahi kausnya, aku terus memeluk erat. Seakan takut kehabisan waktu di dunia, aku mendongak menatap matanya yang penuh oleh rindu lalu menciumnya. Satu ciuman lembut yang sanggup menggambarkan betapa kerinduan ini terlalu lama kujaga. “I,…” aku menatap matanya sekali lagi. “I love you since the first day I met you.” Akhirnya aku sanggup mengatakannya. Kuruntuhkan benteng yang erat melindungi hatiku. “I love you.” Kukatakan semuanya seakan aku takut waktuku di dunia tak cukup lagi untuk mengatakannya.***Ji Won berdiri di tengah ramainya jalan setapak yang tak terlalu luas. Bahkan kini terasa makin sesak oleh padatnya para pengunjung Hongik UniversityArea yang sekadar datang menikmati mekarnya bunga Sakura di awal musim semi. Bangku-bangku taman pengapit jalan itu, bersanding dengan batang-batang pohon Sakura yang rimbun lebat oleh kelopak-kelopak merah jambu, sebenarnya pemandangan yang teramat indah. Indah di kala tak ada orang sebanyak ini.Sekuntum bunga sakura melayang jatuh. Jatuhnya melayang-layang lambat, seakan tengah melawan gravitasi. Seakan enggan untuk luruh. Ji Won menangkapnya. Kelopaknya lembut dan rapuh. Mengingatkannya pada sorot mata yang sungguh mati dia rindukan.Ji Won bahkan bisa mendengar suara yang dia rindukan itu menggema di telinga.Ji Won, everytime you see cherry blossom, please remember me.Dia memejamkan mata, merasakan perih di dadanya. Pelan-pelan dia mengatupkan tangan dan Sakura di telapak tangannya remuk menggumpal. Sekejap dia lupakan riuh sekelilingnya. Tak ada tawa pemuda-pemudi yang tangannya menggamit mesra. Tak ada suara gesek baju hangat tebal. Tak ada hela napas yang mengepul tipis atau desau angin.Hanya ada Ji Won di tengah semesta kelam dan guyuran kelopak sakura. Hening. Sendiri. Perlahan dia membuka mata. Napasnya tercekat. Sakura berdiri di hadapannya, tersenyum, di tengah hujan kelopak sakura. Gadis itu mendekat ke arahnya. Senyum itu jauh lebih indah dari seribu kembang sakura yang rimbun menaungi keduanya. “Ji Won,” ujar Sakura.Gadis itu langsung memeluknya dan menyurukkan wajah di dada Ji Won yang bidang. Bisa dia rasakan diam-diam gadis itu menangis. Kausnya basah. Hatinya ikut basah. Mata Ji Won hanya sanggup membeliak dan detak jantungnya berderap tak keruan.Sakura mendongakkan kepala. Pipinya memerah karena sembab air mata. Tapi pesonanya tak luntur oleh air mata yang luruh. Gadis itu mengecupnya bibirnya. Lembut tapi begitu kuat menjungkir balikkan hatinya.“Aku,” Sakura melepaskan kecupannya dan menatapnya dalam-dalam. Lalu dia membisikkan sesuatu yang sejak dulu Ji Won tunggu. Pertanyaan yang mengambil alih kewarasannya selama ini. “…mencintaimu sejak pertama kita bertemu.”Ji Won membeku. Darahnya berdesir kencang sehingga membuat kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Sakura tersenyum lalu memeluknya, lebih erat dari sebelumnya.“I love you.”“Ji Won!”Pemuda itu tersentak. Semesta kelam tadi sekejap pecah semburat dan menerjunkannya kembali ke jalan setapak di salah satu sudut Hongik UniversityArea. Orang-orang riuh. Tawa-tawa hangat khas musim semi. Wajah-wajah merona oleh cinta berbaur dengan merah jambunya bunga Sakura. “Ji Won! Kamu bengong, ya?” panggil suara itu sambil menarik ujung baju hangat Ji Won dengan kencang. “Aku mau makan. Lapar. Chicken Curry ya?”“Eun Jung?” Ji Won mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku,…” Ji Won masih berusaha mengembalikan kewarasannya. Mana Sakura? Bukankah tadi dia di sini, di dalam pelukannya, mengecupnya? Bahkan hangat bibirnya masih jelas tertinggal.“Ji Won! Kamu tidak mendengarkan ya?” Eun Jung mengerutkan bibir. Wajahnya yang imut terlihat makin menggemaskan. Tapi Ji Won sedang tidak ingin tertawa.Biip biip… ponsel di balik baju hangatnya bergetar. Alasan sempurna untuk melepaskan rengkuhan Eun Jung yang mendadak membuatnya sesak napas. Kim. Tidak biasanya Kim mengiriminya pesan singkat. “Operasi Sakura gagal. Dia meninggal sejam lalu.”Kali ini dingin merayapi tengkuk Ji Won, lalu merembet di sepenjuru tubuhnya. Jejak bibir itu masih hangat. Pelukan itu masih erat mendekap. Sakura baru saja mengatakan cinta padanya, menggenapkan perasaan yang Ji Won sengaja tinggalkan di Indonesia. Sakura, yang Ji Won kira takkan membalas perasaannya,… Satu lagi kuntum sakura melayang jatuh di helai kelam rambut Eun Jung yang panjang. Matanya berbinar penuh ingin tahu. Ji Won mengulurkan tangan dan mengambilnya, lalu meremasnya kuat-kuat.“Ayo pergi,” ujar Ji Won menahan pahit di dadanya. Eun Jung merangkul pemuda itu. Seharusnya hangat. Seharusnya nyaman. Eun Jung kekasihnya, bukan Sakura. Kalau pun memang Sakura mencintainya, terlalu banyak perbedaan mereka. Usia. Budaya. Dan kini, Sakura sudah,… Ah, sudahlah. Seperti bunga sakura yang mekar di musim semi hanya untuk berguguran di musim gugur, serupa itulah perasaannya pada Sakura. Merekah saat dia berkunjung ke Indonesiabulan lalu, dan kini tengah berguguran, entah sampai kapan. Mungkin selamanya. ***Desau angin membuat ranting-ranting berhias kelopak sakura mengangguk-angguk. Aku tersenyum lega. Ji Won menatapku dengan sepasang matanya yang tak pernah berhenti kurindukan. Aku menciumnya. Benar kan, bibirnya lembut seperti lelehan madu. Akhirnya, aku berani. Demi Tuhan dan demi waktu yang akhirnya berhenti berdetik, aku bisa mengatakannya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keraguan.Aku jatuh cinta. Mencintai Ji Won sampai detik terakhir hidupku.Kini sinar putih di ujung jalan sanatak terlihat lagi menakutkan. Hangat. Wangi. Tubuhku makin lama makin ringan. Aku bisa merasakan diriku melayang-layang. Sekali lagi kulihat Ji Won. Walau gadis manis bernama Eun Jung itu menggelayut manja dan mencelotehkan lelucon, sorot matanya tetap sayu oleh kesedihan yang siap meruntuhkan. Ah, maafkan aku yang telah mencipta lubang hitam di hatimu, Ji Won. Lubang hitam yang mengisap seluruh bahagia yang kau punya. Sekali lagi, maafkan aku.***GM, 12-13 Mei 2012
Bunga sakura. Cinta dan benci. Pemuda itu mencintai bunga Sakura, karena cantiknya mengingatkannya pada rekah senyum gadis yang dia cintai. Sekaligus dia membencinya. Benci karena Sakura mengingatkannya, bahwa makin besar ia mencintai, maka sebesar itu pula rasa sakit menggerus hatinya.Ji Won menatap kelopak-kelopak bunga sakura di atasnya. Terasa jauh dari rengkuhannya. Seakan menjadi jawaban dari semesta atas pertanyaan yang membuatnya hampir tak bisa bernapas selama ini: Sakura, apa kau juga mencintaiku?***Udara musim semi belum bergerak menuju hangat. Sisa uap dingin winter masih menggigit-gigit kulit. Seharusnya aku memakai baju lebih tebal. Aku mengenakan terusan katun putih, dengan tights hitam dan pantofel senada. Aku mengenakan cardigan rajut abu-abu dan syal hitam. Kukira semua ini cukup menahan dingin, tapi ternyata salah. DarahIndonesiaku terlalu terbiasa dengan panasnya Jakarta, sehingga hawa 15 derajat seperti ini terasa seperti di bawah sepuluh derajat.Pukul sepuluh pagi dan Hongik University Area sudah begitu ramai. Wajar. Sekarang hari libur akhir pekan dan bunga-bunga sakura sudah bermekaran. Aku selalu merasa orang-orang Korea begitu lembut dan romantis. Seperti yang biasa kulihat di drama-drama yang hilir mudik di televisi Indonesia. Pemuda-pemudanya menatap sayu, dengan sorot mata menggetarkan hati gadis yang merekah menunggu cinta. Aku berhenti di salah satu sudut gedung Sangsangmadang – gedung sebelas lantai di mana ada bioskop, aula pertunjukan, galeri seni, juga studio – dan mengamati. Muda-mudi menggelayut manja. Saling bergandengan tangan. Mata-mata berbinar penuh cinta. Bahkan ada sepasang kakek nenek yang ikut menautkan tangan, seakan tak mau kalah. Kakek itu membetulkan posisi syal nenek di sampingnya, dan nenek itu hanya tersipu malu. Indah sekali pemandangan itu. Aku pun paham, bahwa cinta sejati bukanlah cinta sehidup semati, tapi cinta yang tumbuh dan ikut menua bersama waktu.Aku teringat Ji Won. Aku ingat bagaimana Ji Won mengambil apa yang erat kujaga. Hatiku. Dan hari ini aku jauh-jauh datang ke Seouldari Jakarta, sebelum habis waktuku untuk menjawab apa yang dulu Ji Won tanyakan padaku. Pertanyaan tentang cinta.Aku terus berjalan melewati pasar kaget yang ada setiap Sabtu. Kampus di dekat sini terkenal karena jurusan seninya, sehingga tiap akhir pekan mahasiswanya menggelar hasil karya mereka. Aksesoris buatan tangan, gaun-gaun rajut warna-warni, pajangan kaligrafi, semuanya dijual dengan harga sangat terjangkau, untuk standar daya beli masyarakat Seoul. Maka aku cukup melihat-lihat saja. Mataku tertuju pada pajangan tembikar yang berbentuk pemuda duduk di atas batu sambil memainkan gitar. Tanganku menyentuhnya, tak bisa kukendalikan. Detilnya begitu sempurna. Penjualnya seorang gadis pendek dengan mata sipit dan kacamata berbingkai tipis. Dia sibuk melayani seorang ibu-ibu yang menawar asbak bergaya retro di satu sudut meja lainnya. Patung tembikar ini mengingatkanku pada Ji Won.“I’m going home two days later,” aku teringat kata-katanya. “My vacation is over.”“I know. I overheard your convo with Kim. Will you come back to Jakarta?”“It depends. Kim said you rejected the heart donor. Why is it so, Sakura?”“I had this heart problem since I was a baby. Not to mention, the doctor predicted the surgery’s success will only about 40%. Even if my body accepts the new heart, the recovery will take very long. I don’t think I can do it.”“You should!” Ji Won setengah membentak. Aku terkesiap. “Why should I?”“Because I’ll be back soon to Jakarta, and I want you to pick me up in the airport. To be always with me. You’re the only reason, Sakura, for me to go back to Indonesia. Leaving everything behind in Seoul, because I,…”“Stop it, Ji Won!” aku ganti membentaknya. “You have a perfect life in Seoul. You’re the best art student, you have beautiful Eun Jung, you have everything. You want to give it up just for a person with a heart dysfunction and no future like me? That’s insane.”“It’s not! You do the surgery and you’ll be as healthy as any other girls in the world. Do the surgery and you’ll have no reason to be away from me.”Aku masih ingat kilat matanya yang membara saat memaksaku menerima donor jantung. Aku ingat binar harapannya menungguku sembuh. Aku ingat sorot matanya yang teduh penuh cinta. Itu semua membuatku sesak napas. Aku selalu menghindari untuk dicintai. Karena aku tak pantas dicintai. Karena aku cuma gadis dengan penyakit jantung bawaan dan bisa mati kapan saja. Kalau kau dalam kondisi seperti itu, maka jatuh cinta adalah kemewahan yang seumur hidup tak boleh kau cicipi.Hanya saja, Ji Won telanjur mengambil hatiku. Ji Won telanjur jatuh cinta padaku. Dan dalam diam aku jatuh cinta padanya. Dia tak boleh tahu kenyataan, karena jika dia tahu, dia akan bersikeras menemaniku di Jakartadan meninggalkan semua pencapaiannya di Seoul. Hanya demi gadis penyakitan seperti aku.“Please promise me, Sakura.” Ji Won menggenggam tanganku. “You’ll do the surgery. As soon as you recovered, I’ll take you to Seoul. I’ll bring you to my favorite place, Hongdae. We’ll see cherry blossoms from the bench and eating Chicken Curry. Don’t you wanna see the flower from which your name is taken from?” “I don’t know, Ji Won.”“Just promise me. Please.”Tatap mata dan lembut suaranya meruntuhkan dinding yang kokoh mengelilingi hatiku. Maka, selepas mengantarnya pulang di bandara, aku mengatur jadwal operasi transplantasi dengan dokter. Tepat sebelum mataku terpejam oleh anestesi, yang terlintas di pandanganku adalah, aku dan Ji Won duduk di bangku panjang yang dinaungi rimbun pohon sakura yang bermekaran. Kami hanya duduk lalu saling menggenggam, dan sama-sama menyadari dalam diam, kalau kami sama-sama saling jatuh cinta. Dan aku pun di sini. Di Hongdae. Hongik UniversityArea. Diam-diam aku ke Seoultanpa memberitahunya. Aku ingin mengejutkannya. Aku, gadis bernama Sakura, datang membawakannya cinta, tepat di saat kelopak-kelopak sakura bermekaran.Langkahku terhenti di sebuah jalan setapak. Mataku tertuju pada sesosok tegap yang berdiri di tengah sana. Pemuda itu berdiri diam sembari mendongak ke bunga-bunga sakura di atasnya. Ji Won. Dengan baju hangat cokelat dan celana jeans, dia masih sama tampannya seperti sebelumnya. Rambutnya sedikit lebih panjang. Pipinya sedikit lebih berisi. Sorot matanya tetap sama. Sorot mata sesendu itu, apakah karena merindukanku?Seakan mengerti aku tengah terpaku menatapnya, Ji Won terbeliak menatapku. Seakan tak percaya dia menemukanku di sini. Aku menepati janjiku. Aku melakukan transplantasi itu dan langsung melesat kemari untuk menagih janjinya.Aku berlari mendekatinya. Begitu erat aku memeluknya sampai air mataku ikut pecah. Tak peduli bagaimana air mataku akan membasahi kausnya, aku terus memeluk erat. Seakan takut kehabisan waktu di dunia, aku mendongak menatap matanya yang penuh oleh rindu lalu menciumnya. Satu ciuman lembut yang sanggup menggambarkan betapa kerinduan ini terlalu lama kujaga. “I,…” aku menatap matanya sekali lagi. “I love you since the first day I met you.” Akhirnya aku sanggup mengatakannya. Kuruntuhkan benteng yang erat melindungi hatiku. “I love you.” Kukatakan semuanya seakan aku takut waktuku di dunia tak cukup lagi untuk mengatakannya.***Ji Won berdiri di tengah ramainya jalan setapak yang tak terlalu luas. Bahkan kini terasa makin sesak oleh padatnya para pengunjung Hongik UniversityArea yang sekadar datang menikmati mekarnya bunga Sakura di awal musim semi. Bangku-bangku taman pengapit jalan itu, bersanding dengan batang-batang pohon Sakura yang rimbun lebat oleh kelopak-kelopak merah jambu, sebenarnya pemandangan yang teramat indah. Indah di kala tak ada orang sebanyak ini.Sekuntum bunga sakura melayang jatuh. Jatuhnya melayang-layang lambat, seakan tengah melawan gravitasi. Seakan enggan untuk luruh. Ji Won menangkapnya. Kelopaknya lembut dan rapuh. Mengingatkannya pada sorot mata yang sungguh mati dia rindukan.Ji Won bahkan bisa mendengar suara yang dia rindukan itu menggema di telinga.Ji Won, everytime you see cherry blossom, please remember me.Dia memejamkan mata, merasakan perih di dadanya. Pelan-pelan dia mengatupkan tangan dan Sakura di telapak tangannya remuk menggumpal. Sekejap dia lupakan riuh sekelilingnya. Tak ada tawa pemuda-pemudi yang tangannya menggamit mesra. Tak ada suara gesek baju hangat tebal. Tak ada hela napas yang mengepul tipis atau desau angin.Hanya ada Ji Won di tengah semesta kelam dan guyuran kelopak sakura. Hening. Sendiri. Perlahan dia membuka mata. Napasnya tercekat. Sakura berdiri di hadapannya, tersenyum, di tengah hujan kelopak sakura. Gadis itu mendekat ke arahnya. Senyum itu jauh lebih indah dari seribu kembang sakura yang rimbun menaungi keduanya. “Ji Won,” ujar Sakura.Gadis itu langsung memeluknya dan menyurukkan wajah di dada Ji Won yang bidang. Bisa dia rasakan diam-diam gadis itu menangis. Kausnya basah. Hatinya ikut basah. Mata Ji Won hanya sanggup membeliak dan detak jantungnya berderap tak keruan.Sakura mendongakkan kepala. Pipinya memerah karena sembab air mata. Tapi pesonanya tak luntur oleh air mata yang luruh. Gadis itu mengecupnya bibirnya. Lembut tapi begitu kuat menjungkir balikkan hatinya.