Anggun Prameswari's Blog, page 5
July 21, 2013
cerpen "PEREMPUAN SETENGAH MATI"
Kalau ada yang bertanya kenapa aku ingin menjadi konselor, selalu kujawab, aku ingin menolong orang. Mulia, bukan? Seperti hari ini, ketika aku harus menyetir satu jam ke pinggir kota, bahkan sebelum matahari menyembul di timur, itu pun menolong orang. Namun, jika yang bertanya itu diriku sendiri, kenapa aku menjadi konselor, aku takkan menjawabnya begitu. Aku tak mungkin membohongi diriku sendiri. Tidak bisa.“Kali ini, Melati. Tiga belas tahun,” ujar seorang suster dengan kantung mata paling hitam dan senyum paling kering yang pernah kulihat, menyodorkan berkas ke tanganku.Aku tersenyum secukupnya dan perlahan membuka ruang sempit bercat kuning kusam. Ada satu meja, beberapa kursi besi berkarat, dan lampu gantung yang menyorot pucat. Duduklah ia di sana. Melati. Tiga belas tahun.Ada kertas putih terbentang di meja. Kertasnya carut marut oleh aneka warna. Merah, hijau, cokelat, kuning, biru, ungu dan hitam saling berbenturan. Namun, krayon-krayon berbaris rapi di sisi lengan Melati yang terlipat di atas meja. Ia tertunduk menatap pori-pori kulitnya sendiri. Rambutnya menjuntai serupa tirai menyelubungi kepala yang entah berisi apa, persis siput yang tenggelam dalam cangkangnya sendiri.Aku duduk tak bersuara di depannya. Kutunggu ia menyapa. Terdengar deru baling kipas angin dan suara napas kami. Makin lama aku di sana, makin tak kentara keberadaanku. Waktu berbaur, tak kenal detik atau jam, kami tetap diam. Aku menarik sehelai kertas dan berpikir krayon mana yang kupilih. Otakku mendebat, tentukan dulu gambar apa baru bisa memutuskan warna. Bunga? Bisa merah, jingga, kuning, putih. Atau pemandangan desa. Hijau dan biru pasti cocok. Mungkin gambar rumah. Dari dulu aku suka rumah berdinding bata merah dan beratap cokelat. Jadi menggambar apa?Orang dewasa banyak berpikir dan tenggelam dalam bicara, padahal mendengar jauh lebih penting. Diam menyimak tanpa banyak pikir. Untuk itulah aku dibayar. Mungkin gemas menungguku, tangan kurusnya terjulur. Krayon hitam melintang di atas kertas.“Kenapa kamu memberiku warna hitam?” tanyaku.Saat itu napasku seperti tercerabut dari tenggorokan. Dia mendongak dan bisa kulihat sepasang matanya. Ada awan hitam bergumul di sana dan mendedaskan petir, langsung menyambar dan seluruh ruangan jadi berputar-putar. Warna hitam tumbuh dari lantai, merambat naik ke atap dan menjalar ke setiap perabotan di sana. Dengan cepat kami terselimuti hitam. Selubung kabut hitam siap mencekik kami berdua.Dia tak menjawab, kembali menunduk. Aku tersengal sambil mencengkeram meja kuat-kuat. Ruangan tetap sama. Cahaya lampu masih pucat berpendar, tanpa awan, petir, atau kabut hitam. Aku bangkit dan bergegas keluar. Kurasa aku perlu merokok sebentar.Tepat sebelum kututup berkasnya, serangkaian huruf menyayat hatiku. Melati. Tiga belas tahun. Korban perkosaan.***Deru napas yang berat, memburu, menyapu kulitku yang kering. Sedikit ragu, aku membuka mata. Telapak tangan kasar itu membekap mulutku dengan mata mencorong tajam. Napasnya makin menderu dengan busuk aroma alkohol. Matanya yang memerah, menyala seperti api, membuatku bertanya apa itu setan yang menyamar menjadi manusia. Lenganku persis seperti ranting kering yang siap dipatahkan angin, berusaha meronta melepaskan diri. Namun, seperti terjebak di dalam pasir isap, semakin aku tenggelam dan sesak napas. Hanya jeritan tertahan yang menggores tenggorokanku sendiri. Sebulir air mata pun lolos di ujung mata.Kupanggil ibu, mana ibu, kepadanya aku yang tak berdaya mendamba pelukan. Aku ingin ibu. Aku ingin mengadu. Apa salahku, ibu? Kenapa pria yang belum lama kaunikahi memperlakukanku seperti ini? Kudengar sesuatu berderak di tengah keheningan malam. Seperti ada yang retak, robek, tercabik. Pria itu mengoyak jiwaku yang setipis selaput dara. Bulir-bulir air mata tak terbendung, berlarian di sudut mataku yang perlahan terpejam. Gelap. Mati.Aku tergeragap bangun dengan napas terengah-engah. Sekujur tubuhku basah, sejenak kukira oleh air mata, tapi ternyata keringat semata. Sembari mengusap wajah yang lengket, aku berlari ke wastafel. Air dingin yang menggelontor dari keran memercik wajahku. Kugosok-gosok pipiku yang tirus kuat-kuat, berusaha menghilangkan bau napas menjijikkan itu. Semakin kugosok, semakin terasa jejaknya di sekujur tubuhku. Rasanya aku mau muntah. Tubuhku mulai berbau sama busuknya seperti lelaki itu.Dengan cepat, aku melucuti baju yang kuyup. Sudah lewat tengah malam dan air dingin mengguyur kepala. Dinginnya menelusuri setiap inci kulitku, yang terus kugosok kuat-kuat. Dengan tangan dan loofahbergantian. Bau busuk ini harus hilang.Air mata kembali meluncur tanpa permisi. Kakiku lemas dan aku meringkuk di bawah siraman air dingin. Mana air pancuran, mana air mata, tak jelas lagi. Lima belas tahun sudah, mimpi buruk yang sama selalu membangunkanku di tengah malam. Melati, tiga belas tahun. Aku, tiga belas tahun. Kami sama-sama telah dibunuh oleh mereka, yang seharusnya melindungi kami, merenggut satu-satunya kebanggaan kami. Kemudian, kami dipaksa tetap hidup dengan membawa luka yang selamanya menggerogoti. Bahkan, setelah limabelas tahun berlalu, aku selalu merasa baru kemarin pria itu menjamahku. Inilah jawaban terjujurku saat ditanya kenapa aku menjadi konselor. Untuk menolong diriku sendiri.***Reno mengamatiku yang tak menyentuh steak yang bersanding dengan setup buncis dan wortel. Ia memutar-mutarkan jemari di bibir cangkir. Setiap tiga detik, ia menyesap kopi hitamnya, lalu menghela napas. Aku konselor. Aku pun mengenalnya lebih dari limatahun. Reno terlalu gelisah untuk berpura-pura semua baik-baik saja.“Kalau mau bilang sesuatu, bilang saja,” ujarku akhirnya memecah keheningan.“Kasus yang kautangani. Melati kan namanya?” tanya Reno meletakkan cangkirnya. Aku mengangguk. “Apa menurutmu nggak sebaiknya diberikan ke konselor lain?”“Nggak. Aku akan tetap pegang Melati.”“Kamu tahu, kamu bisa saja bias dalam kasus ini, karena,…” Renotak meneruskan kalimatnya, menatap cemas ke arahku.“Karena aku juga korban perkosaan? Persis seperti Melati?”Reno menggenggam tanganku. Hangatnya menjalari tubuhku yang membeku oleh kesepian. Senyumnya yang melengkung persis bulan sabit dengan sorot teduh menghantarkan percik-percik yang melemaskan syaraf tegangku. Perlahan ibu jarinya mengusap punggung tanganku. Aku memejam sejenak, menikmati hangatnya. Tepat saat aku membuka mata, kilasan mimpi buruk yang mencabik-cabik kewarasanku, memaksaku menyentakkan tangan Reno. “Karena aku mengalami apa yang dia alami, akulah konselor terbaik untuknya.”“Sampai kapan kamu simpan dendam itu? Lama-lama kamu akan digerogoti sampai habis. Cuma tinggal raga yang kosong jiwanya.”“Menurutmu, bertahun-tahun kuliah psikologi, aku nggak ngerti rumitnya isi kepala dan batin manusia? Justru karena aku terjebak dalam labirin masa laluku sendiri, aku melakukan ini semua. Aku mau sembuh.”“Kalau begitu, ijinkan aku membantu.”Aku terdiam. Reno menatapku dengan tatapan yang telah membuatku jatuh cinta, juga takut. Selama lima tahun, ia telah menunjukkan kesabaran. Mendampingiku melewati hari-hari penuh kemarahan dan gugatan terhadap takdir. Bahkan aku menghujat semesta kenapa membiarkan Reno yang sempurna jatuh cinta pada perempuan seperti aku. Toh ia tetap di sana, meyakinkanku bahwa akulah potongan terakhir yang disimpan takdir untuk melengkapi hidupnya. Sayangnya, hidupku telanjur tercabik-cabik menjadi serpihan kecil, tak mungkin direkatkan kembali.“Untuk kesekian kalinya, aku meminta, menikahlah denganku,” ujarnya lembut. Tangannya menggenggam penuh tanganku yang mendadak gemetar. Diusapnya jari manis kananku dengan gerakan melingkar, seakan menggurat bentuk cincin. Paru-paruku sesak oleh udara yang berjejalan minta keluar. Girang dan ngeri, semua membaur.Ponselku berdering kencang. Cepat-cepat aku mengaduk isi tas, dan bisa kulihat sorot kecewa di mata teduhnya. Entah sudah berapa kali ia melamarku, sebanyak itu pulalah aku tak pernah memberi jawaban. Ketakutan terlalu kuat mendiami batinku. Masa laluku terlalu pekat untuk disibak. Aku pelan-pelan mati dalam raga yang terus bernyawa.“Apa? Aku sekarang ke sana!” pekikku.“Kenapa?” Reno menangkap kengerian di raut wajahku.“Melati mencoba bunuh diri.”***Segenap nyali kukumpulkan saat mendekati tubuh mungil yang tergolek dengan aneka kabel bertautan dan monitor jantung bersahutan memenuhi heningnya ruangan. Aku membatin, bagaimana Melati mengumpulkan nyalinya untuk menenggak sebotol besar obat serangga itu. Apakah kepedihannya telah memadamkan api harapan di hatinya? Apakah jiwanya yang telanjur terkoyak tak sanggup membendung segala ketakutannya? Aku mengelus pergelangan tanganku yang carut-marut oleh bekas luka. Melihat Melati kini seperti melihat diriku sendiri yang seperti mayat hidup. Masih bernapas, tapi terus berdoa agar diijinkan untuk mati.“Melati,” aku mengusap rambutnya. “Hai sayang. Ini aku. Gimana kabarmu?”Ia mengerjapkan mata tak bersuara. Kami saling bertatapan, berbagi penderitaan dalam diam. Aku menggenggam tangannya yang ringkih. Perlahan aku tahu bahwa air mata ini persis kelakuan anak berandalan, suka menyelinap kabur tanpa permisi.“Melati. Jangan menyerah. Kamu bisa melewati ini, sayang.”Melati mengerjapkan matanya satu kali.“Dulu pernah ada gadis seperti kamu. Merasa hidupnya nggak berharga. Merasa mati masih lebih baik.” Aku menarik napas, mengabaikan perih di hati saat menceritakannya. “Tapi, dia berusaha bertahan hidup. Nggak terhitung lagi berapa kali dia mencoba mengiris nadinya sendiri, tapi Tuhan masih ingin dia hidup. Kamu tahu kenapa?”Melati bergeming menatapku. Sorot matanya lemah, tapi sanggup menyayat hati.“Karena dia harus menolong banyak orang, termasuk kamu. Apalagi baru saja dia dilamar pria yang paling baik di dunia. Dia bisa bahagia. Kamu mau bahagia juga, kan?”Ia mengerjap beberapa kali.“Jadi, bertahan ya. Jangan mencoba mati. Limaatau enam tahun, bertahanlah, dan kamu nanti akan bisa lihat betapa hidup terlalu indah untuk disia-siakan. Kamu masih pantas disayangi. Kamu masih punya masa depan. Kamu pasti bisa bahagia.”Kata-kata itu menelusup, dan entah kenapa aku mengatakannya bukan untuk Melati. Semua terucap untuk diriku sendiri. Untuk gadis yang pernah setengah mati berusaha mati, tapi kini mati-matian untuk tidak mati oleh keputusasaannya sendiri. Kupeluk Melati, memberikannya sisa kekuatan yang kupunya. Namun, aku merasa sebenarnya akulah yang tengah dikuatkan.***Desau angin kering menerbangkan helaian rambutku. Batang-batang pohon Kamboja membisu seakan menegaskan kesedihan yang membumbung menyelimuti kami semua. Kubiarkan Reno merangkul pundakku yang tak henti bergetar menahan air mata. Orang-orang berjajar, semuanya terbalut hitam, warna yang pernah memerangkapku saat kulihat sepasang mata Melati untuk pertama kalinya. Warna keputusasaan.Kembang-kembang ditaburkan di gundukan tanah yang masih merah. Isak-isak tertahan memenuhi udara. Andaikan aku bisa ikut menangis. Histeris. Menghujat langit yang begitu tak adil. Tubuhnya terlalu kecil dan ringkih saat harapan dan masa depan direnggut paksa darinya. Organ dalam tubuhnya pun gagal berfungsi karena racun serangga itu terlalu kuat dan jiwanya terlalu lemah untuk bertahan. Melati menyerah. Meninggalkanku sendirian yang membisu di samping Reno.“Ayo kita pulang,” ajak Reno. Aku menatapnya lekat. “Aku gagal.”“Kamu bukan superman yang bisa menolong semua orang. Kamu manusia. Sama seperti aku,” ujar Reno.“Apa menurutmu Melati lebih baik mati? Lalu kenapa aku dibiarkan hidup?” tanyaku saat satu persatu pelayat meninggalkan makam. “Karena kamu lebih kuat.” Reno menepuk punggung tanganku dua kali, seakan memintaku mengikutinya.Aku tidak mengiyakannya sembari menarik tanganku yang sedari tadi ia genggam. Reno sudah hafal garis-garis luka yang melintang di pergelangan tanganku. Aku ingat betul, seberapa dalam pun aku menancapkan batang pisau itu, masih kalah dengan bekas luka yang menghunjam masa laluku.Aku tidak lebih kuat dari Melati. Aku hanya lebih beruntung. Dan kenangan percakapan terakhirku dengannya, selamanya akan mengakar di setiap sela benakku, menciptakan mimpi buruk yang baru.Saat aku memeluknya, ia berbisik. Ia ingin mati saja. Kutanya kenapa. Jawabannya hampir membuat jantungku meloncat keluar. Ada yang bergerak di dalam perutku, menggeliat pelan, ikut menghembuskan napas tiap aku menarik napas. Aku dan Melati, jiwa kami sama-sama telah terbunuh, tepat di malam saat cahaya kehidupan kami direnggut. Kami serupa makhluk berbalut raga, tanpa jiwa, yang berusaha menjalani hidupnya seperti balita yang belajar berhitung. Satu demi satu. Jika ada kehidupan tumbuh dalam tubuh kami, akan apa jadinya kami? Apakah kami akan bangkit dari kematian dan hidup kembali dengan lebih baik? Atau hanya sekadar hidup, setengah mati? Atau lebih baik mati seutuhnya, membiarkan hitam – warna yang tumbuh keluar dari sorot mata Melati - benar-benar menyelimuti kami selamanya?Melati telah memilih jawabannya sendiri. ***
Tangerang, 26-29 November2012Muat di majalah ESQUIRE edisi Juli 2013
Published on July 21, 2013 19:20
Kumcer ke-9, KEJUTAN TERBAIK SEBELUM RAMADHAN
Menyambung posting sebelumnya, di bulan Juli, aku juga ikut bergabung di #ProyekMenulis yang diadakan self-publishing company, @nulisbuku. Aku lupa tanggal pastinya, yang jelas, mereka menggelar proyek menulis yang bertema kejutan sebelum lebaran. Nah, akhirnya aku memilah dan memilih draf cerpen di folder, dan ketemu cerpen "Mengecup Engkau".
Cerpen ini sebenarnya cerpen lama. Kutulis saat aku masih sering menulis untuk @jejakubikel, sebuah wahana pelatihan menulis yang digawangi tiga momod unyu, Daniel Prasatyo (@daprast), Rendra Jakadilaga (therendra), dan Pramoe Aga (@PramoeAga). Waktu itu mereka melempar tema cinta beda agama, dan aku masih ingat, entah Mas Ren atau Mas Dan bilang, tulislah sesuatu yang berbeda.
Akhirnya aku teringat curhatan temanku. Seorang bapak berputri dua, yang setiap hari selalu bercerita tentang putri-putrinya yang menggemaskan. Aku selalu mudah terpesona dengan chemistry ayah dan anak perempuannya. Buatku, bapak yang sayang banget sama anaknya, terlebih anak perempuan, level kegantengan dan kekerenannya naik 100% ahahaha,... Di antara cerita-ceritanya, aku menemukan fakta bahwa temanku ini pernah hijrah dari Islam ke Katholik. Dari semua fakta ceritanya itu, tiba-tiba melesat sebuah plot di kepala. Akhirnya kutuliskan, dengan twist plot yang berbeda dari cerita aslinya, agar tidak kentara banget kalau itu modalnya sekadar sebuah curhatan hehe..., Dan jadilah cerpen "Mengecup Engkau".
Setelah melewati proses penyuntingan pribadi, untuk memastikan ini itu, termasuk kesesuaian tema yang diminta @nulisbuku, kukirimkan ke #ProyekMenulis itu. Dan nggak disangka, cerpen "Mengecup Engkau" ini jadi juara satu #ProyekMenulis Kejutan Sebelum Ramadhan di @nulisbuku, menyisihkan ratusan cerpen lainnya, woohoo...!
Jadi, kalau kalian penasaran seperti apa cerpen "Mengecup Engkau" ini, yuk segera meluncur ke web www.nulisbuku.com dan order langsung. Nah, sebelum order, silakan baca kutipannya dulu...,
Tiara, Tiara, kau adalah mutiara perhiasanku paling berharga.Setiap kali kuingat kalimat itu, aku merasa hatiku remuk pelan-pelan. Begitulah kau selalu memanggilku. Tiara. Kependekan dari namaku, Mutiara. Entah sejak kapan, yang kuyakin sejak lama, kau selalu menganggapku perhiasanmu paling berharga. Mungkin sejak pertama kali kau menatap mataku. Kau dulu pernah bercerita bagaimana kau jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Saat itu, aku belum tahu apa-apa tentang cinta. Namun, dari binar matamu, aku belajar bahwa cinta adalah bagaimana membuat yang kita cintai merasa berharga.
SELAMAT MEMBACA!
Cerpen ini sebenarnya cerpen lama. Kutulis saat aku masih sering menulis untuk @jejakubikel, sebuah wahana pelatihan menulis yang digawangi tiga momod unyu, Daniel Prasatyo (@daprast), Rendra Jakadilaga (therendra), dan Pramoe Aga (@PramoeAga). Waktu itu mereka melempar tema cinta beda agama, dan aku masih ingat, entah Mas Ren atau Mas Dan bilang, tulislah sesuatu yang berbeda.
Akhirnya aku teringat curhatan temanku. Seorang bapak berputri dua, yang setiap hari selalu bercerita tentang putri-putrinya yang menggemaskan. Aku selalu mudah terpesona dengan chemistry ayah dan anak perempuannya. Buatku, bapak yang sayang banget sama anaknya, terlebih anak perempuan, level kegantengan dan kekerenannya naik 100% ahahaha,... Di antara cerita-ceritanya, aku menemukan fakta bahwa temanku ini pernah hijrah dari Islam ke Katholik. Dari semua fakta ceritanya itu, tiba-tiba melesat sebuah plot di kepala. Akhirnya kutuliskan, dengan twist plot yang berbeda dari cerita aslinya, agar tidak kentara banget kalau itu modalnya sekadar sebuah curhatan hehe..., Dan jadilah cerpen "Mengecup Engkau".

Setelah melewati proses penyuntingan pribadi, untuk memastikan ini itu, termasuk kesesuaian tema yang diminta @nulisbuku, kukirimkan ke #ProyekMenulis itu. Dan nggak disangka, cerpen "Mengecup Engkau" ini jadi juara satu #ProyekMenulis Kejutan Sebelum Ramadhan di @nulisbuku, menyisihkan ratusan cerpen lainnya, woohoo...!
Jadi, kalau kalian penasaran seperti apa cerpen "Mengecup Engkau" ini, yuk segera meluncur ke web www.nulisbuku.com dan order langsung. Nah, sebelum order, silakan baca kutipannya dulu...,
Tiara, Tiara, kau adalah mutiara perhiasanku paling berharga.Setiap kali kuingat kalimat itu, aku merasa hatiku remuk pelan-pelan. Begitulah kau selalu memanggilku. Tiara. Kependekan dari namaku, Mutiara. Entah sejak kapan, yang kuyakin sejak lama, kau selalu menganggapku perhiasanmu paling berharga. Mungkin sejak pertama kali kau menatap mataku. Kau dulu pernah bercerita bagaimana kau jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Saat itu, aku belum tahu apa-apa tentang cinta. Namun, dari binar matamu, aku belajar bahwa cinta adalah bagaimana membuat yang kita cintai merasa berharga.
SELAMAT MEMBACA!