“Aku,” Sakura melepaskan kecupannya dan menatapnya dalam-dalam. Lalu dia membisikkan sesuatu yang sejak dulu Ji Won tunggu. Pertanyaan yang mengambil alih kewarasannya selama ini. “…mencintaimu sejak pertama kita bertemu.”Ji Won membeku. Darahnya berdesir kencang sehingga membuat kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Sakura tersenyum lalu memeluknya, lebih erat dari sebelumnya.“I love you.”“Ji Won!”Pemuda itu tersentak. Semesta kelam tadi sekejap pecah semburat dan menerjunkannya kembali ke jalan setapak di salah satu sudut Hongik UniversityArea. Orang-orang riuh. Tawa-tawa hangat khas musim semi. Wajah-wajah merona oleh cinta berbaur dengan merah jambunya bunga Sakura. “Ji Won! Kamu bengong, ya?” panggil suara itu sambil menarik ujung baju hangat Ji Won dengan kencang. “Aku mau makan. Lapar. Chicken Curry ya?”“Eun Jung?” Ji Won mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku,…” Ji Won masih berusaha mengembalikan kewarasannya. Mana Sakura? Bukankah tadi dia di sini, di dalam pelukannya, mengecupnya? Bahkan hangat bibirnya masih jelas tertinggal.“Ji Won! Kamu tidak mendengarkan ya?” Eun Jung mengerutkan bibir. Wajahnya yang imut terlihat makin menggemaskan. Tapi Ji Won sedang tidak ingin tertawa.Biip biip… ponsel di balik baju hangatnya bergetar. Alasan sempurna untuk melepaskan rengkuhan Eun Jung yang mendadak membuatnya sesak napas. Kim. Tidak biasanya Kim mengiriminya pesan singkat. “Operasi Sakura gagal. Dia meninggal sejam lalu.”Kali ini dingin merayapi tengkuk Ji Won, lalu merembet di sepenjuru tubuhnya. Jejak bibir itu masih hangat. Pelukan itu masih erat mendekap. Sakura baru saja mengatakan cinta padanya, menggenapkan perasaan yang Ji Won sengaja tinggalkan di Indonesia. Sakura, yang Ji Won kira takkan membalas perasaannya,… Satu lagi kuntum sakura melayang jatuh di helai kelam rambut Eun Jung yang panjang. Matanya berbinar penuh ingin tahu. Ji Won mengulurkan tangan dan mengambilnya, lalu meremasnya kuat-kuat.“Ayo pergi,” ujar Ji Won menahan pahit di dadanya. Eun Jung merangkul pemuda itu. Seharusnya hangat. Seharusnya nyaman. Eun Jung kekasihnya, bukan Sakura. Kalau pun memang Sakura mencintainya, terlalu banyak perbedaan mereka. Usia. Budaya. Dan kini, Sakura sudah,… Ah, sudahlah. Seperti bunga sakura yang mekar di musim semi hanya untuk berguguran di musim gugur, serupa itulah perasaannya pada Sakura. Merekah saat dia berkunjung ke Indonesiabulan lalu, dan kini tengah berguguran, entah sampai kapan. Mungkin selamanya. ***Desau angin membuat ranting-ranting berhias kelopak sakura mengangguk-angguk. Aku tersenyum lega. Ji Won menatapku dengan sepasang matanya yang tak pernah berhenti kurindukan. Aku menciumnya. Benar kan, bibirnya lembut seperti lelehan madu. Akhirnya, aku berani. Demi Tuhan dan demi waktu yang akhirnya berhenti berdetik, aku bisa mengatakannya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keraguan.Aku jatuh cinta. Mencintai Ji Won sampai detik terakhir hidupku.Kini sinar putih di ujung jalan sanatak terlihat lagi menakutkan. Hangat. Wangi. Tubuhku makin lama makin ringan. Aku bisa merasakan diriku melayang-layang. Sekali lagi kulihat Ji Won. Walau gadis manis bernama Eun Jung itu menggelayut manja dan mencelotehkan lelucon, sorot matanya tetap sayu oleh kesedihan yang siap meruntuhkan. Ah, maafkan aku yang telah mencipta lubang hitam di hatimu, Ji Won. Lubang hitam yang mengisap seluruh bahagia yang kau punya. Sekali lagi, maafkan aku.***GM, 12-13 Mei 2012
Published on March 19, 2014 00:19
December 31, 2013
AYAM BANGKOK
cerpen ini dimuat di Tabloid Nova edisi 16-22 Desember 2013
Pagi ini Rohim bersiul riang. Dinginnya air sumur yang baru mengguyur membuatnya makin bersemangat. Di depan cermin, ia berjoget sambil menyisir rambut tipis kelabunya. Alunan musik dangdut terdenger kemeresek dari radio tua. Istrinya mengeryit curiga, gelagatnya sepeti lelaki sedang jatuh cinta. Hanya saja, Rohim tak cukup tampan, apalagi kaya untuk mencari istri muda.“Hari ini aku mau ke rumahnya Koh Endi,” ujar Rohim menjawab pertanyaan di wajah istrinya.Mendengar nama Koh Endi, istri Rohim cuma menghela napas tanda paham.“Koh Endi katanya baru dapat stok ayam Bangkok baru. Katanya ayamnya top, bodinya tegap, gede, kakinya kokoh. Petarung sejati pokoknya,”Istri Rohim hapal betul sikap suaminya yang tergila-gila dengan ayam Bangkokaduan. Lebih baik ia tak berkata apa-apa, tapi Diro, anak semata wayang mereka bergegas keluar dari kamar. Rambutnya kusut berdiri di sana-sini dengan wajah cemberut. Lingkaran hitam menggelayut di bawah mata hasil semalam kurang tidur. “Pokoknya, kalau bapak sudah beli ayam itu, terus diadu, terus menang, kamu pasti aku belikan gelang baru,” ujar Rohim pada istrinya.“Pak, mana janji bapak?” tagih Diro tanpa basa-basi.“Janji apa?” tanya Rohim setengah tersedak.“Uang untuk daftar ulang sekolah,”“Oh itu. Bapak nggak ada duit.”“Bohong. Buktinya bapak mau beli ayamnya Koh Endi. Ayam Koh Endi kan enggak murah, pak,” Diro menjawab sengit, “lebih baik uangnya buat bayarin sekolah Diro,”“Uang bapak cuma tujuh ratus ribu. Pas seharga ayam itu. Untuk bayar sekolahmu nggak ada,”“Bayar daftar ulang itu juga tujuh ratus ribu, pak. Bapak nggak usah beli ayam dulu. Kalau nggak bayar uang daftar ulang, aku nggak bisa naik ke kelas tiga, pak.”“Tapi di rapot kemarin kankamu naik kelas.”“Kalau nggak bayar juga nggak akan naik kelas,” bentak Diro. “Pantas keluarga kita melarat terus. Lhawong bapaknya sering sabung ayam.”“Kamu ini kecil-kecil sudah bisa ngajarin bapak!” mata Rohim menatap nyalang, tapi Diro tidak gentar. Ia balas menatap tanpa berkedip. “Bapak lebih sayang ayam daripada anak sendiri!”Diro langsung keluar rumah tanpa banyak berkata. Rohim terengah-engah menahan marah dan menahan tangan untuk tidak menampar mulut Diro. Istrinya terduduk lesu sembari menahan mual melihat pertengkaran barusan. Anaknya baru empat belas tahun dan suaminya sudah kepala empat. Keduanya tidak ada yang berkepala dingin, sedangkan ia terjepit di tengah-tengah tanpa tahu harus membela siapa.“Nafsu makanku jadi hilang. Siapa yang betah tinggal di rumah seperti ini.” Rohim membanting serbet makannya.Istrinya hanya diam memandangi Rohim. Gundah yang ia simpan mulai luber meluncur di wajahnya yang lelah.***Rohim mengayuh sepeda tuanya dengan berat. Rodanya sedikit kempes dan jalanan sedikit berbatu. Sesekali Rohim menyeka peluh yang meleleh terbakar matahari. Hasratnya begitu menggebu. Jantungnya berdetak seakan hendak menjebol tulang rusuknya. Kualitas ayam Bangkokternakan Koh Endi memang terkenal. Konon kabarnya Koh Endi mengambil bibitnya langsung ke Bangkok. Bagi Rohim itu bukan masalah. Sepanjang ayam itu selalu menang di arena sabung, selama ia terus bisa mereguk rupiah hasil sabung, ia tak peduli.Kepala Rohim mendadak berdenyut-denyut. Bayangan Diro juga tak kunjung pergi dari benaknya. Diro anak satu-satunya. Umurnya masih baru empat belas. Tahun depan sudah mau masuk STM. Tapi itu terancam gagal karena tak bisa membayar uang daftar ulang syarat kenaikan kelas. Semakin dipikirkan semakin terbelit-belit isi otak Rohim yang cuma mengeyam bangku SD. Dari kejauhan ada keramaian. Keramaian itu seperti gumpalan bola salju yang meluncur dari atas gunung. Mulanya satu dua orang, lama-lama sekian puluh jumlahnya. Rohim heran, bagaimana bisa ada kerumunan orang di depan rumah Koh Endi. Kerumunan itu terus meluber sampai ke halaman belakang, tempat bisnis Koh Endi. Apalagi kalau bukan rentetan kandang ayamnya.Rohim menggaruk-garuk kepala. Kasak-kusuk orang begitu berisik. Kerumunan begitu padat untuk ditembus. Adaapa ini? Rohim lompat jinjit dua kali, lalu menelusup di antara bahu dan punggung, mencari Koh Endi. Tapi pria setengah baya itu entah kenapa tak terlihat.“Kasihan Koh Endi,”“Iya, kanayamnya bagus-bagus. Kok apes ya?”“Siapa sih yang tega?”“Gila, lima ayam Bangkok yang baru digorok semua!”“Jangan-jangan saingannya si Kokoh yang melakukan,”“Padahal, ayamnya kankualitas impor.”“Mati aku! Nanti sore aku mau adu sama kampung sebelah. Cari ayam di mana lagi?”Orang-orang tak henti bicara. Rohim mendengarkannya sampai merinding. Apa benar ayam Bangkokbaru Koh Endi digorok orang? Lima-limanya? Rohim mulai menyikut sebelahnya, menyeruak ke depan. Ia mencari jalan untuk sampai ke kandang ayam Koh Endi.Itu dia Koh Endi. Pria yang rambutnya sudah sebagian memutih itu jongkok menatap ayam-ayamnya. Semua kesayangannya itu tergeletak tak beraturan di tanah. Leher mereka hampir putih. Darah membanjir menodai coklatnya bumi. Bau amis darah samar-samar menguar di udara. Rohim mengelus dada. Satu di antara ayam-ayam itu pasti pesanannya. Pupus sudah harapannya untuk memiliki ayam kualitas nomor satu. “Oalah, mimpi apa aku? Si Burik, si Jabrik, si Cebol, si Bohai, terus andalanku si Bantam, semuanya mati. Siapa yang tega begini?” ratap Koh EndiKoh Endi sibuk mengelap air matanya. Pria kurus kering itu bahkan tak mengenali Rohim yang berdiri di sebelahnya. Diambilnya sebuah sekop besar. Ia menggali tanah di samping jajaran kandangnya. Dalam beberapa saat, Koh Endi menyiapkan limalubang kecil. Rohim langsung paham. Koh Endi dengan rapi memasukkan ayam-ayam itu ke liang kuburnya masing-masing. Tidak sampai setengah jam lima gundukan tanah itu berbaris rapi. Rohim semakin mengurut dada. Air mata yang terus berleleran mewakili gemuruh apa yang ada di hati Koh Endi.“Oalah, oalah, ayam-ayamku,…”Kerumunan orang tidak berkurang. Mereka masih bergumam. Gumaman yang terus membumbung tinggi ke udara seperti gerombolan lebah. Tak satu pun turun tangan mem-bantu Koh Endi. Menghiburnya. Membantunya mengubur bangkai-bangkai itu. Mereka cuma melihat dan berkasak-kusuk. Termasuk Rohim. Semuanya masih terpana oleh kejadian ini.Pikiran Rohim melayang. Akhirnya benaknya membentur bayangan wajah Diro. Anak sulungnya yang dua hari lalu mendatanginya. Tanpa bicara. Cuma menyodorkan selembar kertas berstempel. Di dalamnya terdapat rincian biaya, mulai dari biaya uang daftar ulang, uang sekolah bulan pertama, iuran OSIS, iuran koperasi, sumbangan a, sumbangan b, semuanya runtun rapi terperinci. Totalnya tujuh ratus ribu. Harus dibayar segera, tepatnya hari ini, supaya Diro bisa melanjutkan tahun ketiga menengah pertamanya.Hanya saja, Rohim lebih sayang hobinya. Rohim lebih memilih pada ayam Bangkok Koh Endi seharga tujuh ratus ribu yang ternyata hari ini terkapar dan membusuk di liang karena ulah entah siapa. Rohim menghela napas. Siapa yang tega melakukannya? Biasanya ayam-ayam Bangkok dicuri, bukan dieksekusi lalu digeletakkan begitu saja. Orang usil mana yang punya waktu seperti itu. Rohim tetap tak habis pikir. Wajah Diro kembali terbayang. Ia harus segera pulang dan segera membayarkan uang ini ke sekolah. Rohim baru saja memutar langkahnya. Tangannya merogoh saku celana. Saku itu kempes. Uang pecahan seribu, limaribu, dan sepuluh ribu yang terkumpul selama lima bulan itu ke mana? Rohim merogoh saku satunya. Mencari di saku bajunya. Matanya berkeliling ke sekitar jalan yang baru dilewatinya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Tak ada amplop coklat yang sejak tadi diselipkan di sakunya itu. Ke mana jatuhnya? Ditatapnya mata-mata kerumunan orang yang sejak tadi menggerombol. Mata-mata mereka melukiskan banyak arti. Tak sanggup Rohim artikan. Apa mungkin jatuh di jalan? Tidak mungkin. Saku celananya sudah dikancingkan, amplop itu tak mungkin merosot jatuh. Apa jangan-jangan,…“Ya Allah, aku kecopetan!”***Rohim membanting topinya di meja. Rasanya lelah menyeret kaki yang seperti enggan untuk digerakkan. Di meja sudah terhidang secangkir kopi yang sudah dingin. Sebentar lagi maghrib. Istrinya mungkin masih dalam perjalanan pulang kerja di pabrik garmen di pinggir kota. Lalu ke mana anaknya?Rohim menemukannya sedang duduk di undakan anak tangga pintu dapur. Diro sedang mengelap parang kesayangannya. Sesaat lalu, parang itu dia cuci bersih dan diasah agar tidak tumpul. Parang besar itu modalnya kerja memotong rumput di komplek perumahan di tengah kota. Biasanya seminggu sekali dia keliling untuk menawarkan jasa tukang kebun dadakan dengan berbekal parang itu.“Kamu baru potong rumput di rumah juragan siapa?” tanya Rohim.Diro mendongak. Ia tak menyangka bapaknya akan pulang secepat ini. Ia sedikit gugup. Apalagi ia tak sempat menyembunyikan parang itu. Tapi begitu melihat tangan bapaknya tidak membopong seekor ayam pun, matanya langsung berbinar.“Enggak, pak. Cuma dibersihkan saja,”“Diro, masalah uang daftar ulang sekolahmu itu,” tenggorokan Rohim seperti tercekat. Ia tak tega menatap mata anaknya yang bening, yang penuh harap.Diro girang menatap bapaknya. Pasti bapak akan segera menyerahkan uang itu.“Maaf, Diro, ” ujar Rohim lirih, “bapak baru kecopetan di rumah Koh Endi,” Jantung Diro seperti berhenti berdetak. Matanya terbelalak. Parangnya pun meluncur mulus dari pegangannya dan jatuh membentur lantai. “Bapak enggak bisa bayar biaya daftar ulangmu,” Rohim tertunduk. Ia tak kuasa menatap Diro yang syok. Matanya terbeliak seakan terguncang. Rohim maklum. Kesempatan anaknya untuk menyelesaikan SMP-nya yang kurang setahun lagi mulai samar.“Jadi?”“Maafkan bapak, Dir.” Rohim meratap.“Jadi sia-sia tadi malam ayam-ayam itu aku gorok?”Rohim tersentak kaget. Diro tak percaya apa yang baru keluar dari mulutnya.Mereka cuma saling pandang. ***