Published on July 21, 2013 19:16
Kumcer bersama ke-8, #LOVEDICTION2
Di bulan Juli ini, ada satu cerpenku yang masuk kumpulan cerpen bersama (omnibook) terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Judul antologinya, #LOVEDICTION2.Kumcer ini meneruskan kesuksesan kumcer #Lovediction1 yang terbit beberapa waktu sebelumnya.Pertama kali dapat info untuk project #Lovediction2 ini dari twitter, kemudian diperkuat dorongan dari mbak Yuska Vonita untuk join di project ini.
Di kumcer ini, aku menulis cerpen "Tompel si Tommy", sebuah kisah remaja tentang cowok ganteng dan kaya, tapi memiliki tompel di wajah. Pacar Tommy, Disha, sih sebenarnya nggak keberatan dengan tompel itu, tapi Tommy benar-benar nggak nyaman dan nggak pede dengan tompel ini. Lalu, dia melakukan satu tindakan ekstrem. Apa tindakannya? Lalu apa pengaruhnya pada hubungan Tommy dengan pacarnya?Yuk mari dibaca saja, "Tompel si Tommy" di kumcer #lovediction2 ini.
Untuk cerita di balik layar cerpen "Tompel si Tommy" ini terinspirasi dari cerpen cerpenis tenar, mbak Ratih Kumala yang berjudul "Tahi Lalat di Punggung Istriku" yang terdapat di kumcer solonya, "Larutan Senja". Selepas baca cerpen mbak Ratih itu, terlintas satu plot "Tompel si Tommy" tersebut di kepalaku. Kutuliskan cerpen itu. setelah selesai, kusapa mbak Ratih dan meminta beliau membacanya. Ini sebagai bentuk penghormatan dan apresiasiku, sekaligus terima kasih, kepada mbak Ratih yang menulis cerpen yang begitu menarik sampai bisa menginspirasiku. Beruntungnya aku, mbak Ratih meresponsku dengan baik, bahkan memberi masukan untuk perbaikan cerpen tersebut. Duh, memang nggak salah kalau aku ngefans sama beliau, terlebih novelnya "Gadis Kretek" yang aku suka banget nget nget!
Jadi, penasaran dong sama cerpen "Tompel si Tommy" ini? Nah, sebelum beli bukunya, silakan baca sedikit kutipannya.
Sering Tommy bertanya kenapa ia dinamai Tommy. Kenapa bukan Radit atau Dylan yang terdengar gagah. Memang tak ada yang salah dengan nama Tommy, tapi itu akan menjadi petaka bila ia terlahir dengan tompel di wajah. Tommy dan tompel. Rima yang tak enak didengar.
SELAMAT MEMBACA!
Published on July 21, 2013 19:02
July 2, 2013
MATA SERUNI

Tak lagi sanggup Marwan menghitung batang rokok yang ia isap. Peduli apa umurnya memendek karena napas yang tersumpal asap. Gemuruh di batinnya perlu ditenangkan dari bayangan buruk berkelebatan silih berganti menghuni benaknya yang sempit.
Disibakkannya lagi tirai putih jendela depan yang menguning oleh usia. Jalanan sudah sepi sejak sejam lalu. Cuma ada suara jangkrik dan bisikan nalurinya sendiri. Tak ada yang bisa ia lakukan selain duduk dan menyedot dalam-dalam tembakaunya.
Seruni terlahir dengan wajah cantik luar biasa. Kulitnya seputih susu dengan bibir ranum strawberry. Matanya bulat besar, berbulu mata melentik, yang tiap kali mengibas, mengingatkannya pada mata seorang perempuan tak bernama, yang mati-matian Marwan coba lupakan.
Jack, teman premannya yang terlahir bernama asli Zakariya, pernah bilang Seruni kelak tumbuh menjadi gadis yang bisa mematahkan hati banyak lelaki. Marwan tersenyum kecut. Kecantikan Seruni diwarisi dari sang ibu yang memang kembang desa, begitu jawab Marwan. Jack hanya mencibir, menertawakan keberuntungan kawannya. Marwan tahu betul, Jack iri padanya. Semua orang tahu, Jack pernah menyukai ibu Seruni.
Marwan mendadak ingat pertama kali Seruni pulang terlambat. Kala itu ia masih empat belas tahun. Walau masih bau kencur, Seruni adalah kencur yang tumbuh di surga, hingga sanggup mengalihkan pandangan siapa saja. Termasuk yang selalu hidup di tempat tergelap, siap meloncat menerkam siapa saja.
Marwan selalu mengantar Seruni mengaji di surau selepas Ashar. Ia baru berani pergi setelah melihat Seruni duduk di barisan terdepan, persis di depan meja ustadzahnya. Lepas sholat Maghrib, baru ia akan menjemputnya. Selalu begitu.
Namun hari itu, Marwan tak mendapati Seruni duduk menunggu dijemput selepas sholat Maghrib. Ustadzahnya mengira Seruni sakit karena tak mengaji sore tadi. Segala pikiran buruk mendera batin Marwan. Ia menanyai tiap teman Seruni, setengah panik sisanya mengancam. Mereka mengkeret ngeri melihat bapak Seruni siap meledak seperti granat. Ah, semua orang tahu bapak Seruni mantan jawara penguasa terminal pinggir kota. Siapa berani melawannya?
Seruni main sama anak juragan batik ke hutan pinggir kali, celetuk seorang teman anaknya. Marwan pun mengumpulkan teman premannya dulu, membawa parang dan obor, hendak mencari Seruni. Namun, tepat selepas azan Isya, Seruni berjingkat-jingkat di beranda depan. Sekejap Marwan tak bisa mengendalikan diri. Hampir saja ditampar pipi tirus Seruni cilik, kalau tidak ditahan Jack.
Dia masih kecil, bisik Jack di telinganya. Yang salah bocah itu. Kamu tahu betul kan bagaimana liciknya lelaki membujuk perempuan.
Wajah Marwan memerah seketika. Dicengkeramnya bahu kurus Seruni, ”Kamu diapain sama dia? Kalau dia kurang ajar sama kamu, biar bapak potong kemaluannya.”
Wajah Seruni telanjur sembab oleh air mata dan keringat. Ia menggeleng lemah. Lagi-lagi di wajah Seruni, Marwan mendapati sepasang mata yang selalu berusaha ia lupakan.
Lelaki dan perempuan berdua di tempat gelap begitu, yang ketiganya setan, suara Marwan menggelegar, merobek nyali Seruni untuk membela diri. Tahu apa anak gadisnya itu tentang apa yang ada di balik kehidupan tergelap.
Suara Seruni lenyap, persis bulan purnama yang ditelan raksasa saat gerhana. Marwan menyeret Seruni layaknya kain kumal. Ditendangnya pintu kamar mandi. Seruni menjerit saat Marwan melemparnya seperti segumpal kertas, lalu mengunci pintu. Lampu pun dimatikan. Seruni makin histeris tak karuan. Tangan mungilnya menggedor-gedor pintu dan meraung mohon ampun. Dalam bayangannya, ada tangan-tangan keluar dari kegelapan, mencengkeramnya, dan melumatnya lamat-lamat.
”Di mana rumah bocah itu?” tanya Marwan pada istrinya yang sesenggukan di samping pintu kamar mandi. Sayup terdengar suara desing golok membentur sarungnya.
Ngeri merayapi tengkuk Seruni. Ia sungguh tak berani membayangkan. Apa bapak akan menghajarnya? Mencincang kemaluan bocah itu persis seperti rajangan tipis cabe rawit dalam tumisan yang sering dimasak ibu? Tangannya makin kuat menggedor pintu, tapi makin cepat pula tenaganya terkuras. Ia terkulai di ubin kamar mandi yang lembab dan dingin.
Seruni bangun keesokan paginya, di kamarnya sendiri, dengan handuk dingin menempel di dahi yang membara. Wajah ibu lelah, begitu pula dengan raut muka Jack. Seruni sesenggukan dan Jack menepuk kepalanya berulang kali. Marwan hanya melihat dari jauh. Bukannya tak ingin mendekat, tapi langkahnya tertahan. Mata Seruni kini berubah. Nyalang memerah, seakan merekah oleh benci.
Sejak itu, tak ada lagi yang sama. Bocah lelaki itu dan keluarganya pindah tiga hari kemudian. Tak ada lagi yang berani mengajak Seruni main. Tak ada pemuda yang berani menatap Seruni, secantik apa pun ia tumbuh dewasa. Tiap lampu kamar dimatikan atau tiba-tiba listrik padam, Seruni jadi sering menjerit-jerit. Gelap mengingatkannya pada ketidakberdayaan, persis saat ia dikurung bapaknya.
”Kasihan Seruni,” ujar Jack suatu hari, ”dia butuh disayangi bapaknya sendiri.”
”Aku lebih dari sekadar menyayanginya,” Marwan membela diri. ”Aku melindunginya.”
Jam sebelas dan belum ada suara langkah berjingkat di beranda seperti waktu itu. Sayup-sayup terdengar suara petir di kejauhan. Mendung pekat akan pecah menderas. Apa Seruni kabur? Toh kini ia sudah dewasa, sanggup menentukan arah hidupnya sendiri.
Istrinya pernah bertanya, kenapa Marwan begitu keras pada anak mereka.
”Seruni itu cantik luar biasa. Kamu tahu apa yang terjadi pada perempuan yang cantiknya luar biasa,” tanya Marwan. Istrinya menggeleng. ”Mereka akan mengundang lelaki-lelaki yang tak pernah puas.”
Istrinya tersenyum, ”Makanya kamu mengurungnya seperti ini?”
Marwan melotot protes, ”Aku melindunginya. Aku ini lelaki. Aku tahu betul lelaki bisa jauh lebih jahat dari setan.”
Istrinya mengernyitkan dahi, ”Tapi kamu lelaki terbaik yang kukenal. Kamu sama sekali bukan setan. Iya kan?”
Sekali lagi, diembuskannya asap rokok yang mengaburkan ingatan akan istrinya, yang keburu meninggal sebelum ia sempat menjawab pertanyaan itu. Istrinya tak tahu apa-apa. Mereka menikah setelah Marwan menutup erat masa lalunya di jalanan, bersama Jack, serta kehidupan tergelap mereka.
Di luar, hujan terus menderas. Pada kepekatan rinai seperti ini, Marwan dipaksa mengingat noda besar masa lalunya. Persis malam ini, malam itu juga hujan. Derasnya persis liris air mata yang membasahi pipi ranum seorang perempuan cantik tak bernama di sebuah gudang gelap di sudut pasar yang sepi. Bau anyir minuman menyeruak di sana-sini. Tawa dan isak memenuhi langit-langit gudang gelap itu. Marwan mestinya ikut tertawa, tapi ia malah bergidik melihat mata Jack memerah, persis mata setan. Isakan perempuan itu terbaurkan suara hujan. Namun, Marwan tak sanggup mengacuhkan nuraninya yang menjerit-jerit. Dan di pantulan mata perempuan cantik tak bernama itulah, Marwan mendapati dirinya sendiri berubah menjadi setan.