Pagi ini Rohim bersiul riang. Dinginnya air sumur yang baru mengguyur membuatnya makin bersemangat. Di depan cermin, ia berjoget sambil menyisir rambut tipis kelabunya. Alunan musik dangdut terdenger kemeresek dari radio tua. Istrinya mengeryit curiga, gelagatnya sepeti lelaki sedang jatuh cinta. Hanya saja, Rohim tak cukup tampan, apalagi kaya untuk mencari istri muda.“Hari ini aku mau ke rumahnya Koh Endi,” ujar Rohim menjawab pertanyaan di wajah istrinya.Mendengar nama Koh Endi, istri Rohim cuma menghela napas tanda paham.“Koh Endi katanya baru dapat stok ayam Bangkok baru. Katanya ayamnya top, bodinya tegap, gede, kakinya kokoh. Petarung sejati pokoknya,”Istri Rohim hapal betul sikap suaminya yang tergila-gila dengan ayam Bangkokaduan. Lebih baik ia tak berkata apa-apa, tapi Diro, anak semata wayang mereka bergegas keluar dari kamar. Rambutnya kusut berdiri di sana-sini dengan wajah cemberut. Lingkaran hitam menggelayut di bawah mata hasil semalam kurang tidur. “Pokoknya, kalau bapak sudah beli ayam itu, terus diadu, terus menang, kamu pasti aku belikan gelang baru,” ujar Rohim pada istrinya.“Pak, mana janji bapak?” tagih Diro tanpa basa-basi.“Janji apa?” tanya Rohim setengah tersedak.“Uang untuk daftar ulang sekolah,”“Oh itu. Bapak nggak ada duit.”“Bohong. Buktinya bapak mau beli ayamnya Koh Endi. Ayam Koh Endi kan enggak murah, pak,” Diro menjawab sengit, “lebih baik uangnya buat bayarin sekolah Diro,”“Uang bapak cuma tujuh ratus ribu. Pas seharga ayam itu. Untuk bayar sekolahmu nggak ada,”“Bayar daftar ulang itu juga tujuh ratus ribu, pak. Bapak nggak usah beli ayam dulu. Kalau nggak bayar uang daftar ulang, aku nggak bisa naik ke kelas tiga, pak.”“Tapi di rapot kemarin kankamu naik kelas.”“Kalau nggak bayar juga nggak akan naik kelas,” bentak Diro. “Pantas keluarga kita melarat terus. Lhawong bapaknya sering sabung ayam.”“Kamu ini kecil-kecil sudah bisa ngajarin bapak!” mata Rohim menatap nyalang, tapi Diro tidak gentar. Ia balas menatap tanpa berkedip. “Bapak lebih sayang ayam daripada anak sendiri!”Diro langsung keluar rumah tanpa banyak berkata. Rohim terengah-engah menahan marah dan menahan tangan untuk tidak menampar mulut Diro. Istrinya terduduk lesu sembari menahan mual melihat pertengkaran barusan. Anaknya baru empat belas tahun dan suaminya sudah kepala empat. Keduanya tidak ada yang berkepala dingin, sedangkan ia terjepit di tengah-tengah tanpa tahu harus membela siapa.“Nafsu makanku jadi hilang. Siapa yang betah tinggal di rumah seperti ini.” Rohim membanting serbet makannya.Istrinya hanya diam memandangi Rohim. Gundah yang ia simpan mulai luber meluncur di wajahnya yang lelah.***Rohim mengayuh sepeda tuanya dengan berat. Rodanya sedikit kempes dan jalanan sedikit berbatu. Sesekali Rohim menyeka peluh yang meleleh terbakar matahari. Hasratnya begitu menggebu. Jantungnya berdetak seakan hendak menjebol tulang rusuknya. Kualitas ayam Bangkokternakan Koh Endi memang terkenal. Konon kabarnya Koh Endi mengambil bibitnya langsung ke Bangkok. Bagi Rohim itu bukan masalah. Sepanjang ayam itu selalu menang di arena sabung, selama ia terus bisa mereguk rupiah hasil sabung, ia tak peduli.Kepala Rohim mendadak berdenyut-denyut. Bayangan Diro juga tak kunjung pergi dari benaknya. Diro anak satu-satunya. Umurnya masih baru empat belas. Tahun depan sudah mau masuk STM. Tapi itu terancam gagal karena tak bisa membayar uang daftar ulang syarat kenaikan kelas. Semakin dipikirkan semakin terbelit-belit isi otak Rohim yang cuma mengeyam bangku SD. Dari kejauhan ada keramaian. Keramaian itu seperti gumpalan bola salju yang meluncur dari atas gunung. Mulanya satu dua orang, lama-lama sekian puluh jumlahnya. Rohim heran, bagaimana bisa ada kerumunan orang di depan rumah Koh Endi. Kerumunan itu terus meluber sampai ke halaman belakang, tempat bisnis Koh Endi. Apalagi kalau bukan rentetan kandang ayamnya.Rohim menggaruk-garuk kepala. Kasak-kusuk orang begitu berisik. Kerumunan begitu padat untuk ditembus. Adaapa ini? Rohim lompat jinjit dua kali, lalu menelusup di antara bahu dan punggung, mencari Koh Endi. Tapi pria setengah baya itu entah kenapa tak terlihat.“Kasihan Koh Endi,”“Iya, kanayamnya bagus-bagus. Kok apes ya?”“Siapa sih yang tega?”“Gila, lima ayam Bangkok yang baru digorok semua!”“Jangan-jangan saingannya si Kokoh yang melakukan,”“Padahal, ayamnya kankualitas impor.”“Mati aku! Nanti sore aku mau adu sama kampung sebelah. Cari ayam di mana lagi?”Orang-orang tak henti bicara. Rohim mendengarkannya sampai merinding. Apa benar ayam Bangkokbaru Koh Endi digorok orang? Lima-limanya? Rohim mulai menyikut sebelahnya, menyeruak ke depan. Ia mencari jalan untuk sampai ke kandang ayam Koh Endi.Itu dia Koh Endi. Pria yang rambutnya sudah sebagian memutih itu jongkok menatap ayam-ayamnya. Semua kesayangannya itu tergeletak tak beraturan di tanah. Leher mereka hampir putih. Darah membanjir menodai coklatnya bumi. Bau amis darah samar-samar menguar di udara. Rohim mengelus dada. Satu di antara ayam-ayam itu pasti pesanannya. Pupus sudah harapannya untuk memiliki ayam kualitas nomor satu. “Oalah, mimpi apa aku? Si Burik, si Jabrik, si Cebol, si Bohai, terus andalanku si Bantam, semuanya mati. Siapa yang tega begini?” ratap Koh EndiKoh Endi sibuk mengelap air matanya. Pria kurus kering itu bahkan tak mengenali Rohim yang berdiri di sebelahnya. Diambilnya sebuah sekop besar. Ia menggali tanah di samping jajaran kandangnya. Dalam beberapa saat, Koh Endi menyiapkan limalubang kecil. Rohim langsung paham. Koh Endi dengan rapi memasukkan ayam-ayam itu ke liang kuburnya masing-masing. Tidak sampai setengah jam lima gundukan tanah itu berbaris rapi. Rohim semakin mengurut dada. Air mata yang terus berleleran mewakili gemuruh apa yang ada di hati Koh Endi.“Oalah, oalah, ayam-ayamku,…”Kerumunan orang tidak berkurang. Mereka masih bergumam. Gumaman yang terus membumbung tinggi ke udara seperti gerombolan lebah. Tak satu pun turun tangan mem-bantu Koh Endi. Menghiburnya. Membantunya mengubur bangkai-bangkai itu. Mereka cuma melihat dan berkasak-kusuk. Termasuk Rohim. Semuanya masih terpana oleh kejadian ini.Pikiran Rohim melayang. Akhirnya benaknya membentur bayangan wajah Diro. Anak sulungnya yang dua hari lalu mendatanginya. Tanpa bicara. Cuma menyodorkan selembar kertas berstempel. Di dalamnya terdapat rincian biaya, mulai dari biaya uang daftar ulang, uang sekolah bulan pertama, iuran OSIS, iuran koperasi, sumbangan a, sumbangan b, semuanya runtun rapi terperinci. Totalnya tujuh ratus ribu. Harus dibayar segera, tepatnya hari ini, supaya Diro bisa melanjutkan tahun ketiga menengah pertamanya.Hanya saja, Rohim lebih sayang hobinya. Rohim lebih memilih pada ayam Bangkok Koh Endi seharga tujuh ratus ribu yang ternyata hari ini terkapar dan membusuk di liang karena ulah entah siapa. Rohim menghela napas. Siapa yang tega melakukannya? Biasanya ayam-ayam Bangkok dicuri, bukan dieksekusi lalu digeletakkan begitu saja. Orang usil mana yang punya waktu seperti itu. Rohim tetap tak habis pikir. Wajah Diro kembali terbayang. Ia harus segera pulang dan segera membayarkan uang ini ke sekolah. Rohim baru saja memutar langkahnya. Tangannya merogoh saku celana. Saku itu kempes. Uang pecahan seribu, limaribu, dan sepuluh ribu yang terkumpul selama lima bulan itu ke mana? Rohim merogoh saku satunya. Mencari di saku bajunya. Matanya berkeliling ke sekitar jalan yang baru dilewatinya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Tak ada amplop coklat yang sejak tadi diselipkan di sakunya itu. Ke mana jatuhnya? Ditatapnya mata-mata kerumunan orang yang sejak tadi menggerombol. Mata-mata mereka melukiskan banyak arti. Tak sanggup Rohim artikan. Apa mungkin jatuh di jalan? Tidak mungkin. Saku celananya sudah dikancingkan, amplop itu tak mungkin merosot jatuh. Apa jangan-jangan,…“Ya Allah, aku kecopetan!”***Rohim membanting topinya di meja. Rasanya lelah menyeret kaki yang seperti enggan untuk digerakkan. Di meja sudah terhidang secangkir kopi yang sudah dingin. Sebentar lagi maghrib. Istrinya mungkin masih dalam perjalanan pulang kerja di pabrik garmen di pinggir kota. Lalu ke mana anaknya?Rohim menemukannya sedang duduk di undakan anak tangga pintu dapur. Diro sedang mengelap parang kesayangannya. Sesaat lalu, parang itu dia cuci bersih dan diasah agar tidak tumpul. Parang besar itu modalnya kerja memotong rumput di komplek perumahan di tengah kota. Biasanya seminggu sekali dia keliling untuk menawarkan jasa tukang kebun dadakan dengan berbekal parang itu.“Kamu baru potong rumput di rumah juragan siapa?” tanya Rohim.Diro mendongak. Ia tak menyangka bapaknya akan pulang secepat ini. Ia sedikit gugup. Apalagi ia tak sempat menyembunyikan parang itu. Tapi begitu melihat tangan bapaknya tidak membopong seekor ayam pun, matanya langsung berbinar.“Enggak, pak. Cuma dibersihkan saja,”“Diro, masalah uang daftar ulang sekolahmu itu,” tenggorokan Rohim seperti tercekat. Ia tak tega menatap mata anaknya yang bening, yang penuh harap.Diro girang menatap bapaknya. Pasti bapak akan segera menyerahkan uang itu.“Maaf, Diro, ” ujar Rohim lirih, “bapak baru kecopetan di rumah Koh Endi,” Jantung Diro seperti berhenti berdetak. Matanya terbelalak. Parangnya pun meluncur mulus dari pegangannya dan jatuh membentur lantai. “Bapak enggak bisa bayar biaya daftar ulangmu,” Rohim tertunduk. Ia tak kuasa menatap Diro yang syok. Matanya terbeliak seakan terguncang. Rohim maklum. Kesempatan anaknya untuk menyelesaikan SMP-nya yang kurang setahun lagi mulai samar.“Jadi?”“Maafkan bapak, Dir.” Rohim meratap.“Jadi sia-sia tadi malam ayam-ayam itu aku gorok?”Rohim tersentak kaget. Diro tak percaya apa yang baru keluar dari mulutnya.Mereka cuma saling pandang. ***
Published on December 31, 2013 22:27
November 21, 2013
KENANGAN KEMBANG SEPATU
cerpen ini dimuat di majalah CHIC no. 154 edar 13-27 November 2013

Kapan aku bisa ambil barang itu?Tubuh Sheila lemas saat membaca pesan pendek itu di tengah rapat ekspansi kantor. Suara pak Rico, manager pemasaran berbaur dengan gema suara kepalanya yang tak henti mengulang kalimat pesan pendek itu. “Sheila, bagaimana proyeksi budget interior kantor baru?” tanya pak Rico.Cepat atau lambat, Sheila tahu ini akan terjadi. Sudah setahun ia bercerai. Masa iddah-nya pun sudah selesai. Secara hukum negara dan agama, ia sah dan berhak melanjutkan hidup, mencari lelaki lain untuk mendampinginya. Kisah masa lalu bersama Banyu harus dikunci di ruang hati dan tak lagi dikunjungi. Sayangnya, Sheila masih betah memerangkap diri di sana.“Sheila?”Benda itu kenangan terakhir Banyu. Bila diambil, maka tuntaslah semuanya. Tak ada lagi alasan untuk bertemu. Selamanya.“Sheila!” Ia terkesiap. Pak Rico menatap kesal bercampur cemas. Seluruh mata pun ikut tertuju padanya. Sheila mendadak merasa ditelanjangi. Pikirannya seakan setengah dikuliti.“Proyeksi budget interior?” tanya Pak Rico menahan geram.Sheila berdehem sambil mengatur duduk. “Oh itu. Anu. Ehm, bapak ibu, silakan buka lampiran ketiga di bagian belakang proposal. Semuanya tercantum di sana.”Terdengar kemeresak kertas dibolak-balik memecah sunyinya ruang rapat. Dengan cekatan pula, otak Sheila mencari alasan agar Banyu tak bisa mengambil kardus itu.***Orang bilang, rumah adalah tempat hatimu berada. Itu juga yang Sheila pahami sebelum Banyu menceraikannya. Banyu adalah alasannya untuk pulang. Banyu ialah rumah bagi Sheila. Namun, sepertinya Sheila bukan rumah bagi Banyu. Sheila bukan lagi alasannya pulang, tak cukup berharga untuk dipertahankan. Sheila menatap kardus kecil terakhir yang teronggok di meja ruang tengah. Warna cokelatnya pucat berpendar di bawah sorot lampu. Ini kenangan terakhir Banyu. Sheila juga dulu milik Banyu. Maka hari ini, nasib kardus itu dan Sheila serupa. Ditinggalkan. Berdebu. Lapuk. Mendadak ruangan terasa dingin. Sheila merapatkan kimono tidurnya, tapi sekuat apa pun dia mengencangkannya, tak juga membuatnya hangat. Ternyata kesepian bisa menggigilkan.Semua begitu hening. Inilah saat sempurna untuk mengepak barang terakhir Banyu. Mudah bukan? Tinggal ambil kardus, masukkan barang-barangnya, jejalkan sampai sesak tak berongga, lalu bebat kuat-kuat dengan perekat. Sayangnya, mengepak tak ubahnya memilah kenangan mereka. Luka baru tak henti tertoreh tiap kali Sheila melihat kardus kecil ini.Tangannya bergetar hebat saat mengangkat penutup atas kardus itu. Hela napas memenuhi dadanya, seperti balon yang menggelembung lalu meletus, menebarkan jarum-jarum yang menancapi pembuluh darahnya.Ada sepasang mug porselen putih susu dengan dekorasi handmade painting kembang sepatu. Kembangnya merah menyala, mirip rona wajah orang jatuh cinta. Sepasang mug ini hadiah pernikahan dari ibu Banyu yang memang seorang pelukis. Yang unik dari lukisan di penampang mug itu, bila keduanya disejajarkan di suatu sudut tertentu, lukisan kembang sepatunya terlihat menyambung dari satu mug ke mug lainnya. Hati Sheila lagi-lagi remuk saat mengingat pertama kali ia menggunakan mug-mug ini. Matahari kala itu tampak lebih cerah. Cericit burung-burung pun tak pernah lebih merdu dari ini. Ia menjerang air dan menyeduh teh madu. Dengan asap mengepul tipis dan sisa api asmarayang masih membara dari malam pertama beberapa jam sebelumnya, ia bangunkan Banyu dengan kecupan di kening. Suaminya, yang kini sudah mantan suami tentunya, membuka mata. Sheila pun tahu ia jatuh cinta selamanya pada pria itu.Sheila meraba pipi. Ada bekas lembab di sana. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Ponselnya bergetar dan tanpa melihatnya, Sheila tahu siapa pengirim pesan itu. Ia pun tahu ia harus mempersiapkan diri.***Wajah Banyu yang tirus penuh bulu-bulu halus tak tercukur rapi; menegaskan lelah yang ia hadapi. Biasanya Sheila akan menangkupkan kedua tangan di pipi Banyu. Dengan cepat, dikecupnya bibir Banyu yang menghitam karena tembakau. Samaria menyesap aroma menthol dan permen mint menelusup ke dalam bibirnya sendiri. Namun, kini mereka hanya saling memandang. Banyu tersenyum. Hati Sheila terlampau sakit untuk membalasnya.“Aku nggak ganggu kamu, kan?”Seumur hidupku, kamu akan menggangguku dengan kenangan-kenangan, Banyu.“Kamu tahu kenapa aku kemari?”Kamu datang untuk berpisah.“Mug dari ibuku. Kamu sudah siapkan?”Selamanya aku takkan siap untuk berpisah denganmu.Sheila memberi tanda agar Banyu mengikuti ke taman belakang. Di sana, Sheila menyandingkan kedua mug hingga gambarnya menyatu; membentuk lukisan kelopak-kelopak kembang sepatu yang bermekaran. Asap tipis mengular dari dalam mug dan menebarkan aroma teh madu. Sheila mengambil satu dan memberikan pasangan mugnya pada Banyu. Sejenak pria itu ragu, tapi akhirnya diterima juga. Hangat di permukaan mug segera menjalari tangan, tapi tak sanggup melelehkan beku di hatinya.“Kamu ingat pohon kembang sepatu itu,” Sheila duduk di undakan tangga teras belakang. “Dulu kita menanamnya karena terinspirasi lukisan ibumu di mug ini.”“Iya.” Banyu duduk menjajari Sheila, sembari erat memegang mug itu.Lama sekali keduanya duduk di sana, menatap rerimbunan pohon kembang sepatu. Perlahan Banyu menyesap teh madunya. Sheila sibuk menerka apa yang terlintas di benak Banyu saat ini. Apa kenangan teh madu di dalam mug kembang sepatu selepas malam pertama mereka tidak meronta-ronta liar, seperti yang kini Sheila alami?“Pertama kali kita memakai mug ini ketika kita bulan madu di Ubud,” gumam Sheila.“Itu masa lalu, Sheil.”“Bukan berarti kamu lupa, kan?”“Bukan berarti selalu diingat, kan?”Sheila menghela napas. “Kenapa kamu mau ambil mug ini? Katamu masa lalu nggak berarti selalu diingat.”Banyu menerawang, lalu menyesap tehnya lagi. “Salah satunya karena mug ini mengingatkanku pada wanita-wanita yang kusayangi. Ibuku. Kamu.”“Kamu? Masih sayang sama aku?”“Jangan mulai, Sheil. Aku tahu ke mana arah pertanyaanmu. Kita sudah cerai, ingat?”“Terus kenapa kamu bilang gitu?”“Sheila,” akhirnya Banyu menatap mantan istrinya. Sheila terkesiap. Ia lupa membu-buhkan eyeliner dan lipstik. Apa ia terlihat cukup cantik? Apa Banyu menemukan beberapa garis kerut baru di sudut mata Sheila? Jika tahu mereka akan sedekat ini, tentu ia akan sedikit berdandan.“Berapa lama kita saling kenal?”“Pacaran lima tahun. Nikah limatahun.”“Sepuluh tahun, Sheil. Perasaan di antara kita nggak segampang itu dihapus. Berapa lebaran kita habiskan bersama? Berapa ulang tahunku yang kita rayakan bersama? Kamu pernah menjadi rumahku untuk pulang. Kalau pun aku mau, aku nggak bisa melupakanmu begitu saja.”Sheila terenyak mendengarnya. Ia sampai harus meletakkan mugnya di lantai. Tangannya bergetar terlalu hebat sampai mug itu hampir meluncur dan berderak pecah.“Tapi kita sudah memilih jalan masing-masing.” Banyu kembali menatap pohon kembang sepatu di depan mereka. “Aku sudah membuat keputusan dan kamu menerimanya. Sekarang kita di sini untuk menyelesaikan semua.”Buru-buru Sheila memalingkan wajahnya. Banyu tak boleh melihatnya menangis. Seperti gulma yang kembali tumbuh tiap kali tercerabut, seperti itu pula nyeri ketika Banyu memaksa mencabut sisa-sisa kenangan di hati Sheila, yang toh nanti juga akan kembali bermekaran menyiksanya.