Jack meludahi perempuan itu. Tangan ringkih perempuan itu menggapai apa pun untuk menutupi tubuhnya yang telanjur tercabik. Seumur hidup, ia takkan bisa melupakan bagaimana Jack membekap mulutnya dari belakang dan Marwan mencengkeram kakinya, lalu melemparkannya ke sudut gudang tergelap. Seakan tak pernah puas pada perempuan cantik tak bernama itu, keduanya merobek-robek jiwanya yang setipis selaput dara.
Sepasang mata perempuan tak bernama itu basah oleh air mata; membuat sesak hati Marwan. Malam itu, malam selanjutnya, bertahun-tahun kemudian, sepasang mata itu menjelma menjadi sepasang mata cantik Seruni. Seakan untuk menghukum Marwan, Seruni selalu mengingatkannya pada perempuan cantik tak bernama, yang tak lama setelah malam itu, ditemukan mati gantung diri.
Marwan tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ia menerobos menembus rinai hujan. Mungkin Jack bisa menemaninya mencari Seruni. Jack menyayangi Seruni. Saat Seruni sakit demam berdarah beberapa tahun lalu, Jack mendampinginya di rumah sakit. Menggenggam tangannya. Menyuapinya makan. Bahkan dalam igaunya, Seruni menyebut nama Jack. Tebersit rasa cemburu di hatinya. Namun, pria itu tahu, Jack hanyalah kepingan pelengkap kekosongan yang tak bisa Marwan isi di hati Seruni, karena anak gadisnya begitu membencinya. Bagi Seruni, Jacklah ayahnya, bukan Marwan.
Beranda rumah Jack sepi. Bagian dalamnya tampak gelap. Kawannya hidup sendiri, tak pernah mau menikah, bahkan tidak mencari kekasih. Mungkin hatinya telanjur remuk tak tersambung sejak Marwan menikahi gadis idamannya.
Tepat hendak ia mengetuk pintu, Marwan mendengar suara itu. Tawa perempuan, terdengar asing, sekaligus melekat di ingatan. Persis seperti kenangan lampau yang nyaris terhapus. Marwan berjingkat masuk. Rasa ingin tahu meletup-letup minta dipuaskan. Siapa perempuan yang ikut tertawa, sesekali menghela napas berat, diikuti derit kaki ranjang menggores lantai, itu?
Hanya tersisa sinar remang di kamar tidur Jack. Jantung Marwan berlompatan tidak karuan. Jack dan wanita itu saling bercakap di antara tarikan napas yang berat. Lirih sekali, nyaris ditelan sunyi.
”Pulanglah,” ayahmu menunggu.
”Tidak. Aku membencinya.”
Marwan menerjang pintu kuat-kuat. Sepasang mata indah menyambutnya. Matanya persis mata perempuan cantik tak bernama di suatu sudut gudang yang gelap di masa lalunya. Mata yang kini menjelma menjadi sepasang mata Seruni. Hanya bedanya, mata itu tak bersimbah air mata. Lidah api menjilat-jilat seraut sorotnya yang puas, karena kebenciannya akhirnya terbalas.
Marwan melintasi ruangan. Jack sibuk mengalungkan selimut di tubuh Seruni. Tapi gadis itu tetap duduk tegak. Tenang. Persis permukaan kolam, yang entah menyimpan apa di kedalamannya. Tangan Marwan terkepal erat, menahan panas menggelegak di dada.
Ada yang berdansa penuh kemenangan di balik kegelapan yang tak terjangkau bohlam-bohlam terbaik buatan manusia. Mereka terus bersukacita di ruang-ruang gelap tak tersentuh cahaya.
Termasuk hati Marwan yang gelap.
dimuat di harian KOMPAS Minggu, 30 Juni 2013
Published on July 02, 2013 20:51
May 19, 2013
Dewi Sri dan Tanah Kenangan
Aku menuntun Abah Amas memasuki auditorium di sebuah konferensi pangan dunia Salone de Gusto and Terra Madre di Itali. Mendadak tanganku berubah dingin. Apa yang kulakukan di sini? Seharusnya aku tetap saja di kantor distributor mengurusi pengiriman beras-beras lokal organik Indonesia, termasuk dari sawah Abah Amas, ke supermarket-supermarket di seluruh penjuru Eropa. Namun, di sinilah aku, mendampingi Abah Amas yang bersemangat memperkenalkan pangan lokal Indonesia di ajang sebesar ini. Hampir saja hak runcing Manolo Blahnikku tak sanggup menopang tubuhku yang gemetar.“Kamu tahu Dewi Sri? Dewi yang dipercaya menganugerahi sawah-sawah dengan padi-padi yang subur?” tanya Abah Amas memecahkan keheningan. “Aku yakin, Dewi Sri selalu menjelma menjadi manusia. Ada di antara kita.”“Berarti dia sekarang ada di antara kita?” tanyaku sambil menahan diri kuat-kuat agar tak membuka peti kenangan, berkat mendengar kata Dewi Sri.“Mungkin kamulah Dewi Sri itu.”Aku menelan ludah. Kotak itu kini telah terbuka dan kenangan berterbangan. Abah Amas membuatku gugup. Kami bersama-sama menuju barisan kursi VVIP. Di ujung sana, SignoreCarlo, petinggi institusi penyelenggara konferensi dunia ini, menyambutku dengan pelukan hangat. Aroma peppermint dan tembakau menguar dari tubuhnya yang tinggi besar.“Welcome to our Lingotto Fiere, Signore.” Carlo berbisik pada Abah Amas dan binar matanya begitu cerah menatapku. “Sei bellisima.”“Grazie,” aku mengangguk pelan. “This is Abah Amas, the notorious man I've told you so many times.”Memang benar. Abah Amas tokoh adat terhormat yang mendorong masyarakat tanah adat Ciptagelar, Sukabumi, untuk kembali menanam padi lokal organik. Abah Amas selalu tertawa jika kutanya apakah tidak menyesal hanya hidup sebagai petani, yang jauh dari kemapanan dan selalui dihantui gagal panen. Manusia itu sebenarnya hanya anak-anak, dengan bumi sebagai ibunya dan langit ayahnya, begitu jawabnya, entah apa maknanya.Tak tersisa lagi kursi-kursi kosong di auditorium. Presentasi Abah Amas akan segera dimulai. Tanganku makin dingin. Namun, pria di sampingku begitu tenang. Sorot mata teduhnya menghunjam hatiku yang berlompatan ke sana kemari.“Presentasi Abah akan segera dimulai. Abah ngomong saja apa yang Abah ingin sampaikan. Nanti biar aku menerjemahkan,” aku menepuk punggung tangan Abah yang menua oleh usia. “Terima kasih ya Abah, sudah mau memperkenalkan padi lokal Indonesia di konferensi ini.”“Abah yang mestinya berterimakasih. Kamulah Dewi Sri itu. Kamulah yang sekarang tengah menyuburkan sawah-sawah di kampung dengan membawa Abah kemari.”Sesuatu yang hangat menelusup ke dalam batinku. Sawah. Padi. Burung pipit. Panen. Semuanya membawaku melayang-layang ke kenangan masa kecil dulu. Bertahun-tahun lalu, saat telapak kakiku belum terbiasa dengan sepatu hak tinggi, saat angin begitu genit mengayun-ayunkan kepang duaku, saat aku jatuh cinta pada pria yang membuatku jatuh cinta pada pepadian Indonesia. Pria itu juga memanggilku Dewi Sri kesayangannya.***“Kau tahu rasi bintang Kidang?” tanya bocah lelaki kurus dengan bola mata besar dan senyum manis berlesung pipi. Aku menggeleng sembari membenahi kepanganku yang terurai karena terlalu bersemangat berlari.Bocah itu mengambil sebilah ranting kering dan menorehkan guratan di atas tanah. Aku mengerjapkan mata beberapa kali saat ia pun mulai bersenandung.“… Datang Kerti turun Wesi, Datang Kidang turun kujang, Turun Kujang datang Kungkang … Kata abah, menanam padi ada aturannya supaya padinya subur dan panennya bagus. Supaya nasi yang kamu makan di rumah rasanya enak. Nanti kuajak kamu melihat upacara melak pare. Upacara menanam padi.”“Kapan?”“Besok pagi buta, sebelum ada matahari. Kamu datang ke sawahku, ya? Di Jakarta, kamu nggak akan ketemu yang seperti ini.”Aku mengangguk tegas sebelum akhirnya ia menarik tanganku lagi. Kami berdua kembali berlarian dan meliuk-liuk di pematang sawah yang menghijau. Genggamannya seakan menjadi upacara melak pare untukku, menanamkan benih-benih yang bertahun-tahun kemudian kusemai sebagai cinta.*** Di antara kerumunan yang berjajar mengular memenuhi sepetak lebar sawah, aku dan bocah itu berjinjit mencuri pandang. Abah Amas menggumamkan doa dan menancapkan batang-batang padi. Lalu beberapa orang di belakang mulai mengacungkan senapan dan menembakkan angin ke udara. Sepasang tangan bocah itu menangkup telingaku dan sekejap hangat menjalari pipi. Ia mendongak menatap langit yang sepi, senyumnya persis bulan sabit yang malu-malu mengintip di balik awan.Tak lama, serempak tanpa ada aba-aba, satu persatu warga desa adat lainnya mulai menanami lahan mereka sampai penuh. Bocah itu menyodorkan dua batang padi ke arahku, lalu dengan satu ayunan kepala, mengajakku mengikutinya menanam padi.“Aku suka menanam padi,” ujarnya. Matanya berbinar bangga. “Cita-citaku ingin menjadi petani. Aku ingin punya puluhan leuit, lumbung untuk menyimpan padi selesai panen. Semua orang boleh pinjam padi dileuit-ku.” Ia menunjuk ke arah lereng bukit berundak dengan jajaran lumbung beratap jerami yang menghitam serta berdinding bambu dan kayu. Mataku menyipit ke arah itu. Kudengar dari ayahku, leuit adalah simbol kekayaan warga di sini. Makin banyak, makin terpandang berada. Persis rumah atau mobil di Jakarta.“Aku juga boleh?”“Pasti. Kamu boleh ambil sesukamu,” ujarnya membuat pipiku makin memerah. “Jadi semua orang, nggak akan ada yang kelaparan, walaupun gagal panen.”“Tapi bundaku bisa beli beras di supermarket. Di sana ada macam-macam beras, mana mungkin kami kelaparan.”“Dewi,” panggilnya. “Kamu ini benar-benar anak kota ya?”Bibirku mengerucut mendengar ledekannya. Aku besar di Jakarta, tapi ayahku pemuda asli Ciptagelar. Berhubung ayah memutuskan untuk bekerja di ibukota, makanya aku hanya sesekali mengunjungi kampung ini. Ia selalu mengejekku begitu. Entah kenapa, ada sedikit rasa malu dan segan mendengar kata anak kota meluncur dari bibirnya.“Beras yang kamu beli di supermarket mewah itu, semua kan asalnya dari kampung. Kalau panen di kampung gagal, ya kamu nggak akan bisa makan beras lokal yang enak.”“Karena itu kamu mau jadi petani?”“Aku jadi petani karena aku suka menanam padi.”Kukatupkan bibir kuat-kuat. Aku sedikit tidak setuju dengan kata-katanya. Aku tahu ia anak yang pintar. Ayahku pasti bisa mencarikan beasiswa untuknya, mengirimkannya ke sekolah terbaik di Jakarta, dan ia pasti bisa jadi pengusaha sukses seperti ayahku. Ah, setidaknya kalau dia sekolah di kota, aku bisa bertemu dengannya sering-sering.“Kamu tidak ingin tinggal di tanah Ciptagelar?” ujarnya.Mataku langsung melotot mendengar ide gilanya. Meninggalkan Jakarta? Pindah ke ranah yang sepi, hening, dan hijau ini?“Kamu pernah dengar dongeng Dewi Sri, dewi kesuburan?” tambahnya.“Iya. Kenapa?”“Maukah kamu menjadi Dewi Sri-ku?”Keningku berkernyit tanda tak mengerti. Hanya kupandangi senyum manis berlesung pipi di hadapanku yang tiba-tiba menguncup, saat aku menggeleng kuat-kuat.***“Sudah berapa kali kubilang, aku tidak mau,” ujarnya kuat. Tak kusangka, bocah yang dulu pernah menggenggam tanganku menyusuri pematang, kini bisa lantang membentakku. Wajahku langsung pias. Bisa kudapati gurat sesal di wajah berahang tegas itu.“Kamu bisa kuliah di Jakarta. Ambil teknologi pangan atau kimia pertanian atau apagitu. Nanti kamu bisa mengembangkan padi-padi lokal Ciptagelar dan kembali ke tanah ini, membangun desa ini lebih maju.”“Aku tidak mau. Aku tetap di sini membantu Abah meneruskan warisan leluhur.”Kata-katanya terdengar kering dan dingin. Aku menggigiti bibirku sendiri.“Kamu sungguh-sungguh mau jadi petani?”“Apa salahnya dengan itu? Kamu malu punya pacar petani?”Spontan aku menggeleng. Bukan itu. Sungguh bukan.“”Apa kamu masih mau menjadi Dewi Sri-ku?”Aku diam membiarkannya menumpahkan kekesalan.“Dewi, sekali lagi kutanya. Maukah kamu menjadi Dewi Sri-ku? Berada di sini menemaniku sampai mati?”Untuk pertama kalinya, bibirku terkunci rapat. Tak tahu harus kujawab apa pertanyaan itu. Segera ia membuang wajah dan berlari menyusuri pematang. Tak lagi menggenggam tanganku. Dan itu untuk terakhir kalinya aku menabung kenangan tentang pria berbola mata besar, yang senyumnya manis berlesung pipi.***Tepuk tangan membahana seakan hendak meruntuhkan langit-langit auditorium yang kokoh menjulang. Aku menarik napas panjang dan menyerap segenap energi yang terpancar dari bangku pengunjung. Lama-lama hanya ada aku dan kegelapan yang dikuak oleh terangnya lampu sorot. Kupejamkan mata. Suara makin pudar dan yang ada hanya hening.Manusia itu sebenarnya hanya anak-anak, dengan bumi sebagai ibunya dan langit ayahnya. Kalimat Abah Amas kembali terngiang. Kini aku paham maknanya. Namun, bocah kecil bermata besar dan bersenyum lesung pipi itu telah memahaminya di usia yang belum genap dua belas tahun. Lima belas tahun sejak upacara melak pare itu, selepas kami menanam padi bersama, kami juga mulai menanam rindu. Rindu yang makin lama makin merimbun, menagih kami bergegas memanennya. Sebelum layu. Sebelum membusuk.Namun, bukankah yang indah itu, walaupun melayu, akan tetap indah adanya.Maukah kamu menjadi Dewi Sri-ku?Aku tersenyum sendiri. Masih bau kencur tapi sudah berani-beraninya ia melamarku? Apa yang ada di kepalanya waktu itu?Abah Amas menggenggam tanganku. Berdiri selama tiga puluh menit di atas podium ternyata lebih melelahkan baginya daripada bertanam padi di sawah. Aku sontak terkejut. Lamunan itu memudar dan cepat kutuntun Abah ke belakang panggung.“Abah capek berdiri ya?”bisikku lembut. “Presentasi tadi luar biasa. Aku sampai mau menangis. Aku nggak menyangka ternyata negeri yang sudah lama aku tinggalkan ini,…”Dengan tangan yang gemetar dan rapuh, Abah menyusut bibit air mataku yang hampir jatuh. “Kenapa menangis? Kamu ini seorang dewi, tidak boleh menangis.”“Ah, Abah. Siapa yang dewi?”“Pulang ke Indonesia, Nak. Dia menunggumu di sana.”Aku terhenyak tak bisa berkata-kata. Beberapa kali aku mengerjap tak percaya. Apakah Abah Amas masih mengenaliku sebagai gadis kecil berkepang dua yang dulu sering berlarian di pematang sawah bersama cucu laki-lakinya yang kurus, yang berbola mata besar dan memiliki senyum manis berlesung pipi?“Abah nggak mungkin lupa sama kamu. Kamu itu sejak dulu selalu jadi Dewi Sri. Setidaknya untuk dia.”“Abah,…”“Dia masih menunggumu di sana. Di tanah adat Ciptagelar.”“Sudahlah, Bah.”“Bulan depan ia akan memimpin melak pare pertamanya sebagai pemangku adat di Ciptagelar. Ia membutuhkan Dewi Sri berdiri di sampingnya. Menjaga kampung halamannya tetap subur.”Kukepalkan tangan kuat-kuat. Penolakannya waktu itu membuatku nekat berangkat ke Itali meneruskan bisnis keluarga sebagai distributor beras organik di Eropa selepas kuliah. Kutinggalkan semua kenangan di tanah adat Ciptagelar, membenamkannya di dalam tanah berlumpur, persis seperti dulu kami menancapkan batang padi di upacara melak pare.Namun, makin hari batinku terus dipenuhi sulur-sulur rindu yang merimbun padat. Seharusnya rinduku dituai, tapi jarak dan waktu seperti hama yang siap menggerogoti dan membinasakan hingga bulir terakhir.“Dewi,…” seberkas suara melantun di sisi kiriku. Belum sempat aku menyeka air mata, sebelum selesai aku menata hati yang porak poranda, ia berdiri di sana.Ah. Tak peduli seberapa ia telah tumbuh tinggi atau semakin kekar tubuhnya kini, bola mata besarnya itu tetap sama. Senyum manis berlesung pipi itu tak sedikit pun berubah. Kedua lututku terasa semakin lemas. Setiap langkah yang ia jejakkan mendekatiku, semakin cepat kenangan berputar-putar di benakku.“Kamu? Sedang apa di sini? Bukannya kamu ada di Ciptagelar?” tanyaku bertubi-tubi, dengan mata terpaut pada binarnya yang pernah memikatku dua puluh tahun lalu.“Aku menjemput Abah Amas. Tadi diam-diam di kursi pengunjung, aku melihat presentasi Abah dan kamu.”“Ah.” Entah aku harus menjawab apa.“Bulan depan melak pare pertamaku.”“Iya.”“Pertanyaanku tetap sama, Dewi.”Abah sengaja perlahan menjauh meninggalkan kami. Abah seakan paham, ada yang harus dituntaskan di antara kami. Kini, pria itu hanya serengkuhan lengan. Aku bisa mencium wangi padi di pagi hari membumbung menyelimuti kami. Membungkus kami erat dengan kenangan. Saat kami berlarian di pematang sawah. Saat kami mengikuti melak pare pertama kami. Saat ia menyisipkan seutas rangkaian kembang padi di kepang duaku.Ya Tuhan, aku tidak tahu kalau merindu bisa seberat ini.“Maukah kamu menjadi Dewi Sri-ku?”Bukan kotak beludru berisi cincin berlian. Bukan sebuket bunga mawar. Namun, ia mengambil hiasan rambut dengan kristal-kristal terangkai membentuk kembang padi yang dipadati bulir-bulir berisi. Disematkannya hiasan itu di kepalaku.“Dulu dan sampai nanti, kaulah Dewi Sri-ku,” bisikku.Dunia seperti berhenti berputar, seakan menghormati pria sederhana dari tanah Ciptagelar dan Dewi Sri-nya yang tengah saling memeluk. Saling menuai rindu yang tunduk menguning, persis bulir-bulir padi di tanah ibu bumi, bernaung ayah langit.***SHB Library, 13 Desember 2012dimuat di majalah FEMINA no.19 edar 11-17 Mei 2013
Published on May 19, 2013 21:48
March 25, 2013
DUNIA DI DALAM MATA, omnibook ke-7

Setelah antologi cerpen bersama yang ke-enam, yaitu #Singgah terbit, kembali diluncurkan antologi bersamaku yang ketujuh, yaitu "Dunia Di Dalam Mata". Ini merupakan proyek omnibook komunitas @fiksimini yang begitu tenar di dunia maya. Beberapa bulan sebelumnya, komunitas tersebut mengadakan sayembara cerpen. Aku ingin mencoba peruntungan dengan mengirimkan dua cerpen, "Peri Bermata Biru" dan "Calon Presiden".
Nothing to lose, itulah perasaanku saat kukirimkan kedua cerpen itu. Aku pun tidak terlalu mengikuti perkembangannya, karena para penggiat fiksimini yang mengirimkan cerpen-cerpen mereka pun, kondang oleh kemampuan menulis dan diksi yang luar biasa. Aku yang lebih sering menulis "pop" jadi keder dan tidak berharap banyak. Lalu, beberapa teman menyebut namaku di linimasa, dan ternyata aku bagian dari 19 cerpen terpilih yang masuk di kumcer "Dunia di Dalam Mata". Cerpenku, "Peri Bermata Biru" terpilih! Sujud syukur.
Akhirnya #kumcerfm ini diluncurkan di Gathering Nasional Fiksimini ke-3 di Bandung, tepatnya di Kafe Siete tanggal 9 Maret 2013, lengkap drama aku terjungkal di pintu kafe dengan hidung nyaris membentur lantai kalau-kalau tidak ditolong oleh @baracoedaz di sana. Blame it on my 10-cm heels.