“Tehnya nggak diabisin? Aku mau ambil mugnya.”Sejenak Sheila ragu. Ia kembali mengangkat mugnya. Teh madu di dalam mug kembang sepatu mulai dingin. Sheila melirik. Banyu sudah menandaskan isi mugnya sendiri. “Aku ingin menyimpannya,” ujar Sheila setelah mengumpulkan segenap keberanian. “Mug ini, boleh untukku saja?”Mata Banyu tajam mengiris-iris hati Sheila. “Nggak.”“Kenapa? Kamu bisa beli mug lain dan minta ibumu melukiskan gambar lain yang lebih bagus dari kembang sepatu. Tapi biar aku menyimpan yang ini, kumohon.”“Buat apa?”“Nah kamu sendiri buat apa ambil mug ini? Toh kamu juga udah nggak peduli, kan?”“Justru karena aku peduli, makanya aku ambil mug itu. Berapa lama kamu terperangkap kenangan kita? Sudah waktunya kamu melanjutkan hidup. Cukup!”Banyu menarik napas panjang seakan mengumpulkan nyalinya yang terserak di mana-mana. Dengan cepat, ia mengambil kedua mug itu. Sheila terkesiap dan tak bisa mencegah. Beberapa tetes teh terpercik mengenai telapak tangannya. Lalu, dua mug itu Banyu sejajarkan hingga penampangnya membentuk lukisan kembang sepatu.“Dulu ibuku melukiskan gambar ini karena ibu ingin, seperti mug ini, walau kita terpisah tapi sebenarnya kita utuh. Saling melengkapi.”Ada perasaan tak enak menyelinap di hati Sheila, seakan bisa membaca apa yang akan Banyu lakukan.“Karena itu, aku akan mengambilnya. Karena kita sudah pisah. Kita nggak mungkin sama-sama lagi. Kalau kamu menyimpannyanya, kamu akan lebih lama lagi memelihara harapan kalau kita bisa sama-sama lagi.”Belum sempat Sheila mengulurkan tangan mengambil mug itu lagi, Banyu berujar, “Aku peduli padamu, jadi aku nggak punya pilihan lain.”Mata Sheila menangkap semuanya dalam gerakan lambat. Kedua mug itu lepas terjun bebas dari genggaman kokoh Banyu. Derap jantungnya berhenti seketika saat keping pertama mug itu terserak semburat. Dentingnya entah bagaimana bisa memekakkan telinga, seakan itu hatinya sendiri yang pecah.“Sekarang, sudah nggak ada lagi yang menghalangimu melanjutkan hidup, Sheil.” Pias merambati wajah Sheila, seakan cahaya kehidupannya terenggut. Sejumput rasa bersalah mewarnai hati Banyu. Ia tak menyangka Sheila akan sibuk memunguti pecahan mug yang tak lagi beraturan itu. Beberapa kali Banyu mencegah, tapi Sheila tak menggubrisnya. Bahkan ketika ia pamit, Sheila menepis tangan Banyu kuat-kuat. Ia sibuk mengumpulkan keping-keping itu. Tadinya Banyu mengira Sheila akan menangis, menjerit histeris, lalu mengusirnya dari rumah, seperti pertengkaran yang sudah-sudah. Namun Sheila tetap duduk di sana, syok, membisu. Dan seperti yang telah lewat, Banyu tak lagi kuat. Dalam pertengkaran apa pun, memang lebih mudah untuk memilih pergi.Tidak ada yang tahu berapa lama Sheila meringkuk di sana. Keping-keping merah dan putih berbaur, sementara desau angin menandakan senja tuntas beranjak. Sebenarnya ia ingin menangis, berteriak, mengentakkan kaki, melakukan apa pun, tapi tubuhnya menyerah lelah. Secepat ilham melintas, ia melesat ke dalam rumah. Tak lama, matanya berbinar cerah saat menemukan benda di dalam laci lemari tengah. Benih harapan kembali ia tanam, siap menuai asa yang akan tumbuh subur.Sepanjang malam, Sheila begitu terampil menarikan jari-jemarinya. Bau kuat lem super membumbung ke udara. Satu demi satu keping itu ia rekatkan dengan hati-hati, seakan ia sedang menyusun ulang hatinya sendiri dengan kenangan-kenangan.Banyu bohong. Pria itu tak pernah peduli padanya. Biar saja mug-mug ini ia simpan sendiri. Banyu tak perlu tahu. Ya, biar ini jadi rahasianya sendiri. Sepasang mug kembang sepatu itu dipenuhi garis-garis retak mengerikan. Persis hatinya sendiri. ***
Kapan aku bisa ambil barang itu?Tubuh Sheila lemas saat membaca pesan pendek itu di tengah rapat ekspansi kantor. Suara pak Rico, manager pemasaran berbaur dengan gema suara kepalanya yang tak henti mengulang kalimat pesan pendek itu. “Sheila, bagaimana proyeksi budget interior kantor baru?” tanya pak Rico.Cepat atau lambat, Sheila tahu ini akan terjadi. Sudah setahun ia bercerai. Masa iddah-nya pun sudah selesai. Secara hukum negara dan agama, ia sah dan berhak melanjutkan hidup, mencari lelaki lain untuk mendampinginya. Kisah masa lalu bersama Banyu harus dikunci di ruang hati dan tak lagi dikunjungi. Sayangnya, Sheila masih betah memerangkap diri di sana.“Sheila?”Benda itu kenangan terakhir Banyu. Bila diambil, maka tuntaslah semuanya. Tak ada lagi alasan untuk bertemu. Selamanya.“Sheila!” Ia terkesiap. Pak Rico menatap kesal bercampur cemas. Seluruh mata pun ikut tertuju padanya. Sheila mendadak merasa ditelanjangi. Pikirannya seakan setengah dikuliti.“Proyeksi budget interior?” tanya Pak Rico menahan geram.Sheila berdehem sambil mengatur duduk. “Oh itu. Anu. Ehm, bapak ibu, silakan buka lampiran ketiga di bagian belakang proposal. Semuanya tercantum di sana.”Terdengar kemeresak kertas dibolak-balik memecah sunyinya ruang rapat. Dengan cekatan pula, otak Sheila mencari alasan agar Banyu tak bisa mengambil kardus itu.***Orang bilang, rumah adalah tempat hatimu berada. Itu juga yang Sheila pahami sebelum Banyu menceraikannya. Banyu adalah alasannya untuk pulang. Banyu ialah rumah bagi Sheila. Namun, sepertinya Sheila bukan rumah bagi Banyu. Sheila bukan lagi alasannya pulang, tak cukup berharga untuk dipertahankan. Sheila menatap kardus kecil terakhir yang teronggok di meja ruang tengah. Warna cokelatnya pucat berpendar di bawah sorot lampu. Ini kenangan terakhir Banyu. Sheila juga dulu milik Banyu. Maka hari ini, nasib kardus itu dan Sheila serupa. Ditinggalkan. Berdebu. Lapuk. Mendadak ruangan terasa dingin. Sheila merapatkan kimono tidurnya, tapi sekuat apa pun dia mengencangkannya, tak juga membuatnya hangat. Ternyata kesepian bisa menggigilkan.Semua begitu hening. Inilah saat sempurna untuk mengepak barang terakhir Banyu. Mudah bukan? Tinggal ambil kardus, masukkan barang-barangnya, jejalkan sampai sesak tak berongga, lalu bebat kuat-kuat dengan perekat. Sayangnya, mengepak tak ubahnya memilah kenangan mereka. Luka baru tak henti tertoreh tiap kali Sheila melihat kardus kecil ini.Tangannya bergetar hebat saat mengangkat penutup atas kardus itu. Hela napas memenuhi dadanya, seperti balon yang menggelembung lalu meletus, menebarkan jarum-jarum yang menancapi pembuluh darahnya.Ada sepasang mug porselen putih susu dengan dekorasi handmade painting kembang sepatu. Kembangnya merah menyala, mirip rona wajah orang jatuh cinta. Sepasang mug ini hadiah pernikahan dari ibu Banyu yang memang seorang pelukis. Yang unik dari lukisan di penampang mug itu, bila keduanya disejajarkan di suatu sudut tertentu, lukisan kembang sepatunya terlihat menyambung dari satu mug ke mug lainnya. Hati Sheila lagi-lagi remuk saat mengingat pertama kali ia menggunakan mug-mug ini. Matahari kala itu tampak lebih cerah. Cericit burung-burung pun tak pernah lebih merdu dari ini. Ia menjerang air dan menyeduh teh madu. Dengan asap mengepul tipis dan sisa api asmarayang masih membara dari malam pertama beberapa jam sebelumnya, ia bangunkan Banyu dengan kecupan di kening. Suaminya, yang kini sudah mantan suami tentunya, membuka mata. Sheila pun tahu ia jatuh cinta selamanya pada pria itu.Sheila meraba pipi. Ada bekas lembab di sana. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Ponselnya bergetar dan tanpa melihatnya, Sheila tahu siapa pengirim pesan itu. Ia pun tahu ia harus mempersiapkan diri.***Wajah Banyu yang tirus penuh bulu-bulu halus tak tercukur rapi; menegaskan lelah yang ia hadapi. Biasanya Sheila akan menangkupkan kedua tangan di pipi Banyu. Dengan cepat, dikecupnya bibir Banyu yang menghitam karena tembakau. Samaria menyesap aroma menthol dan permen mint menelusup ke dalam bibirnya sendiri. Namun, kini mereka hanya saling memandang. Banyu tersenyum. Hati Sheila terlampau sakit untuk membalasnya.“Aku nggak ganggu kamu, kan?”Seumur hidupku, kamu akan menggangguku dengan kenangan-kenangan, Banyu.“Kamu tahu kenapa aku kemari?”Kamu datang untuk berpisah.“Mug dari ibuku. Kamu sudah siapkan?”Selamanya aku takkan siap untuk berpisah denganmu.Sheila memberi tanda agar Banyu mengikuti ke taman belakang. Di sana, Sheila menyandingkan kedua mug hingga gambarnya menyatu; membentuk lukisan kelopak-kelopak kembang sepatu yang bermekaran. Asap tipis mengular dari dalam mug dan menebarkan aroma teh madu. Sheila mengambil satu dan memberikan pasangan mugnya pada Banyu. Sejenak pria itu ragu, tapi akhirnya diterima juga. Hangat di permukaan mug segera menjalari tangan, tapi tak sanggup melelehkan beku di hatinya.“Kamu ingat pohon kembang sepatu itu,” Sheila duduk di undakan tangga teras belakang. “Dulu kita menanamnya karena terinspirasi lukisan ibumu di mug ini.”“Iya.” Banyu duduk menjajari Sheila, sembari erat memegang mug itu.Lama sekali keduanya duduk di sana, menatap rerimbunan pohon kembang sepatu. Perlahan Banyu menyesap teh madunya. Sheila sibuk menerka apa yang terlintas di benak Banyu saat ini. Apa kenangan teh madu di dalam mug kembang sepatu selepas malam pertama mereka tidak meronta-ronta liar, seperti yang kini Sheila alami?“Pertama kali kita memakai mug ini ketika kita bulan madu di Ubud,” gumam Sheila.“Itu masa lalu, Sheil.”“Bukan berarti kamu lupa, kan?”“Bukan berarti selalu diingat, kan?”Sheila menghela napas. “Kenapa kamu mau ambil mug ini? Katamu masa lalu nggak berarti selalu diingat.”Banyu menerawang, lalu menyesap tehnya lagi. “Salah satunya karena mug ini mengingatkanku pada wanita-wanita yang kusayangi. Ibuku. Kamu.”“Kamu? Masih sayang sama aku?”“Jangan mulai, Sheil. Aku tahu ke mana arah pertanyaanmu. Kita sudah cerai, ingat?”“Terus kenapa kamu bilang gitu?”“Sheila,” akhirnya Banyu menatap mantan istrinya. Sheila terkesiap. Ia lupa membu-buhkan eyeliner dan lipstik. Apa ia terlihat cukup cantik? Apa Banyu menemukan beberapa garis kerut baru di sudut mata Sheila? Jika tahu mereka akan sedekat ini, tentu ia akan sedikit berdandan.“Berapa lama kita saling kenal?”“Pacaran lima tahun. Nikah limatahun.”“Sepuluh tahun, Sheil. Perasaan di antara kita nggak segampang itu dihapus. Berapa lebaran kita habiskan bersama? Berapa ulang tahunku yang kita rayakan bersama? Kamu pernah menjadi rumahku untuk pulang. Kalau pun aku mau, aku nggak bisa melupakanmu begitu saja.”Sheila terenyak mendengarnya. Ia sampai harus meletakkan mugnya di lantai. Tangannya bergetar terlalu hebat sampai mug itu hampir meluncur dan berderak pecah.“Tapi kita sudah memilih jalan masing-masing.” Banyu kembali menatap pohon kembang sepatu di depan mereka. “Aku sudah membuat keputusan dan kamu menerimanya. Sekarang kita di sini untuk menyelesaikan semua.”Buru-buru Sheila memalingkan wajahnya. Banyu tak boleh melihatnya menangis. Seperti gulma yang kembali tumbuh tiap kali tercerabut, seperti itu pula nyeri ketika Banyu memaksa mencabut sisa-sisa kenangan di hati Sheila, yang toh nanti juga akan kembali bermekaran menyiksanya.“Tehnya nggak diabisin? Aku mau ambil mugnya.”Sejenak Sheila ragu. Ia kembali mengangkat mugnya. Teh madu di dalam mug kembang sepatu mulai dingin. Sheila melirik. Banyu sudah menandaskan isi mugnya sendiri. “Aku ingin menyimpannya,” ujar Sheila setelah mengumpulkan segenap keberanian. “Mug ini, boleh untukku saja?”Mata Banyu tajam mengiris-iris hati Sheila. “Nggak.”“Kenapa? Kamu bisa beli mug lain dan minta ibumu melukiskan gambar lain yang lebih bagus dari kembang sepatu. Tapi biar aku menyimpan yang ini, kumohon.”“Buat apa?”“Nah kamu sendiri buat apa ambil mug ini? Toh kamu juga udah nggak peduli, kan?”“Justru karena aku peduli, makanya aku ambil mug itu. Berapa lama kamu terperangkap kenangan kita? Sudah waktunya kamu melanjutkan hidup. Cukup!”Banyu menarik napas panjang seakan mengumpulkan nyalinya yang terserak di mana-mana. Dengan cepat, ia mengambil kedua mug itu. Sheila terkesiap dan tak bisa mencegah. Beberapa tetes teh terpercik mengenai telapak tangannya. Lalu, dua mug itu Banyu sejajarkan hingga penampangnya membentuk lukisan kembang sepatu.“Dulu ibuku melukiskan gambar ini karena ibu ingin, seperti mug ini, walau kita terpisah tapi sebenarnya kita utuh. Saling melengkapi.”Ada perasaan tak enak menyelinap di hati Sheila, seakan bisa membaca apa yang akan Banyu lakukan.“Karena itu, aku akan mengambilnya. Karena kita sudah pisah. Kita nggak mungkin sama-sama lagi. Kalau kamu menyimpannyanya, kamu akan lebih lama lagi memelihara harapan kalau kita bisa sama-sama lagi.”Belum sempat Sheila mengulurkan tangan mengambil mug itu lagi, Banyu berujar, “Aku peduli padamu, jadi aku nggak punya pilihan lain.”Mata Sheila menangkap semuanya dalam gerakan lambat. Kedua mug itu lepas terjun bebas dari genggaman kokoh Banyu. Derap jantungnya berhenti seketika saat keping pertama mug itu terserak semburat. Dentingnya entah bagaimana bisa memekakkan telinga, seakan itu hatinya sendiri yang pecah.“Sekarang, sudah nggak ada lagi yang menghalangimu melanjutkan hidup, Sheil.” Pias merambati wajah Sheila, seakan cahaya kehidupannya terenggut. Sejumput rasa bersalah mewarnai hati Banyu. Ia tak menyangka Sheila akan sibuk memunguti pecahan mug yang tak lagi beraturan itu. Beberapa kali Banyu mencegah, tapi Sheila tak menggubrisnya. Bahkan ketika ia pamit, Sheila menepis tangan Banyu kuat-kuat. Ia sibuk mengumpulkan keping-keping itu. Tadinya Banyu mengira Sheila akan menangis, menjerit histeris, lalu mengusirnya dari rumah, seperti pertengkaran yang sudah-sudah. Namun Sheila tetap duduk di sana, syok, membisu. Dan seperti yang telah lewat, Banyu tak lagi kuat. Dalam pertengkaran apa pun, memang lebih mudah untuk memilih pergi.Tidak ada yang tahu berapa lama Sheila meringkuk di sana. Keping-keping merah dan putih berbaur, sementara desau angin menandakan senja tuntas beranjak. Sebenarnya ia ingin menangis, berteriak, mengentakkan kaki, melakukan apa pun, tapi tubuhnya menyerah lelah. Secepat ilham melintas, ia melesat ke dalam rumah. Tak lama, matanya berbinar cerah saat menemukan benda di dalam laci lemari tengah. Benih harapan kembali ia tanam, siap menuai asa yang akan tumbuh subur.Sepanjang malam, Sheila begitu terampil menarikan jari-jemarinya. Bau kuat lem super membumbung ke udara. Satu demi satu keping itu ia rekatkan dengan hati-hati, seakan ia sedang menyusun ulang hatinya sendiri dengan kenangan-kenangan.Banyu bohong. Pria itu tak pernah peduli padanya. Biar saja mug-mug ini ia simpan sendiri. Banyu tak perlu tahu. Ya, biar ini jadi rahasianya sendiri. Sepasang mug kembang sepatu itu dipenuhi garis-garis retak mengerikan. Persis hatinya sendiri. ***
Published on November 21, 2013 21:34
October 27, 2013
SEPASANG MATA KENANGAN
Cerpen ini dimuat di harian Media Indonesia, 20 Oktober 2013
Ballroom tempat reuni diadakan mulai ramai oleh wajah-wajah tak kukenal. Aku duduk di suatu sudut dan mengedarkan pandangan. Bagiku, reuni bukan temu kangen. Bagaimana kau merindukan orang-orang yang selintas kau jumpai di lorong sekolah, yang kini tak lagi kau ingat rupa atau namanya? Jujur, aku nyaris melupakan semua kenanganku, seakan seluruh wadah ingatanku hanya berisi satu hal; sepasang mata kenangan. Bertahun-tahun lalu, di lorong sekolah pertama kali kulihat dia. Berjalan sendiri, dengan seragam sekolah kebesaran, memeluk buku di dada. Tak ada yang istimewa darinya. Namun, matanya..., andai waktu itu aku lebih cepat memalingkan wajah, mungkin benakku kini takkan penuh oleh kenangan sepasang mata itu; kelam pekat. Tepat saat aku melihat matanya, aku terisap. Pekat, persis lubang hitam. Pada sepasang mata itu, ada kesedihan menggelegak persis ombak di musim badai. Semakin kulihat, makin pekat pula rasa putus asa menyambar-nyambar. Dari sana, tumbuh kegelapan yang merambat dan mencengkeram, membuatku nyaris kehabisan napas.Sejak pertemuan di lorong itu, aku selalu menunggu bel istirahat berbunyi. Dia melintasi kelasku dengan ritme langkah yang monoton. Kuikuti dia ke kantin agar makin leluasa menatapnya. Lebih tepatnya, memandangi matanya. Ritual ini membuatku ketagihan. Aku tak bisa lepas. Pernah sekali kupaksakan diri menghindarinya. Namun, keringat dingin meluncur. Tanganku bergetar hebat, lengkap dengan kepala pening berdenyut-denyut. Dengan langkah setengah terseok, aku menyusulnya. Di sanalah dia, khidmat menikmati makan siang. Setelah menatap matanya yang persis lubang hitam tak berdasar, aku berangsur membaik. Napasku tak lagi memburu. Tak ada keringat atau tangan bergetar. Sejak itulah aku tahu, aku mencandu matanya.“Maaf, kursi ini kosong?” sebuah suara wanita memecah lamunanku. Aku menoleh dan terperangah. Ada sepasang mata mengerjap, langsung menjeratku. Mirip lubang hitam yang mengisap segala rasa, tak menyisakan apa-apa kecuali hampa. Antara sadar dan tidak, aku mengangguk. Ujung roknya meliuk menyentuh lututku saat dia duduk di sampingku.“Angkatan berapa?” tanyanya tiba-tiba, menarikku dari nostalgia.“Lulus 2004.”“Ah, setahun di bawahku. Aku lulus 2003.”Aku tersenyum sembari menatap mata hitamnya. Mata itu tak banyak berubah. Persis lubang hitam yang mengisap cahaya, tapi tak bisa memantulkannya keluar. Seakan apapun perasaan yang dia simpan, mematikan semua rasa yang dia miliki.Dia menyebutkan nama. Kami berbincang banyak hal dan sempat bertukar nomor ponsel. Namun, lagi-lagi aku tak ingat betul isi percakapan ini. Sudah kubilang, hanya sepasang matanyalah yang kukenang.***Sejak reuni, aku tak bisa tidur tenang. Bermalam-malam aku memimpikan hal yang diawali adegan yang sama, yaitu aku duduk memandangi matanya. Pada mimpi pertama, tiba-tiba kudapati diriku terisap masuk ke dalam matanya. Pusaran hitam menyedot tubuhku dengan cepat. Berputar-putar seperti tornado. Aku terpelanting ke sana-kemari. Pada mimpi kedua, aku terisap dan mendarat di kegelapan mutlak. Tubuhku melayang-layang; entah mana atas, bawah, depan, belakang, kanan, atau kiri. Pada mimpi ketiga, sulur-sulur kelam tumbuh dari matanya, terjulur ke arahku. Dengan cepat, aku dicekiknya. Banyak lagi mimpi-mimpi serupa lainnya. Semuanya ditutup aku yang tersentak bangun, mencengkeram selimut, dengan dada naik turun, nyaris tak bisa bernapas.Maka suatu pagi, kuputuskan untuk mencarinya. Aku harus tahu, kenapa sepasang matanya bisa mematikan seperti itu.“Dia tinggal di ujung jalan di sebelah timur taman balai kota,” ujar kakak lelakiku yang pernah sekelas dengannya.“Ketika kalian sekelas, kalian sempat akrab?”Kakakku menggeleng. “Dia pendiam. Tidak terlalu menonjol. Kenapa?”Ganti aku yang menggeleng sambil meneguk habis teh pagiku.“Kau tertarik padanya?” tanya kakakku lagi. Matanya menyelidik. Aku diam. “Lebih baik jangan. Kulihat di Facebook, dia sudah menikah.”“Aku tahu.”***Kini setiap hari, aku mengikutinya. Aku pun mulai mengenalnya. Dia ibu rumah tangga dengan dua anak lelaki berusia lima dan dua tahun. Selepas subuh, dia menguak pintu dan jendela rumahnya lebar-lebar. Dia mencuci baju setiap Senin, Rabu, dan Jumat pagi. Setelah suami dan si sulung berangkat pagi-pagi sekali, dia bersepeda ke pasar sambil membonceng si bungsu Dia tak pernah bercengkerama dan bergosip bersama para tetangga. Kakakku benar, dia pendiam dan tidak menonjol.Tapi matanya, makin lama kuamati, kelamnya makin pekat. Tak ada nyala gairah terpendar di sana. Mirip robot atau boneka, sama saja. Kucengkeram erat roda kemudiku. Aku harus tahu, kenapa matanya selalu tampak seputus asa itu.Siang itu kuketuk pintu rumahnya, tentu setelah kutelepon terlebih dulu. Karena kami sempat ngobrol saat reuni lalu, dia tak keberatan aku mampir sebentar.Dia tampak lelah, tapi tetap dipersilakannya aku masuk. Dinding rumahnya dipenuhi foto-foto keluarga. Perabotannya resik, ditata sederhana. Si bungsu yang duduk di lantai mendongak menatapku, lalu kembali sibuk dengan balok-balok kayunya.“Aku sedang memasak makan siang. Apa kau keberatan kalau kutinggal ke dapur?” ujarnya.“Boleh kubantu?”“Kau bisa memasak?”“Tidak terlalu mahir. Apakah terlalu aneh?”Dia menggeleng. “Suamiku bilang, lelaki tak perlu pandai memasak. Toh ada istri yang memasakkannya setiap hari.”Aku menganggukkan kepala beberapa kali. “Aku belum punya istri. Kurasa belajar satu atau dua resep tidak masalah, kan?”Dia tak menjawab. Hari ini dia memasak sup. Kuah kaldu di atas tungku gas menguarkan wangi gurih. “Aku tidak pernah melihatmu di sekolah,” ujarnya saat kuberitahu nama kakakku yang sempat sekelas dengannya. “Aku sering melihatmu,” jawabku lugas. “Kalau ke kantin, kau melewati kelasku. Mau tidak mau, aku jadi memperhatikanmu.”Dia berdehem, sibuk memotong wortel di depannya menjadi dadu. “Siapa yang mengajarimu memasak?” tanyaku tiba-tiba.“Ibuku. Ibu bilang, perempuan harus pintar memasak.” Tepat saat mengatakannya, dia memotong wortelnya dengan satu tebasan kuat. “Kalau pintar masak, disayang suami. Rumah tangga bahagia.”“Bagaimana menurutmu?”Lagi-lagi dia memotong irisan berikutnya kuat-kuat. Seakan dia mengumpulkan segala kekesalan pada tebasan tadi. “Kurasa pernikahan lebih dari sekadar sejago apa istri memasak.”“Tapi ibumu bahagia, kan?” pancingku.Satu tebasan lagi. Benturan pisau dan telenan kayu itu bergema menyentak. “Ibu pintar masak, tapi ayah tetap meninggalkan kami.”Gerakan memotongnya makin cepat. Suara beradu antara pisau dan telenan makin memekakkan. “Ibu menikah lagi. Ayah tiriku, begitulah..., yang penting mereka bahagia.”“Ayah tirimu jahat?”Diambilnya kubis. Perlahan dia melepaskan lembar-lembarnya dan menyusun bertumpuk. Tangannya pun mencacah cepat. “Tidak. Dia menyayangiku. Itulah alasannya saat dia sering,…” cacahannya tak kunjung berhenti walau kubisnya sudah tak berbentuk lagi, “...sampai aku tinggal ampas. Dibuang di sudut persis kain kumal.”
Kupegang tangannya yang bergetar hebat Dia menatapku. Mata hitamnya berangsur berubah. Dia menolak berhenti dan mengambil kentang. Dengan telaten, dia mulai menguliti.“Akhirnya kan kau bahagia. Menikah, punya anak, dan,…”“…dia menikah lagi.” Suaranya terdengar lirih, nyaris ditelan suara kuah yang bergolak. “…dengan sahabatku sendiri.”Dia memotong kentangnya kotak-kotak. “…seakan tidak puas, dia masih memukuliku.”Wajahnya tampak tenang saat menata wortel, kentang, kubis, buncis, berbaris. Setengah tercekat, Kudapati matanya tak lagi kelam bak lubang hitam. Kini lebih berwarna, serupa lidah api, berkobar-kobar. Seakan ada obor ditancapkan di dalam kelopak matanya. Makin lama membesar, menyambar-nyambar. Dia mendorong barisan sayuran ke dalam kuah mendidih. Mungkin yang ada di kepalanya, wortel adalah ayah yang meninggalkannya dulu. Lembaran kol serupa ayah tirinya. Balok-balok kentang dan batang buncis tak ubahnya suami dan sahabatnya. Semua yang menyakitinya tenggelam dalam kuah panas. Direbus sampai lunak, bahkan hancur. Samar kulihat seringai di wajahnya.“Tunggu sampai empuk, lalu kita makan siang sama-sama.”Aku menelan ludah. Bukan tergiur aroma kaya rempah yang membubung memenuhi dapur, tapi api di matanya nyaris mengenaiku. Membakarku hidup-hidup. Detik itu juga, pertanyaanku mengenai sepasang matanya terjawab.Setelah kutandaskan semangkuk sup, aku pamit. Dia membungkuskan seporsi untuk kakak lelakiku. Tadinya hendak kutolak, tapi tak ingin menyiramkan bahan bakar ke matanya yang mulai pekat tak tertembus cahaya. Tak ada lagi jejak api di matanya yang tadi sempat menyala, meliuk berkobar. Dia melepasku pulang sambil menggendong si kecil. Sembari merapatkan jaket, aku kembali ke mobil. Aku takkan bisa lupa sepasang mata kenangan itu. Bahkan saat matanya penuh amarah, dengan lidah api menyambar-nyambar, aku tak berubah pikiran. Biar saja kuingat dia sebagai perempuan bermata sekelam lubang hitam, yang mengisap segala rasa, hingga tidak meninggalkan apa-apa selain hampa.*** GM, 21 April 2013

Ballroom tempat reuni diadakan mulai ramai oleh wajah-wajah tak kukenal. Aku duduk di suatu sudut dan mengedarkan pandangan. Bagiku, reuni bukan temu kangen. Bagaimana kau merindukan orang-orang yang selintas kau jumpai di lorong sekolah, yang kini tak lagi kau ingat rupa atau namanya? Jujur, aku nyaris melupakan semua kenanganku, seakan seluruh wadah ingatanku hanya berisi satu hal; sepasang mata kenangan. Bertahun-tahun lalu, di lorong sekolah pertama kali kulihat dia. Berjalan sendiri, dengan seragam sekolah kebesaran, memeluk buku di dada. Tak ada yang istimewa darinya. Namun, matanya..., andai waktu itu aku lebih cepat memalingkan wajah, mungkin benakku kini takkan penuh oleh kenangan sepasang mata itu; kelam pekat. Tepat saat aku melihat matanya, aku terisap. Pekat, persis lubang hitam. Pada sepasang mata itu, ada kesedihan menggelegak persis ombak di musim badai. Semakin kulihat, makin pekat pula rasa putus asa menyambar-nyambar. Dari sana, tumbuh kegelapan yang merambat dan mencengkeram, membuatku nyaris kehabisan napas.Sejak pertemuan di lorong itu, aku selalu menunggu bel istirahat berbunyi. Dia melintasi kelasku dengan ritme langkah yang monoton. Kuikuti dia ke kantin agar makin leluasa menatapnya. Lebih tepatnya, memandangi matanya. Ritual ini membuatku ketagihan. Aku tak bisa lepas. Pernah sekali kupaksakan diri menghindarinya. Namun, keringat dingin meluncur. Tanganku bergetar hebat, lengkap dengan kepala pening berdenyut-denyut. Dengan langkah setengah terseok, aku menyusulnya. Di sanalah dia, khidmat menikmati makan siang. Setelah menatap matanya yang persis lubang hitam tak berdasar, aku berangsur membaik. Napasku tak lagi memburu. Tak ada keringat atau tangan bergetar. Sejak itulah aku tahu, aku mencandu matanya.“Maaf, kursi ini kosong?” sebuah suara wanita memecah lamunanku. Aku menoleh dan terperangah. Ada sepasang mata mengerjap, langsung menjeratku. Mirip lubang hitam yang mengisap segala rasa, tak menyisakan apa-apa kecuali hampa. Antara sadar dan tidak, aku mengangguk. Ujung roknya meliuk menyentuh lututku saat dia duduk di sampingku.“Angkatan berapa?” tanyanya tiba-tiba, menarikku dari nostalgia.“Lulus 2004.”“Ah, setahun di bawahku. Aku lulus 2003.”Aku tersenyum sembari menatap mata hitamnya. Mata itu tak banyak berubah. Persis lubang hitam yang mengisap cahaya, tapi tak bisa memantulkannya keluar. Seakan apapun perasaan yang dia simpan, mematikan semua rasa yang dia miliki.Dia menyebutkan nama. Kami berbincang banyak hal dan sempat bertukar nomor ponsel. Namun, lagi-lagi aku tak ingat betul isi percakapan ini. Sudah kubilang, hanya sepasang matanyalah yang kukenang.***Sejak reuni, aku tak bisa tidur tenang. Bermalam-malam aku memimpikan hal yang diawali adegan yang sama, yaitu aku duduk memandangi matanya. Pada mimpi pertama, tiba-tiba kudapati diriku terisap masuk ke dalam matanya. Pusaran hitam menyedot tubuhku dengan cepat. Berputar-putar seperti tornado. Aku terpelanting ke sana-kemari. Pada mimpi kedua, aku terisap dan mendarat di kegelapan mutlak. Tubuhku melayang-layang; entah mana atas, bawah, depan, belakang, kanan, atau kiri. Pada mimpi ketiga, sulur-sulur kelam tumbuh dari matanya, terjulur ke arahku. Dengan cepat, aku dicekiknya. Banyak lagi mimpi-mimpi serupa lainnya. Semuanya ditutup aku yang tersentak bangun, mencengkeram selimut, dengan dada naik turun, nyaris tak bisa bernapas.Maka suatu pagi, kuputuskan untuk mencarinya. Aku harus tahu, kenapa sepasang matanya bisa mematikan seperti itu.“Dia tinggal di ujung jalan di sebelah timur taman balai kota,” ujar kakak lelakiku yang pernah sekelas dengannya.“Ketika kalian sekelas, kalian sempat akrab?”Kakakku menggeleng. “Dia pendiam. Tidak terlalu menonjol. Kenapa?”Ganti aku yang menggeleng sambil meneguk habis teh pagiku.“Kau tertarik padanya?” tanya kakakku lagi. Matanya menyelidik. Aku diam. “Lebih baik jangan. Kulihat di Facebook, dia sudah menikah.”“Aku tahu.”***Kini setiap hari, aku mengikutinya. Aku pun mulai mengenalnya. Dia ibu rumah tangga dengan dua anak lelaki berusia lima dan dua tahun. Selepas subuh, dia menguak pintu dan jendela rumahnya lebar-lebar. Dia mencuci baju setiap Senin, Rabu, dan Jumat pagi. Setelah suami dan si sulung berangkat pagi-pagi sekali, dia bersepeda ke pasar sambil membonceng si bungsu Dia tak pernah bercengkerama dan bergosip bersama para tetangga. Kakakku benar, dia pendiam dan tidak menonjol.Tapi matanya, makin lama kuamati, kelamnya makin pekat. Tak ada nyala gairah terpendar di sana. Mirip robot atau boneka, sama saja. Kucengkeram erat roda kemudiku. Aku harus tahu, kenapa matanya selalu tampak seputus asa itu.Siang itu kuketuk pintu rumahnya, tentu setelah kutelepon terlebih dulu. Karena kami sempat ngobrol saat reuni lalu, dia tak keberatan aku mampir sebentar.Dia tampak lelah, tapi tetap dipersilakannya aku masuk. Dinding rumahnya dipenuhi foto-foto keluarga. Perabotannya resik, ditata sederhana. Si bungsu yang duduk di lantai mendongak menatapku, lalu kembali sibuk dengan balok-balok kayunya.“Aku sedang memasak makan siang. Apa kau keberatan kalau kutinggal ke dapur?” ujarnya.“Boleh kubantu?”“Kau bisa memasak?”“Tidak terlalu mahir. Apakah terlalu aneh?”Dia menggeleng. “Suamiku bilang, lelaki tak perlu pandai memasak. Toh ada istri yang memasakkannya setiap hari.”Aku menganggukkan kepala beberapa kali. “Aku belum punya istri. Kurasa belajar satu atau dua resep tidak masalah, kan?”Dia tak menjawab. Hari ini dia memasak sup. Kuah kaldu di atas tungku gas menguarkan wangi gurih. “Aku tidak pernah melihatmu di sekolah,” ujarnya saat kuberitahu nama kakakku yang sempat sekelas dengannya. “Aku sering melihatmu,” jawabku lugas. “Kalau ke kantin, kau melewati kelasku. Mau tidak mau, aku jadi memperhatikanmu.”Dia berdehem, sibuk memotong wortel di depannya menjadi dadu. “Siapa yang mengajarimu memasak?” tanyaku tiba-tiba.“Ibuku. Ibu bilang, perempuan harus pintar memasak.” Tepat saat mengatakannya, dia memotong wortelnya dengan satu tebasan kuat. “Kalau pintar masak, disayang suami. Rumah tangga bahagia.”“Bagaimana menurutmu?”Lagi-lagi dia memotong irisan berikutnya kuat-kuat. Seakan dia mengumpulkan segala kekesalan pada tebasan tadi. “Kurasa pernikahan lebih dari sekadar sejago apa istri memasak.”“Tapi ibumu bahagia, kan?” pancingku.Satu tebasan lagi. Benturan pisau dan telenan kayu itu bergema menyentak. “Ibu pintar masak, tapi ayah tetap meninggalkan kami.”Gerakan memotongnya makin cepat. Suara beradu antara pisau dan telenan makin memekakkan. “Ibu menikah lagi. Ayah tiriku, begitulah..., yang penting mereka bahagia.”“Ayah tirimu jahat?”Diambilnya kubis. Perlahan dia melepaskan lembar-lembarnya dan menyusun bertumpuk. Tangannya pun mencacah cepat. “Tidak. Dia menyayangiku. Itulah alasannya saat dia sering,…” cacahannya tak kunjung berhenti walau kubisnya sudah tak berbentuk lagi, “...sampai aku tinggal ampas. Dibuang di sudut persis kain kumal.”