Oh well, it's life! Yang penting aku bahagia, karena satu "bayi"-ku akhirnya menemukan rumahnya. Oh ya, kumcer ini siap edar di toko-toko buku nasional di bulan April 2013. Sebagai gambaran, karena aku berhasil menamatkannya sehari sebelum aku menulis blog ini, kumcer ini berisi 23 cerpen terpilih, termasuk empat karya cerpenis cetar membahana seperti Agus Noor, Clara Ng, Aan Mansyur, dan Eka Kurniawan. Ada juga fiksimini-fiksimini terbaik dari tahun 2010-2012 yang dirangkum dengan apik dan beberapa ilustrasi yang keren. Cerpen-cerpen di dalamnya lebih beraroma "sastra" dan "filosofis", bukan "pop urban" seperti dua kumcer sebelumnya, Cerita Sahabat 2 dan Singgah.
Berikut kutipan "Peri Bermata Biru" karyaku di dalam "Dunia Di Dalam Mata":
Apakah kau pernah bertemu peri bermata biru? Peri tampan dengan mata bulat biru langit. Saking birunya sampai kau bisa melihat seluruh semesta tiap kali menatap matanya? Bila iya, maka kuperingatkan. Jangan sampai kau jatuh cinta padanya. Karena peri itu sanggup membunuhmu, pelan-pelan, menyakitkan.
SELAMAT MEMBACA!
Published on March 25, 2013 19:15
MAKAN MALAM TERAKHIR
Untuk pertama kalinya, aku meminta pada Tuhan. Tolong hentikan waktu. Demi malam ini.Sandy menatap ragu undakan menuju teras rumahnya. Bangunannya masih tetap sama, minimalis dengan dominasi warna hitam dan abu-abu. Ada pintu besar dari kayu meranti, berpulas pelitur mengkilat dengan sedikit ornamen ukir di beberapa sudut. Jendela-jendela mengapit pintu. Penampangnya berbatas dengan besi ulir teralis yang berjajar ritmis dengan helai-helai tirai putih bersih. Entah kenapa, detik ini rumahnya terasa dingin. Apa karena catnya? Apa karena teralis-teralis itu? Karena apa? “Sandy, kok nggak masuk?” Mama menyambut di depan pintu. Sosoknya terlihat lelah. Sepertinya garis-garis kerut di wajahnya menegas. Sandy mencari-cari bekas air mata di tiap lekuk sudut raut cantik mama, tapi sia-sia. Mungkin sekarang bukan waktunya mama menangis lagi.Uluran tangan mama menanti jawaban. Jemari lentiknya kini terlihat kering. Mama sudah melepas cincin kawinnya.“Papa menunggu di dalam.”Sandy makin ragu. Untuk apa ia ada di sini? Menjadi saksi mata kalau kiamat itu memang ada? Mereka memintanya bersikap dewasa. Hanya saja, kedewasaan macam apa yang bisa dituntut dari anak berumur enam belas tahun seperti dirinya? Ia bahkan belum pernah jatuh cinta. Bagaimana ia bisa memahami rumitnya cinta papa mamanya?Langkah kaki terasa berat. Bahkan, dinginnya marmer putih susu ini sanggup menembus sandal crocs-nya, membekukan tiap jejak tapak kakinya.“Kamu sudah makan? Mama sudah siapkan rawon kesukaanmu, dengan sambal terasi, kerupuk udang, dan telor asin. Ayo, mumpung rawonnya masih hangat.”Mama menyambut Sandy layaknya tamu. Ini mama. Ini rumahnya sendiri. Memang ia baru saja menghabiskan akhir pekan di rumah nenek di Bandung. Namun, sambutan mama seakan menandakan Sandy sudah pergi sekian tahun lamanya. Ada nada getir di suara mama. Mana kehangatan mama yang seperti biasa? Mengapa ia terus diperlakukan seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa?Ada papa duduk di meja makan. Wajahnya sedikit tegang, pun juga lelah. Papa dan mama berbagi pedih yang sama. Namun, mereka sama-sama enggan membaginya dengan Sandy. Bukankah dirinya bagian dari keluarga ini?Sandy tahu papa berusaha tenang. Sedikit senyum dan tatapan hangat itu masih belum sanggup menyembunyikan badai besar di hati papa. Gadis itu melirik ke tengah meja. Seluruh hidangan sempurna, dari aroma, warna, dan tentu rasa. Tapi, entah kenapa, Sandy merasa ia tak ingin menyantap menu ini. Selamanya.“Kok diam? Ayo duduk. Kita bisa mulai makan sekarang?” tanya mama. “Bagaimana liburanmu di rumah nenek?” tanya papa.“Membosankan.”“Tapi kamu bisa jalan-jalan di kebun kopi nenek.”“Aku lebih suka di Jakarta.”Percakapan ini ditutup oleh hening yang mencekik Piring-piring menyajikan masakan lezat mama yang semestinya menerbitkan air liur. Namun, perut Sandy bergolak hebat. Ada perih membekap jantungnya hingga nyaris sulit berdetak. Gadis itu menatap mama. Mama menatap papa. Papa hanya tertunduk. Entah menatap apa. Entah menyembunyikan apa. Sandy akhirnya hanya menatap lilin. Nyalanya redup. Lidah apinya menari-nari. Mungkin api itu tahu kesedihan di hati ketiganya, sehingga bersusah payah meliuk menghibur ketiga manusia di hadapannya.“Kamu mau nasinya satu atau separuh, sayang?” tanya mama lagi.“Ma,…”“Iya?”“Kenapa kita semua berkumpul di sini?”Mama terhenyak. Sandy juga sempet menangkap papa berhenti menarik napas. Tinggal menunggu waktu saja sebelum palu takdir diketuk. Mulai detik ini, kisah bahagia takkan pernah ada dalam hidup Sandy. Bahagia baginya hanya ilusi yang terperangkap di lembar-lembar buku dongeng.“Kita keluarga kan? Wajar kalau kita makan malam bersama,” jawab mama parau, seakan ragu dengan kata-katanya sendiri.Rasanya Sandy ingin berteriak. Sejak kapan mereka menjadi keluarga? Sandy sudah lupa terakhir kali mereka bercengkerama bersama. Mungkin ketika dia masih sepuluh atau sebelas tahun. Masih berambut panjang dengan pita merah jambu berkibar-kibar. Saat rambut papa masih hitam dan belum ada seutas kerut di wajah mama. Rasanya seperti seribu windu yang lalu. Sandy hampir lupa, entah bagaimana dengan papa mama. Apakah mereka masih bisa merasakan jejak-jejak kebahagiaan semacam itu?“Bagaimana sidangnya, Ma?” tanya Sandy. “Pa?”“Sandy,…”“Pa, Ma, aku sudah enam belas. Perlakukan aku seperti anak enam belas tahun.”“Sidangnya baik-baik saja,” ujar papa melelehkan keheningan. “Pa,…” cegah mama.“Biar. Sandy berhak tahu. Dia sudah besar,” sergah papa.“Tapi,…”“Besok sidang terakhir untuk membaca putusan.” Suara papa terdengar seperti gunung es yang berderak pecah.Sandy bersumpah ia bisa mendengar hatinya sendiri meluncur jatuh dan semburat berkeping-keping. Ia tak tahu harus bagaimana. Marah. Sedih. Kecewa. Tertawa. Merana.Tak ada sepatah kata apa pun. Semua rasa terkunci rapat di hati. Sandy sekuat tenaga berusaha tidak menangis. Kalau tidak, ia yakin sebentar lagi ia akan mati tenggelam oleh air matanya sendiri.“Kenapa, Pa? Ma? Kenapa kalian harus pisah?” Sandy bangkit dari kursinya. Nafsu makannya menguap seketika. Ada hening yang kuat mencuat di antara ketiganya. Setengah berlari, ia menuju sofa besar di depan televisi. Dulu, ketika masih kecil, ia sering meringkuk merajuk di sana. Terlebih saat papa memarahinya karena terlalu lama bermain game atau saat mama memaksanya makan brokoli. Ia biasanya tenggelam di antara bantal kursi isi bulu angsa agar tak ada siapa pun mendengarkan suara tangisnya. Tapi itu dulu. Ketika masih ada aroma bahagia menguar di rumah ini.Mama ikut merebahkan diri di sofa itu. Samar Sandy mencium wangi lembut parfum mama. Ah, betapa ia akan merindukan wangi mama. Suara mama. Helai-helai rambut yang menempel di leher jenjang mama. Sandy tak mengatakan apa-apa. Pun mama diam. Mereka hanya saling menyandarkan kepala di sandaran sofa. Sandy memejamkan mata. Mama menatap lampu gantung kristal yang bening berkilauan. “Sayang, masih ingat Barbie?” ujar mama tiba-tiba. “Kucing anggoramu dulu?”Sandy tak menjawab. Ia hanya berusaha membungkam gemuruh pedih di dadanya.“Kamu dulu sibuk ikut les ini itu, OSIS, macam-macam. Akhirnya lupa memberi makan Barbie atau mengajaknya bermain. Barbie jadi kurus dan sakit-sakitan. Masih ingat apa yang akhirnya kamu lakukan?”Sandy membuka mata. Silau cahaya lampu gantung menusuk matanya. “Aku kasih Barbie ke Melati, anaknya om Jono.”“Kenapa?”“Karena Melati sayang kucing dan bisa merawat Barbie dengan baik. Buktinya beberapa bulan setelah itu, Barbie gendut dan sehat. Lincah. Nggak seperti kucing yang hampir mati.”“Terus? Pelajaran apa yang kamu bisa ambil?”“Mama menyamakan pernikahan mama papa dengan Barbie? Barbie cuma kucing, Ma. Beda dong.”“Mungkin memang sama, sayang. Mungkin. Kadang bahagia itu tidak selalu dengan bersama-sama.”“Tapi aku bahagia kalau bersama papa dan mama,” nada bicara Sandy meninggi. “Kenapa papa mama berhenti mencintai?”Mama menatapnya lekat. Sandy tahu mamanya terkejut. Mungkin memang mama juga tak tahu jawabannya.Papa ikut mendekat dan duduk di sisi Sandy. Lengan besar papa terasa dingin, sekaligus hangat. Sedikit lagi pertahanan Sandy hampir jebol.“Kami tidak berhenti mencintai, sayang. Kami masih saling cinta.”“Terus kenapa papa mama pisah?”“Kamu tahu pohon mangga yang kita tanam di halaman depan? Coba lihat dahannya. Dari satu batang yang kokoh, rantingnya bisa tumbuh ke arah yang berbeda.”“Aku nggak ngerti, Pa.”“Mungkin seperti itulah cinta papa dan mama. Tumbuh ke arah yang berbeda. Tapi masih satu. Berkat kamu. Kamulah penyatu kami, walau akhirnya kami berpisah.”“Iya sayang. Kami tidak mungkin saling benci. Kalau mama benci papa, mama akan ikut membenci kamu. Karena ada papa di dalam dirimu. Begitu juga sebaliknya.”Runtuhlah dinding-dinding pertahanan di batin Sandy. Luruh juga air matanya. Ia hanya melipat lutut dan membenamkan wajahnya. Semoga isakannya tak nyaring terdengar. Ia sudah enam belas tahun, tak seharusnya ia menangis lantang seperti balita.“Aku nggak mau papa mama pisah.”“Kamu mau papa mama terus-terusan bertengkar?” tanya papa. “Itu bikin kamu bahagia?”“Tapi aku juga nggak akan bahagia kalau papa mama pisah.”“Ini yang terbaik, sayang.” Mama mengelus rambut Sandy. “Terus aku gimana? Aku nggak mau disuruh milih antara papa atau mama.”“Kami nggak akan memintamu milih, karena kamu anak kami, bukan anak papa atau anak mama. Anak kami berdua, sayang.” “Aku pasti akan kangen saat-saat seperti ini, Pa, Ma.”“Papa juga.”“Mama juga.”“Malam ini, papa sama mama, sama-sama nemeninaku di sofa ini. Sampai aku tidur. Sampai pagi. Sebelum kita bertiga berangkat ke pengadilan besok pagi. Untuk terakhir kalinya.”Bukan jawaban yang Sandy harapkan. Tapi lengan mama yang menggamit erat. Juga hangat sentuh tangan papa membelai rambut putri tunggalnya.Di sofa cokelat susu itu, papa, Sandy, lalu mama saling meringkuk. Saling menghangatkan. Diam-diam dingin mulai merambati dinding-dinding hati. Juga rasa takut. Takut kehilangan. Takut tak bisa lagi bahagia. Di luar sayup-sayup terdengar deru hujan berangin yang mengempas segala. Sandy berharap, semoga hujan ikut menyapu semua rasa sakit di dadanya.Untuk pertama kalinya, aku meminta pada Tuhan. Tolong hentikan waktu. Demi malam ini. Aku ingin bersama mereka. Utuh. Selamanya.