Kupegang tangannya yang bergetar hebat Dia menatapku. Mata hitamnya berangsur berubah. Dia menolak berhenti dan mengambil kentang. Dengan telaten, dia mulai menguliti.“Akhirnya kan kau bahagia. Menikah, punya anak, dan,…”“…dia menikah lagi.” Suaranya terdengar lirih, nyaris ditelan suara kuah yang bergolak. “…dengan sahabatku sendiri.”Dia memotong kentangnya kotak-kotak. “…seakan tidak puas, dia masih memukuliku.”Wajahnya tampak tenang saat menata wortel, kentang, kubis, buncis, berbaris. Setengah tercekat, Kudapati matanya tak lagi kelam bak lubang hitam. Kini lebih berwarna, serupa lidah api, berkobar-kobar. Seakan ada obor ditancapkan di dalam kelopak matanya. Makin lama membesar, menyambar-nyambar. Dia mendorong barisan sayuran ke dalam kuah mendidih. Mungkin yang ada di kepalanya, wortel adalah ayah yang meninggalkannya dulu. Lembaran kol serupa ayah tirinya. Balok-balok kentang dan batang buncis tak ubahnya suami dan sahabatnya. Semua yang menyakitinya tenggelam dalam kuah panas. Direbus sampai lunak, bahkan hancur. Samar kulihat seringai di wajahnya.“Tunggu sampai empuk, lalu kita makan siang sama-sama.”Aku menelan ludah. Bukan tergiur aroma kaya rempah yang membubung memenuhi dapur, tapi api di matanya nyaris mengenaiku. Membakarku hidup-hidup. Detik itu juga, pertanyaanku mengenai sepasang matanya terjawab.Setelah kutandaskan semangkuk sup, aku pamit. Dia membungkuskan seporsi untuk kakak lelakiku. Tadinya hendak kutolak, tapi tak ingin menyiramkan bahan bakar ke matanya yang mulai pekat tak tertembus cahaya. Tak ada lagi jejak api di matanya yang tadi sempat menyala, meliuk berkobar. Dia melepasku pulang sambil menggendong si kecil. Sembari merapatkan jaket, aku kembali ke mobil. Aku takkan bisa lupa sepasang mata kenangan itu. Bahkan saat matanya penuh amarah, dengan lidah api menyambar-nyambar, aku tak berubah pikiran. Biar saja kuingat dia sebagai perempuan bermata sekelam lubang hitam, yang mengisap segala rasa, hingga tidak meninggalkan apa-apa selain hampa.*** GM, 21 April 2013
Published on October 27, 2013 19:33
October 17, 2013
MENGECUP ENGKAU
Cerpen ini memenangkan juara 1 Lomba Menulis Kejutan Sebelum Ramadan yang diadakan oleh @nulisbuku tahun 2013
Tiara, Tiara, kaulah mutiara perhiasanku paling berharga.Tiap kuingat kalimat itu, kurasa hatiku remuk pelan-pelan. Begitulah kau selalu memanggilku. Tiara. Kependekan dari namaku, Mutiara. Entah sejak kapan, kuyakin sejak lama, kau selalu menganggapku perhiasanmu paling berharga. Mungkin sejak pertama kali kau menatap mataku. Kau dulu pernah bercerita bagaimana kau jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Saat itu, aku belum tahu apa-apa tentang cinta. Namun, dari binar matamu, aku belajar bahwa cinta adalah bagaimana membuat yang kita cintai merasa berharga.Tiara, Tiara, kaulah mutiara perhiasanku paling berharga.Langkahku tertahan. Aku berdiri di pintu masuk gereja yang kokoh menjulang penuh ukir. Deret-deret bangku kayu berjajar rapi dan simetris. Menyisakan lorong panjang yang sunyi menuju altar. Lilin-lilin menari-nari lemah. Jendela berornamen kaca warna-warni memantulkan bias-bias yang melenakan mata. Kapan terakhir kali aku ke gereja? Apakah kau masih ingat? Apakah bersamamu? Sungguh waktu begitu cepat melesat sampai aku kelelahan tak sanggup mengejar.Apakah kau ingat saat kita dulu bergandengan tangan, berlari-lari kecil menyusuri lorong bangku menjelang misa dimulai. Kau selalu bilang untuk mencari kursi terdepan, mendekat ke pangkuan Tuhan. Aku hanya menatap tak mengerti, tapi melihat wajahmu yang bersemangat, aku hanya menurut. Aku melangkah masuk. Lorong bangku panjang seperti deja-vu yang bangkitkanku dari tidur panjang. Raguku menguap saat melihat ke satu arah.Sebuah peti mati dengan tutup yang terbuka.Kepedihan menggelegak. Kerinduan mendesak-desak punggungku untuk berjalan menyusuri lorong. Rasa ngeri merayap perlahan. Apakah engkau yang ada di sana? Apakah aku datang tepat waktu? Tolong katakan aku belum terlambat.Setiap langkahku mencuri minat mereka yang datang di jajaran bangku panjang. Awalnya hanya sepasang mata, lalu belasan, berakhir dengan puluhan. Semuanya genap tertuju padaku. Mataku malah terpaku pada peti mati di depan altar. Sedikit jengah memang ditatap seperti itu. Mungkin karena bajuku? Aku sengaja hari ini memakai merah jambu, warna kesukaanmu. Kau pernah bilang aku paling cantik saat mengenakan baju merah jambu.Merah jambu di pemakamanmu?Langkahku berhenti tepat di depan peti mati yang terbuka ini. Sepersekian detik, aku meronta tak mau melongok isinya dan memilih berlari meninggalkan gereja. Namun, kerinduanku membanjir, tak sanggup kubendung.“Hai,” sapaku susah payah. Kulihat kau berbaring tenang. Mata terpejam. Samarkulihat seulas senyum. Apa kau senang karena bertemu denganku?“Tiara datang. Tiara kesayanganmu,” bisikku menahan isak.Wajahmu begitu damai. Setengah rambutmu memutih, tapi alismu tetap tebal menghitam rapi. Aku membelai pipimu. Aku suka pipimu yang bulat dan empuk. Dulu aku sengaja tiba-tiba mencium pipimu, lama sekali tak mau lepas. Pipimu hangat. Menciummu sanggup meruntuhkan segala kegelisahanku. Aku suka ekspresimu yang pura-pura terkejut, lalu menangkapku dengan satu pelukan erat. Kuat. Hangat. Sudah berapa lama waktu berlalu sejak terakhir aku mengecupmu?“Kangen.” Hanya itu yang sanggup kuucapkan. Bila aku mengatakan satu kata lagi, maka runtuhlah semua pertahananku.Engkau masih terpejam. Apa suaraku terlalu lirih? Apa aku harus berteriak agar engkau bangun? Akhirnya aku memberanikan diri mencium pipimu yang hangat. Dan benar saja, hangatnya langsung meresap lenyap ke setiap denyut sel tubuhku. Hangat itu sanggup melelehkan benteng yang membendung air mataku. Aku bisa merasakan dinginnya tiap bulir melintasi wajahku, persis menggambarkan dinginnya hatiku sepeninggalmu.“Maafkan aku. Maafkan setiap sakit yang aku buat di hatimu, papa.”Aku mengecupmu sekali lagi. Mengecup papa yang sungguh kurindukan. Runtuhlah kekuatan yang mengukung kakiku. Aku memegang erat peti kayu dengan erat, seerat pejaman mata papa.“Pa, terima kasih karena mengijinkanku memilih jalanku sendiri.”Masih jelas di ingatan hari di mana aku mengatakan semuanya. Butuh keberanian untuk membuat pengakuan itu padamu. Aku tahu betul betapa ini akan meremukkan semua mimpimu.Aku akan masuk islam, Pa.Waktu itu kulihat wajahmu diam. Tenang. Seakan engkau bisa membaca bahwa ini akan terjadi. Semua buku-buku keislaman yang kubawa pulang. Diskusi tak berkesudahan tentang keyakinan. Sehelai kain segiempat yang kau temukan di balik bantalku. Kalimatku seakan menjadi pamungkasnya.Aku membayangkan engkau akan marah, mencaci, menampar, mengusirku dari rumah. Aku siap. Aku tidak akan melawan. Namun, kau tetap diam. Duduk tenang di sofa kesayanganmu. Hanya saja, tanganmu bergetar hebat. Aku bahkan bisa mendengar udara di sekitar tanganmu berderak karenanya.Kenapa?Karena itu panggilan hidupku, Pa.Itulah hasil perjalananku. Pencarianku.Apakah kau sudah memikirkannya benar-benar?Tanpa ada keraguan, Pa.Kau tahu kanpapa takkan mengijinkanmu? Takkan merelakanmu?Aku tahu. Aku tahu ini akan sulit bagi kita berdua.Tapi kau masih tetap memilih jalanmu sendiri?Ya. Aku sama sekali tidak ragu. Tapi, ada satu hal yang aku perlu tahu.Apa itu?Apakah papa akan masih tetap mencintaiku walau aku hijrah?Saat itu engkau diam. Engkau hanya menatapku. Dan dari sorot mata yang teduh itu, aku melihat hati papa yang hancur. Runtuh pelan-pelan seperti helaian daun kering yang berguguran dipermainkan angin.Apakah kau akan masih mencintai papa walau kau hijrah?Begitu jawabmu. Aku masih mematung di depan peti mati. Kenangan-kenangan itu tak henti mengikutiku, seperti bayang-bayang yang siap mencekikku kapan saja. Terakhir kali kuberanikan diri mengecup pipimu. Kali ini lebih lama. Lebih hangat. Aku menikmati tiap hangat yang tersisa. Mungkinkah ini sisa-sisa hangat kasih sayangmu yang belum sempat tersampaikan setelah aku meninggalkanmu nyaris setahun lalu?Ujung jilbabku menjuntai jatuh saat aku melepaskan kecupan terakhir. Jatuhnya tepat menutupi kalung salib yang melingkar khidmat di dadamu. Hatiku makin teriris-iris pedih. Sekelebat pemandangan yang bisa menggambarkan potongan sejarah kami.Melihat jilbabmu, papa tidak sekali pun merasa kehilangan seorang anak. Papa hanya kehilangan mimpi-mimpi yang papa bangun sejak kau lahir. Termasuk mengantarmu di lorong bangku gereja menuju altar di hari pernikahanmu.Tak ada yang menyakiti hati seorang anak selain mendapati bahwa karena dirinyalah alasan mimpi sang papa hancur tak bersisa.Aku membalikkan tubuh perlahan. Mata-mata para pelayat masih lekat menatapku. Jika satu mata bernilai seribu pedang, berapa bilah yang menancapi hatiku yang sudah lebur oleh kepergian papa. Sekali lagi kutatap peti mati yang masih terbuka itu. Bisa kurasakan desau angin sore meliukkan ujung jilbab merah jambuku. Masih terasa hangat pipimu, papa, melekat seperti tak mau lepas selamanya. Esok Ramadhan pertamaku. Hari yang sempurna untuk meminta maaf karena membuatmu terluka sedalam itu. Namun, justru hari ini aku mengantar papa tanpa sempat berkata apa-apa. Padahal aku hanya ingin berkata, maafkan Tiara, mutiara perhiasan papa yang paling berharga. Itu saja. ***
Tiara, Tiara, kaulah mutiara perhiasanku paling berharga.Tiap kuingat kalimat itu, kurasa hatiku remuk pelan-pelan. Begitulah kau selalu memanggilku. Tiara. Kependekan dari namaku, Mutiara. Entah sejak kapan, kuyakin sejak lama, kau selalu menganggapku perhiasanmu paling berharga. Mungkin sejak pertama kali kau menatap mataku. Kau dulu pernah bercerita bagaimana kau jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Saat itu, aku belum tahu apa-apa tentang cinta. Namun, dari binar matamu, aku belajar bahwa cinta adalah bagaimana membuat yang kita cintai merasa berharga.Tiara, Tiara, kaulah mutiara perhiasanku paling berharga.Langkahku tertahan. Aku berdiri di pintu masuk gereja yang kokoh menjulang penuh ukir. Deret-deret bangku kayu berjajar rapi dan simetris. Menyisakan lorong panjang yang sunyi menuju altar. Lilin-lilin menari-nari lemah. Jendela berornamen kaca warna-warni memantulkan bias-bias yang melenakan mata. Kapan terakhir kali aku ke gereja? Apakah kau masih ingat? Apakah bersamamu? Sungguh waktu begitu cepat melesat sampai aku kelelahan tak sanggup mengejar.Apakah kau ingat saat kita dulu bergandengan tangan, berlari-lari kecil menyusuri lorong bangku menjelang misa dimulai. Kau selalu bilang untuk mencari kursi terdepan, mendekat ke pangkuan Tuhan. Aku hanya menatap tak mengerti, tapi melihat wajahmu yang bersemangat, aku hanya menurut. Aku melangkah masuk. Lorong bangku panjang seperti deja-vu yang bangkitkanku dari tidur panjang. Raguku menguap saat melihat ke satu arah.Sebuah peti mati dengan tutup yang terbuka.Kepedihan menggelegak. Kerinduan mendesak-desak punggungku untuk berjalan menyusuri lorong. Rasa ngeri merayap perlahan. Apakah engkau yang ada di sana? Apakah aku datang tepat waktu? Tolong katakan aku belum terlambat.Setiap langkahku mencuri minat mereka yang datang di jajaran bangku panjang. Awalnya hanya sepasang mata, lalu belasan, berakhir dengan puluhan. Semuanya genap tertuju padaku. Mataku malah terpaku pada peti mati di depan altar. Sedikit jengah memang ditatap seperti itu. Mungkin karena bajuku? Aku sengaja hari ini memakai merah jambu, warna kesukaanmu. Kau pernah bilang aku paling cantik saat mengenakan baju merah jambu.Merah jambu di pemakamanmu?Langkahku berhenti tepat di depan peti mati yang terbuka ini. Sepersekian detik, aku meronta tak mau melongok isinya dan memilih berlari meninggalkan gereja. Namun, kerinduanku membanjir, tak sanggup kubendung.“Hai,” sapaku susah payah. Kulihat kau berbaring tenang. Mata terpejam. Samarkulihat seulas senyum. Apa kau senang karena bertemu denganku?“Tiara datang. Tiara kesayanganmu,” bisikku menahan isak.Wajahmu begitu damai. Setengah rambutmu memutih, tapi alismu tetap tebal menghitam rapi. Aku membelai pipimu. Aku suka pipimu yang bulat dan empuk. Dulu aku sengaja tiba-tiba mencium pipimu, lama sekali tak mau lepas. Pipimu hangat. Menciummu sanggup meruntuhkan segala kegelisahanku. Aku suka ekspresimu yang pura-pura terkejut, lalu menangkapku dengan satu pelukan erat. Kuat. Hangat. Sudah berapa lama waktu berlalu sejak terakhir aku mengecupmu?“Kangen.” Hanya itu yang sanggup kuucapkan. Bila aku mengatakan satu kata lagi, maka runtuhlah semua pertahananku.Engkau masih terpejam. Apa suaraku terlalu lirih? Apa aku harus berteriak agar engkau bangun? Akhirnya aku memberanikan diri mencium pipimu yang hangat. Dan benar saja, hangatnya langsung meresap lenyap ke setiap denyut sel tubuhku. Hangat itu sanggup melelehkan benteng yang membendung air mataku. Aku bisa merasakan dinginnya tiap bulir melintasi wajahku, persis menggambarkan dinginnya hatiku sepeninggalmu.“Maafkan aku. Maafkan setiap sakit yang aku buat di hatimu, papa.”Aku mengecupmu sekali lagi. Mengecup papa yang sungguh kurindukan. Runtuhlah kekuatan yang mengukung kakiku. Aku memegang erat peti kayu dengan erat, seerat pejaman mata papa.“Pa, terima kasih karena mengijinkanku memilih jalanku sendiri.”Masih jelas di ingatan hari di mana aku mengatakan semuanya. Butuh keberanian untuk membuat pengakuan itu padamu. Aku tahu betul betapa ini akan meremukkan semua mimpimu.Aku akan masuk islam, Pa.Waktu itu kulihat wajahmu diam. Tenang. Seakan engkau bisa membaca bahwa ini akan terjadi. Semua buku-buku keislaman yang kubawa pulang. Diskusi tak berkesudahan tentang keyakinan. Sehelai kain segiempat yang kau temukan di balik bantalku. Kalimatku seakan menjadi pamungkasnya.Aku membayangkan engkau akan marah, mencaci, menampar, mengusirku dari rumah. Aku siap. Aku tidak akan melawan. Namun, kau tetap diam. Duduk tenang di sofa kesayanganmu. Hanya saja, tanganmu bergetar hebat. Aku bahkan bisa mendengar udara di sekitar tanganmu berderak karenanya.Kenapa?Karena itu panggilan hidupku, Pa.Itulah hasil perjalananku. Pencarianku.Apakah kau sudah memikirkannya benar-benar?Tanpa ada keraguan, Pa.Kau tahu kanpapa takkan mengijinkanmu? Takkan merelakanmu?Aku tahu. Aku tahu ini akan sulit bagi kita berdua.Tapi kau masih tetap memilih jalanmu sendiri?Ya. Aku sama sekali tidak ragu. Tapi, ada satu hal yang aku perlu tahu.Apa itu?Apakah papa akan masih tetap mencintaiku walau aku hijrah?Saat itu engkau diam. Engkau hanya menatapku. Dan dari sorot mata yang teduh itu, aku melihat hati papa yang hancur. Runtuh pelan-pelan seperti helaian daun kering yang berguguran dipermainkan angin.Apakah kau akan masih mencintai papa walau kau hijrah?Begitu jawabmu. Aku masih mematung di depan peti mati. Kenangan-kenangan itu tak henti mengikutiku, seperti bayang-bayang yang siap mencekikku kapan saja. Terakhir kali kuberanikan diri mengecup pipimu. Kali ini lebih lama. Lebih hangat. Aku menikmati tiap hangat yang tersisa. Mungkinkah ini sisa-sisa hangat kasih sayangmu yang belum sempat tersampaikan setelah aku meninggalkanmu nyaris setahun lalu?Ujung jilbabku menjuntai jatuh saat aku melepaskan kecupan terakhir. Jatuhnya tepat menutupi kalung salib yang melingkar khidmat di dadamu. Hatiku makin teriris-iris pedih. Sekelebat pemandangan yang bisa menggambarkan potongan sejarah kami.Melihat jilbabmu, papa tidak sekali pun merasa kehilangan seorang anak. Papa hanya kehilangan mimpi-mimpi yang papa bangun sejak kau lahir. Termasuk mengantarmu di lorong bangku gereja menuju altar di hari pernikahanmu.Tak ada yang menyakiti hati seorang anak selain mendapati bahwa karena dirinyalah alasan mimpi sang papa hancur tak bersisa.Aku membalikkan tubuh perlahan. Mata-mata para pelayat masih lekat menatapku. Jika satu mata bernilai seribu pedang, berapa bilah yang menancapi hatiku yang sudah lebur oleh kepergian papa. Sekali lagi kutatap peti mati yang masih terbuka itu. Bisa kurasakan desau angin sore meliukkan ujung jilbab merah jambuku. Masih terasa hangat pipimu, papa, melekat seperti tak mau lepas selamanya. Esok Ramadhan pertamaku. Hari yang sempurna untuk meminta maaf karena membuatmu terluka sedalam itu. Namun, justru hari ini aku mengantar papa tanpa sempat berkata apa-apa. Padahal aku hanya ingin berkata, maafkan Tiara, mutiara perhiasan papa yang paling berharga. Itu saja. ***
Published on October 17, 2013 19:38
LELAKI KARTU POS
Cerpen ini dimuat di harian Koran Tempo, Minggu, 13 Oktober 2013
Aku tidak ingat pasti, kapan berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam bulan silam, entah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa permisi. Saat itu, aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu, siang yang sama membosankannya. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan cepat kuabaikan. Kupu-kupu melayang-layang, berpadu sempurna dengan aroma rumput basah bekas hujan dini hari. Dan dia datang, seperti meletup muncul begitu saja, di hadapanku, memintaku membeli selembar kartu posnya.Awalnya aku mendongak, dengan sandwich masih tergenggam di tangan dan dahi berkerut. Reaksi paling wajar seorang wanita yang duduk sendiri dan dihampiri lelaki asing, tentu saja mendirikan tembok benteng setinggi-tinggi, setebal-setebal, sekokoh-kokohnya. Aku tidak suka bertemu dengan orang baru. Pernah dengar pepatah, setiap orang datang ke hidupmu dengan membawa koper masa lalunya. Siapa yang tahu apa isi orang ini. Mungkin berlembar-lembar foto kenangan, setoples kunang-kunang jelmaan kuku pacarnya yang sudah mati, atau rangkaian bola mata orang-orang yang pernah menyakitinya, diuntai menjadi sebentuk syal penghangat tubuh. Aku bergidik, tapi wajah di depanku tetap tenang menawariku membeli selembar kartu pos.“Kartu pos ini saya lukis sendiri,” ujarnya.“Kenapa tiba-tiba anda menawari saya kartu pos? Saya tidak mengenal anda,” jawabku ketus, berharap lelaki gila ini cepat pergi.Dia malah duduk di sampingku. Senyumnya mengembang, seperti pelukan yang merentang. “Karena saya melukis kartu pos ini untuk anda.”Tangannya terulur. Selembar kertas mengilap berukuran 12x23cm, menunggu tanganku menyambutnya. Dahiku makin berkerut. Apa maunya orang ini?Dari ujung mataku, kulihat gambar yang diakunya dilukis untukku. Mungkin gambar rangkaian bunga, atau pemandangan pantai, atau semburat senja di bangunan tua yang artistik, seperti khas kartu pos pada umumnya. Napasku terhenti saat itu juga. Sebuah gambar, perempuan berkaus tanpa lengan dan celana pendek putih, meringkuk di sudut ruang, dengan jendela terkuak lebar dan tirai berkibar, disambar angin. Dia tertunduk dalam helai kelam rambutnya, seakan menyembunyikan rinai air mata yang menenggelamkan wajahnya. Tanpa sadar tanganku terulur, menarik kartu pos itu darinya. Kuperhatikan gambar itu makin erat. Adabilur-bilur biru di sekujur lengan dan kaki perempuan itu. Gurat-menggurat tak beraturan. Makin kulihat, makin nyata lebam di sekujur tubuhnya, makin nyaring isak tertahannya, makin gelap langit yang dibingkai jendela. Tanpa sadar, aku meraba lengan kiriku yang tertutup blus lengan panjang. Masih tersisa nyeri yang berdenyut-denyut di sana.Pikiran cepat berkelebat. Semalam kekasihku pulang ke apartemen, dengan rambut kusut masai dan dasi menggantung selonggar mungkin. Tas, sepatu, kaus kaki, dan dasi berterbangan ke segala sisi, termasuk tamparannya. Sudah lama dia menggantikan ciuman dengan pukulan, terlalu sering, sampai akhirnya aku terbiasa. Pekerjaannya hari ini tak sempurna. Dan dia menyalahkanku yang juga tak sempurna menghidupkan cintanya. Bahkan ketika dia mencumbuku, dengan pagutan setan, lebam-lebam mulai menghiasi tubuhku. Di ujung malam, dia mendengkur tanpa beban. Menyisakan aku yang meringkuk di bawah jendela yang terkuak lebar, dengan tirai berkibar di sambar angin. Persis kucing yang menjilati lukanya sendiri, kucoba obati nyeri dengan air mata.“Kartu pos ini…, kenapa anda menggambar ini?” tanyaku menoleh ke lelaki itu.Hanya desau angin yang menjawabku. Dia entah pergi ke mana, seakan tak pernah ada. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Bahkan aku menangkap tangan seorang anak, dan kutanya apa dia melihat laki-laki yang menawariku kartu pos. Anak itu hanya menggeleng, setengah ketakutan.Aku menarik napas. Kulihat lagi kartu pos itu. Hatiku mencelos. Aku bahkan belum bertanya siapa nama lelaki itu.***Kini setiap siang, aku selalu makan siang di bangku panjang itu. Sengaja aku mengunyah lamat-lamat, agar waktuku habis lebih lama, agar aku bisa bertemu dengan lelaki kartu pos ini. Namun, nihil. Dia tidak datang lagi. Semakin aku berharap bertemu dengannya, semakin lesap kenyataannya.Di sebuah siang, saat baru saja kutandaskan sandwichterakhir, ibu mengirimiku pesan pendek. bapak operasi jantung hari ini, datanglah. Aku menghela napas. Jika pilihannya menjadi anak yang berbakti atau menuruti sakit hati, aku sungguh kehilangan arah. Dan suara lembut itu kembali, nyaris membuatku terlonjak, menawariku kartu pos seperti kala itu. Kali ini pelan kutelisik penampilannya. Dia tampak sederhana dengan baju hangat hitam, jeans, dan sepatu pantofel. Kacamata retro membingkai wajahnya yang tegas, dengan rambut halus bekas bercukur. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena topi pet kelabu menutupi kepala.“Kali ini, apa yang anda gambar?” tanyaku ragu.Dia tersenyum lagi. Lengkungnya mengingatkanku pada bulan sabit. Kuterima kartu pos itu dengan ragu. Hatiku berlompatan ke sanakemari, mencoba menebak apa yang tergambar di sana. Kartu pos itu bergetar di tanganku. Mataku mengabur. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan benar apa yang kulihat. Seorang ibu memeluk anak perempuannya yang sekuat tenaga memejamkan mata, sama-sama saling mendekap, saling mengumandangkan doa di dalam hati. Lelaki tegap mengayunkan lengan besar berbulu, seperti tukang kayu yang menetak bongkah-bongkah kayu bakar. Wajah-wajah yang tergambar di sanatak asing, seakan melompat dari tumpukan masa lalu yang berdebu. Tanganku bergetar makin hebat. Air mataku berjatuhan, mencurah tanpa izin. Aku menoleh ke arahnya. Kali ini dia tidak menghilang. Dia tetap duduk tenang dengan mata tepat menembak ke arahku. “Siapa anda? Kenapa anda melukis gambar ini dan menjualnya pada saya?”Dia bergeming, seakan tahu bahwa aku punya jawabannya.Dadaku makin sesak dengan kenangan masa kecil yang mendesak-desak. Bapak yang pemarah, yang matanya bergelimang merah, yang tangannya siap terulur menyambar apapun yang bisa meredakan badai di hatinya. Pipi ibu. Lengan ibu. Punggung ibu. Apapun yang ibu punya. Termasuk aku. Luka yang dibuat bapak di tubuh kami memang cepat sembuh, tapi tidak di batin kami. Orang bilang sejarah berulang. Kini aku menjalani hidup ibuku bertahun-tahun lalu, yang pernah kukutuk dan kusumpahi tidak akan kujalani. Namun, cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya, dan mereka bilang cinta pertama takkan mati. Kutemukan cinta pada lelaki serupa bapak, yang lebih mudah menjabarkan cinta di dalam luka-luka di tubuh yang dikasihinya. Itulah cinta yang kukenal sejak kecil, kusakralkan, dan kini diruntuhkan lelaki asing yang tiba-tiba muncul menawariku membeli kartu pos buatannya sendiri.“Saya harus bayar berapa untuk kartu pos ini?” tanyaku menoleh. Seperti sebelumnya, seharusnya sudah bisa kutebak, dia tidak lagi di sana.Lelaki macam apa yang meninggalkan perempuan menangis seorang diri?Namun, perempuan macam apa aku ini, yang mencari kedamaian dalam selembar kartu pos?***Di sanaaku mendapatinya, di atas ranjang yang seprainya setiap pagi kutata secantik mungkin agar dia bahagia, mencumbu perempuan lain, di balik selimut yang sama yang menutupi tubuh kami satu malam lalu. Kekasihku tergeragap, menyampirkan selimut ke tubuh molek di sisinya. Aku mematung, berusaha menemukan reaksi paling tepat. Marah. Histeris. Menjerit. Menangis. Namun, aku bergeming.Di tanganku tersembul selembar kartu pos. Aku bahkan belum menggigit sandwich-ku saat lelaki kartu pos itu datang. Wajahnya selalu tenang saat dia menawariku kartu pos ketiga. Aku mulai mengira-ngira harus kubayar berapa untuk ini semua, tapi kesadaranku teralihkan saat melihat apa yang dia lukis di sana kali ini.Kekasihku memagut perempuan lain. Di ranjang kami. Dibalut selimut kami. Dengan gairah yang lebih membakar, bahkan terlalu membara sampai-sampai bisa menyulut api di dadaku. Aku langsung bergegas menuju apartemen, tak memedulikan lelaki kartu pos yang duduk di sana, mungkin menanti beberapa lembar rupiah untuk ketiga kartu posnya yang kini kupunyai.Dan benarlah. Apa yang digambarkan di kartu pos seakan menjelma di hadapanku. Ngeri merayapi tengkukku. Seharusnya aku merinding membayangkan gambar-gambar di kartu pos seorang lelaki misterius yang mendatangiku di taman saat makan siang. Setiap gambarnya begitu nyalang melukiskan diriku, seakan dia mengenal dan menyaksikan semuanya sendiri. Seharusnya aku ketakutan tiap dia datang mengulurkan kartu posnya, karena gambar yang dia lukis di sana adalah nyata yang coba kukubur. Mirip bangkai. Bukankah mengerikan, bila ternyata ada orang asing yang lebih mengenalmu, ketimbang dirimu sendiri?Tapi aku malah berdiri, menantang kekasihku yang tubuhnya dua kali lebih besar dariku. Badanku mengeriput takut, seakan hafal kebiasaannya, tanpa perlu kuperintah. Semua jejak memar, bekas luka, telah terpindai dan terekam sempurna. Namun, aku bergeming. Membiarkan dia menarik tubuhku, mencengkeramku, melemparkanku ke segala arah. Sakit mulai merambat ke sepenjuru tubuh. Namun, itu semua seakan tak bisa membalut nyeri di hati sendiri. Ini nyeri paling purna, membuat empunya mati rasa.Di kepalaku melayang-layang banyak pertanyaan.Kenapa aku?Kenapa seperti ini hidupku?Kenapa aku mencintai dengan cara ini?Siapa lelaki kartu pos itu?Apa maksud gambar-gambar di kartu pos yang dia bawa padaku?Sepasang mata tenang lelaki kartu pos itu, bening mirip permukaan danau yang entah menyimpan apa, memenuhi benakku yang kosong. Awalnya satu, lalu jadi dua. Dari dua berlipat empat. Makin lama, makin cepat beranak pinak, memenuhi kepala. Ketenangan itu, kedamaian di matanya, bisakah aku memilikinya?Tanganku terulur, bahkan sebelum otakku memerintahkan. Yang pertama kuraih, adalah pajangan porselen sebesar bayi, yang dibawa kekasihku sepulang perjalanan dinasnya dari Cina. Benda pertama yang dia bawa saat dia pindah ke apartemenku, bertahun-tahun lalu. Saat cinta masih berupa tunas, yang kutanam bersama harapan-harapan. Betapa miris, melihat bagaimana kami dulu saling mencintai, dan kini saling menyakiti. Selanjutnya yang kuingat, hanya suara-suara yang saling bertindihan. Derak benda pecak. Erangan yang memenuhi udara. Pekikan yang membelah hening. Debam tubuh tersungkur di lantai. Serta tarikan napas lega, di dalam dadaku sendiri, untuk pertama kalinya.***Sebuah lampu sorot tergantung, mengayun-ayun, berusaha sekuat tenaga memendarkan cahayanya yang lemah ke penjuru ruang remang ini. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Juntai rambutku mulai terasa kering. Ujung-ujungnya mencuat di sana-sini. Ujung-ujung jariku mulai membeku. Kuraba dadaku sendiri. Ah, ternyata masih ada detaknya. Artinya aku masih hidup. Namun, hidup seperti apa yang aku jalani? Apakah aku akan kembali membuat keputusan-keputusan yang salah, yang menenggelamkan diri dalam jalan yang salah, yang memaksaku tetap menjalani, karena kukira itulah yang Tuhan ingin aku jalani sebagai hukuman?Pintu di depanku terbuka. Seorang pria muncul, seakan dimuntahkan dari kegelapan. Sejenak kukira dia lelaki kartu pos yang menawariku kartu pos keempat. Ternyata bukan. Hanya lelaki asing, dengan kumis dan cambang rimbun melintangi wajah, dalam seragam apak berwarna cokelat tua.“Bisa anda jelaskan kejadian siang itu, bersama kekasih anda?”Berapa harga yang harus kubayar untuk tiga kartu pos, yang gambarnya dia lukis dengan tangannya sendiri itu?“Dengan pecahan beling terbesar, anda menikam…,”Namun, pelan-pelan kuingat, wajah lelaki kartu pos itu tidaklah seasing yang kubayangkan.“Anda mendengarkan pertanyaan saya?”Kutatap bayanganku sendiri, di cermin salah satu sisi ruangan. Buram memang, tapi sepasang mata tenang itu mendadak kudapati di sana. Lelaki kartu posku. Senyumku pelan mengembang.“Aku ingin mengirim kartu pos,” ujarku dengan senyum merentang, persis pelukan. “Kartu pos yang kulukis sendiri.”Pria di depanku mengernyitkan dahi tak mengerti. “Mau anda kirim untuk siapa?”Kini aku tahu, bagaimana harus kubayar ketiga kartu pos itu. Seperti ada tangan-tangan tak kasat mata melukis di benakku. Gambar-gambar bertumpukan, warna-warna melintang pukang, kusut tapi indah. Aku memejamkan mata, dengan satu tarikan napas, aku membukanya kembali. Tatapan mataku yang tersembul di pantulan cermin, ah, seharusnya aku tahu kenapa lelaki kartu posku itu tidak lagi terasa asing.“Untuk siapa saja. Apa anda ingin membeli kartu posku?” tanyaku, dengan kilat mata tenang, persis permukaan danau yang entah menyembunyikan apa di dalamnya.*** GM, 5 Juli 2013