GM, 5-6 Februari 2012Dimuat Gadis no.07/2013 edar tgl 8-18Maret2013
Published on March 25, 2013 19:00
CINTA TERTINGGAL DI BANGKU PANJANG
“Sen, foto aku!” ujar Amanda manja. “Di bangku panjang ini saja. Cocok sama gaunku, apalagi di belakangnya banyak pohon.”Tangan Sena mencengkeram bodi kamera. Dingin menjalari tubuhnya saat ia rasakan keringat meluncur cepat di tengkuk. Senyum itu, binar itu, suara itu, menyergap bertubi-tubi.Sen, foto aku.Tanpa komando, lengan Sena terangkat sendiri. Ia mengatur fokus. Bukan kamera, bukan teknik, yang terpenting insting menangkap momen.Kenapa kamu memotretku?Kalimat itu tak bisa hilang dari benaknya, sekeras apa pun Sena berusaha. Tak ada tombol delete atau undo. Yang ada hanyalah tombol rewind dan rekaman berlabel kenangan tentang wanita itu. Jemarinya membeku, tak sanggup menekan tombol capture.Kenapa kamu suka sekali memotretku, Sena? Apa menurutmu aku cantik?Amanda duduk anggun di bangku panjang itu. Salah satu kaki ditumpangkan ke kaki lainnya. Lengan rampingnya menjuntai ringan. Rambutnya sedikit berkibar oleh hembusan angin. Cantik. Momennya tepat, tapi otak Sena berkata tidak.“Sorry. Tempat lain saja. Di sini kurang bagus.” Sena menurunkan lagi lengannya. Ia tak sanggup memotretnya. Sial. Kenapa kata-kata itu sulit ia lupakan? Kenapa kau suka sekali memotretku?“Potret adalah catatan kehidupan dan aku ingin mencatatmu dalam hidupku,” gumam Sena tiba-tiba. Amanda terpana melihatnya. Pria itu menjauh tanpa berkata apa-apa lagi.“Tapi menurutku bangku panjang itu bagus dijadikan latar foto,” protes Amanda.“Aku fotografernya. Aku tentukan tempatnya.” Tukasnya pedas. Amanda tercenung. Tiga bulan menjadi model Sena, pria pendiam ini tak banyak bicara. Kalau pun bicara, tak pernah bernada tinggi. Hanya karena sebuah pose di bangku panjang, Sena membentaknya?Amanda menemukan raut itu. Walau tersembunyi karena berpaling mencari spot untuk difoto, ia mendapati tatapan penuh kejujuran, sekaligus penuh rasa sakit. Apa itu rindu?***Ruang kerja Sena di lantai dua galeri RumaBumi terlihat lengang. Musik instrumental mengalun sayup. Pump shoesAmanda menggema di lantai kayu. Aroma rokok masih kuat menguar. Laptop masih menyala. Tapi pria itu tak terlihat di mana-mana.“Sen? Anybody’s home?”Amanda tahu betul makna privasi. Tapi layar komputer Sena berpendar menggoda. Memanggil-manggil. Tak banyak yang ia tahu tentang Sena. Malah mungkin laptop itu lebih mengenalnya ketimbang Amanda sendiri. Hanya saja, diam-diam membuka laptop Sena? Apakah ia seputus asa itu?Ada customized icon unik bergambar kamera tersembul di antara rangkaian icon-icon di monitor. Judulnya Sena’s Signature. Amanda memberanikan diri membukanya. Rangkaian folder-folder hasil foto Sena ditata kronologis lengkap dengan catatan tanggal dan lokasi gambar. Ada satu yang menarik perhatiannya, folder berjudul “CINTA TERTINGGAL DI BANGKU PANJANG”. Tanpa tanggal dan nama tempat pengambilan foto.Jangan klik. Logikanya diabaikan begitu saja. Jemari Amanda digerakkan oleh hati. Thumbnails pose-pose wanita muda memenuhi layar. Ia memperbesar salah satu foto. Seorang wanita muda berdiri dengan latar pemandangan laut. Baur indah biru langit dan biru laut kalah cantik oleh senyum wanita itu. Di foto lainnya, wanita itu membelakangi kamera, di atas balkon, bertopang dagu di susurannya. Rambutnya berkibar tertiup angin. Beberapa helai rambut samarkan senyumnya, tapi masih tak kalah cantik. Satu demi satu Amanda melihat foto-foto itu. Di tengah taman Museum Prasasti, di jalan setapak dengan sepeda mini merah tua, di pinggir kolam ikan, di dalam mobil, di teras rumah, di atap sebuah gedung dengan latar lansekap gedung pencakar langit, di mana pun itu, tetap hanya dengan satu model yang sama.Lalu, jarinya membeku di salah satu foto. Seperti ada hawa kesepian dan kerinduan menyergap kuat sampai membuatnya kehabisan napas. Wanita yang sama. Tak ada yang istimewa dari blus tanpa lengan motif bunga dan skinny blue jeans yang ia kenakan. Rambut lurus panjangnya jatuh menutupi sebagian wajah. Hanya saja, senyum itu hilang. Wanita itu duduk di bangku panjang di taman seberang galeri. Kakinya terulur. Matanya tertunduk sayu menatap ujung jari kaki. Di bangku panjang di tengah rimbunnya pepohonan kokoh dan jalan setapak, hanya ada dia seorang. Tanpa ada siapa pun. Seakan ia kesepian. Mungkin merindu. Atau menunggu seseorang. Bisa jadi baru saja ia kehilangan seseorang. Bagaimana bisa satu foto bisa menangkap dan menjabarkan makna yang bahkan tak bisa ditanggung oleh hati yang paling sunyi sekali pun?Siapa wanita ini? Kenapa foto-fotonya dinamai Cinta Tertinggal di Bangku Panjang?“Amanda?” Suara itu merobek kesunyian. Jantung Amanda rasanya mencelos. Sejak kapan Sena ada di belakangnya? Mata Sena menatapnya tajam. Amanda baru saja melakukan dosa terbesar, mengorek luka batin pria itu.“Sena, aku…” Amanda tergagap.“Keluar.” Jawab Sena pendek.“Maaf,” Amanda tak tahu harus berkata apa. Sena menatapnya diam. Tanpa berkata apa-apa, diraihnya cepat laptop itu dan pergi. ***Amanda melirik dari jendela kaca besar yang membatasi aula utama pameran dan foyer galeri. Di luar, sayup-sayup terdengar lirih gerimis. Tamu-tamu mulai berdatangan. Amanda kenal beberapa wajah yang hadir. Beberapa jurnalis dan fotografer dari banyak majalah ternama, sebagian besar memang teman dekat Sena. Amanda belum berbicara lagi dengan Sena sejak kejadian semalam. Pria itu terlalu sibuk bahkan untuk sekadar menyapa. Mungkin itu cuma alasan menghindarinya. Amanda hanya bisa menatapnya penuh sesal dari jauh.Amanda terkesiap saat melihat sosok itu datang dengan gaun terusan putih. Matanya yang teduh mencari-cari ke tengah kerumunan. Itu wanita yang ada dalam folder foto cinta tertinggal di bangku panjang Sena. Amanda terkesiap. Itukah bidadari di ruang hati Sena?Sena bergegas menghampiri wanita itu dan langsung memeluknya. Ada perih merambat naik pelan-pelan. Wanita itu membalas peluknya. Matanya menatap kosong, lalu meronta lepas. Dikecupnya pipi Sena. Lama sekali, persis umur rindu di antara mereka. Wanita itu tertunduk sejenak lalu balas menatap Sena. Sebuah potret kerinduan yang memilukan. Hati Amanda ikut menangis saat melihat wanita itu menyusut air mata yang hampir jatuh. Sena langsung menarik tangan wanita itu. Setengah berlari, mereka keluar galeri. Menembus hujan yang seakan gambarkan rimba hati mereka sendiri. Meninggalkan Amanda yang tak sanggup menembus riuh pertanyaan dalam hatinya sendiri.***Payung itu menaungi mereka. Di tengah gerimis, mereka bisa saling mendengarkan suara napas dan detak jantung yang memburu oleh rindu.“Sen, kamu kurusan.”“Kamu juga. Pipimu lebih tirus sekarang. Kalau senyum itu kufoto, pasti bagus.”“Aku lupa caranya tersenyum.”“Kenapa? Dulu kamu selalu tersenyum.”Wanita itu menatapnya seakan di manik matanya tergambar seluruh jawaban yang Sena inginkan. Ia pun duduk di bangku panjang di taman seberang galeri. Permukaannya basah, tapi ia tak peduli. Sena ikut duduk dengan pandangan menerawang.“Foto terakhirku dulu di sini kan?” “Iya. Masih kusimpan.”“Judulnya cinta tertinggal di bangku panjang, kan? Itu foto kesukaanku. Kupasang di wallpaperlaptop, profile picture FB, twitter, YM, BBM.”“I know. I’m your stalker, remember?”Wanita itu tergelak. Akhirnya Sena bisa mendengar tawanya. Dalam hati ia berharap, waktu sudi berhenti berputar. Ia ingin merekamnya, menangkap momen untuk terakhir kali.“Selamat atas pamerannya. Aku selalu tahu kamu akan jadi fotografer hebat.”“Terima kasih. Aku nggak sangka kamu bisa datang. Lusa kan,…”“Akad nikahku. Iya. Aku berangkat nanti malam. Orang tua dan calon suamiku sudah sampai Bali kemarin.”Sena tertunduk, tak sanggup menatap sepasang mata itu. “Selamat atas pernikahanmu. Kamu pasti akan jadi istri yang hebat.”