Aku tidak ingat pasti, kapan berkenalan dengannya. Mungkin setahun lalu, atau enam bulan silam, entah. Waktu terkadang sering memanjang dan memendek tanpa permisi. Saat itu, aku hanya duduk menikmati sandwich di sebuah bangku panjang. Siang itu, siang yang sama membosankannya. Bocah-bocah berlarian, dengan pekik-pekik girang, yang dengan cepat kuabaikan. Kupu-kupu melayang-layang, berpadu sempurna dengan aroma rumput basah bekas hujan dini hari. Dan dia datang, seperti meletup muncul begitu saja, di hadapanku, memintaku membeli selembar kartu posnya.Awalnya aku mendongak, dengan sandwich masih tergenggam di tangan dan dahi berkerut. Reaksi paling wajar seorang wanita yang duduk sendiri dan dihampiri lelaki asing, tentu saja mendirikan tembok benteng setinggi-tinggi, setebal-setebal, sekokoh-kokohnya. Aku tidak suka bertemu dengan orang baru. Pernah dengar pepatah, setiap orang datang ke hidupmu dengan membawa koper masa lalunya. Siapa yang tahu apa isi orang ini. Mungkin berlembar-lembar foto kenangan, setoples kunang-kunang jelmaan kuku pacarnya yang sudah mati, atau rangkaian bola mata orang-orang yang pernah menyakitinya, diuntai menjadi sebentuk syal penghangat tubuh. Aku bergidik, tapi wajah di depanku tetap tenang menawariku membeli selembar kartu pos.“Kartu pos ini saya lukis sendiri,” ujarnya.“Kenapa tiba-tiba anda menawari saya kartu pos? Saya tidak mengenal anda,” jawabku ketus, berharap lelaki gila ini cepat pergi.Dia malah duduk di sampingku. Senyumnya mengembang, seperti pelukan yang merentang. “Karena saya melukis kartu pos ini untuk anda.”Tangannya terulur. Selembar kertas mengilap berukuran 12x23cm, menunggu tanganku menyambutnya. Dahiku makin berkerut. Apa maunya orang ini?Dari ujung mataku, kulihat gambar yang diakunya dilukis untukku. Mungkin gambar rangkaian bunga, atau pemandangan pantai, atau semburat senja di bangunan tua yang artistik, seperti khas kartu pos pada umumnya. Napasku terhenti saat itu juga. Sebuah gambar, perempuan berkaus tanpa lengan dan celana pendek putih, meringkuk di sudut ruang, dengan jendela terkuak lebar dan tirai berkibar, disambar angin. Dia tertunduk dalam helai kelam rambutnya, seakan menyembunyikan rinai air mata yang menenggelamkan wajahnya. Tanpa sadar tanganku terulur, menarik kartu pos itu darinya. Kuperhatikan gambar itu makin erat. Adabilur-bilur biru di sekujur lengan dan kaki perempuan itu. Gurat-menggurat tak beraturan. Makin kulihat, makin nyata lebam di sekujur tubuhnya, makin nyaring isak tertahannya, makin gelap langit yang dibingkai jendela. Tanpa sadar, aku meraba lengan kiriku yang tertutup blus lengan panjang. Masih tersisa nyeri yang berdenyut-denyut di sana.Pikiran cepat berkelebat. Semalam kekasihku pulang ke apartemen, dengan rambut kusut masai dan dasi menggantung selonggar mungkin. Tas, sepatu, kaus kaki, dan dasi berterbangan ke segala sisi, termasuk tamparannya. Sudah lama dia menggantikan ciuman dengan pukulan, terlalu sering, sampai akhirnya aku terbiasa. Pekerjaannya hari ini tak sempurna. Dan dia menyalahkanku yang juga tak sempurna menghidupkan cintanya. Bahkan ketika dia mencumbuku, dengan pagutan setan, lebam-lebam mulai menghiasi tubuhku. Di ujung malam, dia mendengkur tanpa beban. Menyisakan aku yang meringkuk di bawah jendela yang terkuak lebar, dengan tirai berkibar di sambar angin. Persis kucing yang menjilati lukanya sendiri, kucoba obati nyeri dengan air mata.“Kartu pos ini…, kenapa anda menggambar ini?” tanyaku menoleh ke lelaki itu.Hanya desau angin yang menjawabku. Dia entah pergi ke mana, seakan tak pernah ada. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling. Bahkan aku menangkap tangan seorang anak, dan kutanya apa dia melihat laki-laki yang menawariku kartu pos. Anak itu hanya menggeleng, setengah ketakutan.Aku menarik napas. Kulihat lagi kartu pos itu. Hatiku mencelos. Aku bahkan belum bertanya siapa nama lelaki itu.***Kini setiap siang, aku selalu makan siang di bangku panjang itu. Sengaja aku mengunyah lamat-lamat, agar waktuku habis lebih lama, agar aku bisa bertemu dengan lelaki kartu pos ini. Namun, nihil. Dia tidak datang lagi. Semakin aku berharap bertemu dengannya, semakin lesap kenyataannya.Di sebuah siang, saat baru saja kutandaskan sandwichterakhir, ibu mengirimiku pesan pendek. bapak operasi jantung hari ini, datanglah. Aku menghela napas. Jika pilihannya menjadi anak yang berbakti atau menuruti sakit hati, aku sungguh kehilangan arah. Dan suara lembut itu kembali, nyaris membuatku terlonjak, menawariku kartu pos seperti kala itu. Kali ini pelan kutelisik penampilannya. Dia tampak sederhana dengan baju hangat hitam, jeans, dan sepatu pantofel. Kacamata retro membingkai wajahnya yang tegas, dengan rambut halus bekas bercukur. Aku tidak tahu seperti apa rambutnya karena topi pet kelabu menutupi kepala.“Kali ini, apa yang anda gambar?” tanyaku ragu.Dia tersenyum lagi. Lengkungnya mengingatkanku pada bulan sabit. Kuterima kartu pos itu dengan ragu. Hatiku berlompatan ke sanakemari, mencoba menebak apa yang tergambar di sana. Kartu pos itu bergetar di tanganku. Mataku mengabur. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan benar apa yang kulihat. Seorang ibu memeluk anak perempuannya yang sekuat tenaga memejamkan mata, sama-sama saling mendekap, saling mengumandangkan doa di dalam hati. Lelaki tegap mengayunkan lengan besar berbulu, seperti tukang kayu yang menetak bongkah-bongkah kayu bakar. Wajah-wajah yang tergambar di sanatak asing, seakan melompat dari tumpukan masa lalu yang berdebu. Tanganku bergetar makin hebat. Air mataku berjatuhan, mencurah tanpa izin. Aku menoleh ke arahnya. Kali ini dia tidak menghilang. Dia tetap duduk tenang dengan mata tepat menembak ke arahku. “Siapa anda? Kenapa anda melukis gambar ini dan menjualnya pada saya?”Dia bergeming, seakan tahu bahwa aku punya jawabannya.Dadaku makin sesak dengan kenangan masa kecil yang mendesak-desak. Bapak yang pemarah, yang matanya bergelimang merah, yang tangannya siap terulur menyambar apapun yang bisa meredakan badai di hatinya. Pipi ibu. Lengan ibu. Punggung ibu. Apapun yang ibu punya. Termasuk aku. Luka yang dibuat bapak di tubuh kami memang cepat sembuh, tapi tidak di batin kami. Orang bilang sejarah berulang. Kini aku menjalani hidup ibuku bertahun-tahun lalu, yang pernah kukutuk dan kusumpahi tidak akan kujalani. Namun, cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya, dan mereka bilang cinta pertama takkan mati. Kutemukan cinta pada lelaki serupa bapak, yang lebih mudah menjabarkan cinta di dalam luka-luka di tubuh yang dikasihinya. Itulah cinta yang kukenal sejak kecil, kusakralkan, dan kini diruntuhkan lelaki asing yang tiba-tiba muncul menawariku membeli kartu pos buatannya sendiri.“Saya harus bayar berapa untuk kartu pos ini?” tanyaku menoleh. Seperti sebelumnya, seharusnya sudah bisa kutebak, dia tidak lagi di sana.Lelaki macam apa yang meninggalkan perempuan menangis seorang diri?Namun, perempuan macam apa aku ini, yang mencari kedamaian dalam selembar kartu pos?***Di sanaaku mendapatinya, di atas ranjang yang seprainya setiap pagi kutata secantik mungkin agar dia bahagia, mencumbu perempuan lain, di balik selimut yang sama yang menutupi tubuh kami satu malam lalu. Kekasihku tergeragap, menyampirkan selimut ke tubuh molek di sisinya. Aku mematung, berusaha menemukan reaksi paling tepat. Marah. Histeris. Menjerit. Menangis. Namun, aku bergeming.Di tanganku tersembul selembar kartu pos. Aku bahkan belum menggigit sandwich-ku saat lelaki kartu pos itu datang. Wajahnya selalu tenang saat dia menawariku kartu pos ketiga. Aku mulai mengira-ngira harus kubayar berapa untuk ini semua, tapi kesadaranku teralihkan saat melihat apa yang dia lukis di sana kali ini.Kekasihku memagut perempuan lain. Di ranjang kami. Dibalut selimut kami. Dengan gairah yang lebih membakar, bahkan terlalu membara sampai-sampai bisa menyulut api di dadaku. Aku langsung bergegas menuju apartemen, tak memedulikan lelaki kartu pos yang duduk di sana, mungkin menanti beberapa lembar rupiah untuk ketiga kartu posnya yang kini kupunyai.Dan benarlah. Apa yang digambarkan di kartu pos seakan menjelma di hadapanku. Ngeri merayapi tengkukku. Seharusnya aku merinding membayangkan gambar-gambar di kartu pos seorang lelaki misterius yang mendatangiku di taman saat makan siang. Setiap gambarnya begitu nyalang melukiskan diriku, seakan dia mengenal dan menyaksikan semuanya sendiri. Seharusnya aku ketakutan tiap dia datang mengulurkan kartu posnya, karena gambar yang dia lukis di sana adalah nyata yang coba kukubur. Mirip bangkai. Bukankah mengerikan, bila ternyata ada orang asing yang lebih mengenalmu, ketimbang dirimu sendiri?Tapi aku malah berdiri, menantang kekasihku yang tubuhnya dua kali lebih besar dariku. Badanku mengeriput takut, seakan hafal kebiasaannya, tanpa perlu kuperintah. Semua jejak memar, bekas luka, telah terpindai dan terekam sempurna. Namun, aku bergeming. Membiarkan dia menarik tubuhku, mencengkeramku, melemparkanku ke segala arah. Sakit mulai merambat ke sepenjuru tubuh. Namun, itu semua seakan tak bisa membalut nyeri di hati sendiri. Ini nyeri paling purna, membuat empunya mati rasa.Di kepalaku melayang-layang banyak pertanyaan.Kenapa aku?Kenapa seperti ini hidupku?Kenapa aku mencintai dengan cara ini?Siapa lelaki kartu pos itu?Apa maksud gambar-gambar di kartu pos yang dia bawa padaku?Sepasang mata tenang lelaki kartu pos itu, bening mirip permukaan danau yang entah menyimpan apa, memenuhi benakku yang kosong. Awalnya satu, lalu jadi dua. Dari dua berlipat empat. Makin lama, makin cepat beranak pinak, memenuhi kepala. Ketenangan itu, kedamaian di matanya, bisakah aku memilikinya?Tanganku terulur, bahkan sebelum otakku memerintahkan. Yang pertama kuraih, adalah pajangan porselen sebesar bayi, yang dibawa kekasihku sepulang perjalanan dinasnya dari Cina. Benda pertama yang dia bawa saat dia pindah ke apartemenku, bertahun-tahun lalu. Saat cinta masih berupa tunas, yang kutanam bersama harapan-harapan. Betapa miris, melihat bagaimana kami dulu saling mencintai, dan kini saling menyakiti. Selanjutnya yang kuingat, hanya suara-suara yang saling bertindihan. Derak benda pecak. Erangan yang memenuhi udara. Pekikan yang membelah hening. Debam tubuh tersungkur di lantai. Serta tarikan napas lega, di dalam dadaku sendiri, untuk pertama kalinya.***Sebuah lampu sorot tergantung, mengayun-ayun, berusaha sekuat tenaga memendarkan cahayanya yang lemah ke penjuru ruang remang ini. Entah sudah berapa lama aku duduk di sini. Juntai rambutku mulai terasa kering. Ujung-ujungnya mencuat di sana-sini. Ujung-ujung jariku mulai membeku. Kuraba dadaku sendiri. Ah, ternyata masih ada detaknya. Artinya aku masih hidup. Namun, hidup seperti apa yang aku jalani? Apakah aku akan kembali membuat keputusan-keputusan yang salah, yang menenggelamkan diri dalam jalan yang salah, yang memaksaku tetap menjalani, karena kukira itulah yang Tuhan ingin aku jalani sebagai hukuman?Pintu di depanku terbuka. Seorang pria muncul, seakan dimuntahkan dari kegelapan. Sejenak kukira dia lelaki kartu pos yang menawariku kartu pos keempat. Ternyata bukan. Hanya lelaki asing, dengan kumis dan cambang rimbun melintangi wajah, dalam seragam apak berwarna cokelat tua.“Bisa anda jelaskan kejadian siang itu, bersama kekasih anda?”Berapa harga yang harus kubayar untuk tiga kartu pos, yang gambarnya dia lukis dengan tangannya sendiri itu?“Dengan pecahan beling terbesar, anda menikam…,”Namun, pelan-pelan kuingat, wajah lelaki kartu pos itu tidaklah seasing yang kubayangkan.“Anda mendengarkan pertanyaan saya?”Kutatap bayanganku sendiri, di cermin salah satu sisi ruangan. Buram memang, tapi sepasang mata tenang itu mendadak kudapati di sana. Lelaki kartu posku. Senyumku pelan mengembang.“Aku ingin mengirim kartu pos,” ujarku dengan senyum merentang, persis pelukan. “Kartu pos yang kulukis sendiri.”Pria di depanku mengernyitkan dahi tak mengerti. “Mau anda kirim untuk siapa?”Kini aku tahu, bagaimana harus kubayar ketiga kartu pos itu. Seperti ada tangan-tangan tak kasat mata melukis di benakku. Gambar-gambar bertumpukan, warna-warna melintang pukang, kusut tapi indah. Aku memejamkan mata, dengan satu tarikan napas, aku membukanya kembali. Tatapan mataku yang tersembul di pantulan cermin, ah, seharusnya aku tahu kenapa lelaki kartu posku itu tidak lagi terasa asing.“Untuk siapa saja. Apa anda ingin membeli kartu posku?” tanyaku, dengan kilat mata tenang, persis permukaan danau yang entah menyembunyikan apa di dalamnya.*** GM, 5 Juli 2013
Published on October 17, 2013 19:38
July 21, 2013
Tentang Rahasia pada Hujan
Tak ada derak di atas langit, tapi ia sedang berkaca-kaca.
Sebentar lagi ada yang bertabuhan di wajah bumi.
Menggenang mengambangkan kenangan.
Seorang gadis memintas gegas
Gerimis kecil ialah tangis langit yang hendak ia hindarkan.
Karena lirisnya selalu cepat temukan celah;
menyelinap menyusup ke lubang-lubang di dada, belum sembuh benar.
Mungkin tidak akan.
Harap barangkali sudah larap, api sudah sulit menyala.
Mulut mungilnya berceracap yang entah apa artinya.
Mungkin dia perlu berdoa;
Siapa tahu dia mestinya meminta;
Hujan kali ini bukanlah air seperti biasa,
melainkan bara yang meletupkan apa yang nyaris padam
Bertelimpuh ia, nyatanya mantera dan doa sudah tak ada guna;
kepada belati di tangan kanan ia berkata-kata.
Mungkin jika darahnya lesap, napasnya kering, matanya meredup
Lukanya urung berdenyut-denyut.
Mati katanya, satu-satunya cara mendamaikan sempurnanya kecemasan.
Tuhan merunduk, iblis tersenyum.
Ia mulai meragu, kepada siapa kesetiaan akan ia berikan.
Setianya dititipkan pada semesta.
Biar pohon menceritakannya pada angin yang membisikkan pada laut yang membasahi hati-hati yang berani;
Menjatuhkan diri pada cinta.
Ditulis bergantian oleh Diki Umbara dan Anggun Prameswari
Minggu, 21 Juli 2013
Sebentar lagi ada yang bertabuhan di wajah bumi.
Menggenang mengambangkan kenangan.
Seorang gadis memintas gegas
Gerimis kecil ialah tangis langit yang hendak ia hindarkan.
Karena lirisnya selalu cepat temukan celah;
menyelinap menyusup ke lubang-lubang di dada, belum sembuh benar.
Mungkin tidak akan.
Harap barangkali sudah larap, api sudah sulit menyala.
Mulut mungilnya berceracap yang entah apa artinya.
Mungkin dia perlu berdoa;
Siapa tahu dia mestinya meminta;
Hujan kali ini bukanlah air seperti biasa,
melainkan bara yang meletupkan apa yang nyaris padam
Bertelimpuh ia, nyatanya mantera dan doa sudah tak ada guna;
kepada belati di tangan kanan ia berkata-kata.
Mungkin jika darahnya lesap, napasnya kering, matanya meredup
Lukanya urung berdenyut-denyut.
Mati katanya, satu-satunya cara mendamaikan sempurnanya kecemasan.
Tuhan merunduk, iblis tersenyum.
Ia mulai meragu, kepada siapa kesetiaan akan ia berikan.
Setianya dititipkan pada semesta.
Biar pohon menceritakannya pada angin yang membisikkan pada laut yang membasahi hati-hati yang berani;
Menjatuhkan diri pada cinta.
Ditulis bergantian oleh Diki Umbara dan Anggun Prameswari
Minggu, 21 Juli 2013
Published on July 21, 2013 19:26
Anggun Prameswari's Blog
- Anggun Prameswari's profile
- 55 followers
Anggun Prameswari isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