“Aku masih ingin kamu datang memotretku. Kamu kan fotografer hebat. Fotografer kesayanganku. Tapi memintamu datang itu sama saja,…”Sena mendongak, menunggu kalimat itu diselesaikan. Wanita itu langsung mengecup lembut bibirnya. Mata mereka terpejam. Sena bisa merasakan lembut tangan wanita itu membelai wajahnya. Semesta terasa berhenti berputar. Kau pun kesayanganku. Tapi aku tidak sehebat itu. Fotografer hebat bisa menangkap momen dengan tepat, dalam situasi apapun, tanpa memedulikan suasana hatinya. Aku memotretmu karena ingin mengabadikanmu dalam hidupku. Mana sanggup aku mengabadikanmu dalam gaun pengantin, dengan pria lain menggenggam tanganmu. Kata-kata itu hanya terantuk gelisah di tenggorokan. Ditelan lirih oleh hati yang perlahan mulai mati. Tenggelam oleh rintik hujan yang makin padat meruntuh. Bahkan langit pun ikut menangis. Wanita itu melepaskan ciumannya dengan mendung menggayut di mata.“Maafkan aku, Sen. Untuk setiap sakit yang sama-sama kita rasakan.”Jangan.“Aku harus pergi sekarang, Sen.”Tetaplah di sini.“Selamat tinggal, Sena, my favorite photographer.”Kumohon.Satu ciuman lagi mendarat. Bahkan sebelum Sena sempat membalasnya, wanita itu melepaskan bibirnya. Di tengah hujan, ujung gaunnya meliuk melambaikan tanda perpisahan.***Amanda memberanikan mendekatinya. Sena masih bergeming di bangku panjang dengan tubuh basah kuyup. Kemeja Armaninya melekat seperti kulit kedua. Sena berusaha menyamarkan badannya yang menggigil hebat, entah karena dingin atau rasa kehilangan.“Aku mau di sini. Kamu saja yang temani tamu-tamu,” ujar Sena lirih. “Mana bisa? Ini galerimu; pameranmu. Lagipula kamu bisa sakit kalau terus begitu.”“Aku baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja. Aku pasti akan baik-baik saja, kan?”Amanda terdiam tak tahu harus menjawab apa.“Pakai payungnya, Sen.”“Nggak usah.”“Jangan sakiti dirimu sendiri.”“Tahu apa kamu?”“Yang kutahu, dia tidak akan kembali. Seperti apa pun kamu menunggunya, Sen.”“Aku mencintainya.”“Kalau begitu biarkan saja cintamu tertinggal di bangku panjang ini.”Sena menatapnya seakan luka lamanya baru dikorek kembali. Amanda tak peduli kalau akhirnya setelah ini Sena akan membencinya. Rintik hujan perlahan reda. Matahari mulai menggeser kelabu di langit Amanda mengulurkan tangan. Tak ada tetes yang jatuh ke atas telapaknya. Ia menurunkan payung dan mengulurkan tangan ke hadapan Sena.“Banyak yang menunggumu. Termasuk aku.”“Seharusnya kamu menyerah saja. Biarkan aku di sini sendiri.”“Aku tidak akan menyerah padamu.” Amanda tersenyum.Tanpa membalas senyum itu, ia menyambut tangan itu. Tangan Sena begitu dingin, tapi Amanda tahu itu bukan apa-apa dibanding kebekuan di hati pria itu. Sena mengikutinya masuk ke galeri. Tepat selangkah sebelum pintu kaca menelan mereka ke dalam keramaian galeri, Sena melirik ke arah bangku panjang itu. Amanda mengikuti arah pandangannya.“Jangan khawatir. Cinta itu tetap ada di bangku panjang. Biarkan saja tetap di sana.” Amanda mempererat genggaman tangannya.Sena tak tersenyum. Ia hanya kembali lurus menatap ke depan. Ya, biarkan saja cinta itu tertinggal di bangku panjang.*** To my favorite photographer, Sena, happy birthday!GM – Lab Komp, 26 November – 23 Desember 2011Muat di CHIC no.136/2013 edar tgl 6-20Maret2013
Published on March 25, 2013 18:59
January 6, 2013
#Singgah
Segera Terbit
SINGGAH
Gramedia, 2013

Begitu banyak kisah di terminal, bandara, pelabuhan, dan stasiun. Cerita tentang pertemuan dan perpisahan, juga tentang orang-orang yang menanam kakinya di tempat-tempat persinggahan itu. Mereka berbagi luka dan cinta. Diam-diam mereka memendam rindu. Tempat yang selalu ingar bingar, tetapi juga melesapkan sepi yang menggerogoti jiwa. Tanpa suara.
Seorang lelaki menyusuri kembali jejak-jejak kekasihnya yang hilang ke sebuah dermaga, lelaki lainnya memancing bintang. Di stasiun, pak tua berpeci lusuh duduk menanti mataharinya setiap dini hari. Di bandara, koper-koper tertukar, dan ada hati yang menemukan pelabuhannya.
Sebelas penulis merangkai kenangan di empat tempat persinggahan, mengantar pergi, menjemput pulang.
Published on January 06, 2013 20:04
December 9, 2012
KM 40
Mereka bilang waktu berjalan linear dengan kecepatan konstan oleh satuan detik, menit, atau jam. Lalu kenapa tahu-tahu waktu berlari cepat dan aku merasa tertinggal jauh di belakang. Yang tersisa hanya pikiran di kepala, kalau saja waktu berputar kembali.Entah berapa lama aku duduk diam dalam mobil yang berhenti di jalur paling kiri jalan tol. Tidak ada musik atau celoteh penyiar. Hanya sayup suara mobil-mobil berlesatan di sebelah kanan. Wangi dingin bercampur pengharum aroma peach tak sanggup menenangkan pikiranku yang kusut tak terurai. Mobil ini tidak mogok. Aku hanya tak kuat dengan riuh di kepala dan air mata yang mendesak-desak hampir jatuh.“Mau begini sampai kapan?” ujarmu tiba-tiba.Aku tersentak. Di kursi penumpang, kau tiba-tiba bersuara. Bukankah seharusnya kau diam saja? Mata bulatmu menatapku. Aku malah memperhatikan blus putih dengan rufflesdi dada yang kaukenakan. Aku tak ingat kapan kau meminjamnya, tapi pasti tanpa seijinku. Itu blus kesayanganku, hadiah dari pria kesayanganku, tak akan semudah itu kupinjamkan. “Jangan remehkan waktu,” sambungmu. “Sudah berapa kali kau bertanya pada lelaki itu. Kalau saja waktu berputar kembali. Ingat?” Kupandang arah depan untuk menenangkan gemetar tangan di roda kemudi. Aku berusaha tak menatapmu. Matamu kurasa sanggup mengulitiku secepat kelopaknya mengerjap.“Pantas kepalamu bising. Banyak betul yang kau pikirkan. Apa yang dia lakukan bersama istrinya? Apa caranya menatapmu sama seperti dia menatap istrinya? Apa ciumannya untukmu lebih membara? Mana cinta yang lebih besar, untukmu atau istrinya?” “Apa kau mencoba membuatku gila?”“Bukan aku, tapi dia.”“Dia tak penting bagiku.”“Lalu kenapa selalu bertanya-tanya apa jadinya kalau waktu bisa kembali berputar?”“Diam!” Emosiku membumbung tepat di ubun-ubun. Kupukul kemudi beberapa kali untuk melampiaskannya. Tapi aku masih tak berani menatap matamu.Bisa kulihat senyumanmu dari sudut mataku. Kau duduk tegak di kursi penumpang dengan kaki dirapatkan dan tangan tergeletak santai di pangkuan. Kenapa kau selalu setenang ini? Apa karena kau tahu semua serpih-serpih busuk masa lalu yang kusimpan, yang tak pernah habis walau sudah perlahan aku sapu keluar, semata hanya karena aku belum siap melepaskannya?“Beritahu aku,” kau mengubah posisi duduk, sedikit menyamping dengan kaki kanan ditekuk naik. “Seperti apa,...” Kau berhenti sejenak.“Istrinya?”“Kau bisa menebak pikiranku?”“Cih! Kalau kau bisa membaca pikiranku, aku juga harus bisa membaca pikiranmu.”“Jadi? Seperti apa dia?”“Sempurna.”“Begitu saja?”“Kau mau aku bilang apa?” bentakku makin kesal. Aku teringat bertemu istrinya. Sudah lama sekali. Kulitnya seputih pualam, berpadu elok dengan legam berkilau rambut lurusnya. Senyumnya lembut dan tulus. Matanya berbinar hangat. Menatapku, kau hanya tergelak. Begitu kerasnya kau terpingkal, sampai tubuhmu berguncang-guncang. Dadamu ikut naik turun mengikuti irama tawa yang dinamis.“Jika memang istrinya sesempurna itu,” ujarmu seakan membaca pikiranku, “kenapa dia bisa tertarik padamu?”Tenggorokanku tercekat. Aku tidak suka mendengar itu. Kulirik pantulan bayanganku yang terbentuk buram di kaca samping mobil. Bukan sosok bidadari yang kudapati di sana. Hanya sekadar wanita biasa yang menua digerus rindu dan lelah oleh rasa mengalah.“Entahlah,” jawabku memejamkan mata.“Ayolah. Pasti ada alasan kenapa dia suka memandangimu sambil tersenyum. Atau mengajakmu makan malam berdua. Atau membelikanmu beberapa buku, supaya habis kau baca dan bisa kalian diskusikan bersama. Termasuk mencumbumu diam-diam di belakang semua orang. Apa jangan-jangan kau cuma,…”“Aku tak mau membicarakannya lagi”“Ayolah, katakan padaku, menurutmu kau ini apa?”“Berhenti!” Mataku terasa panas. Kubenamkan kepala di roda kemudi.“Kau lebih dari sekadar menyedihkan. Kau,... selingan,” simpulmu akhirnya.“Cukup.”“Kau tahu betul itu, tapi kau masih berharap.” Jawabmu ketus. “Kumohon!” aku sedikit terisak.“Padahal sekeras apa pun kau memohon, dia tidak akan memilihmu.”Aku tak suka mengiyakannya, tapi itu benar. Semua kembali terbayang. Aroma lapuk smoking area itu membuatku sesak. Bukan karena ruangannya, tapi oleh ruang hatiku sendiri. Ruang ini berukuran empat kali empat. Dicat kuning gading, tapi entah karena menua atau ternoda asap rokok, warnanya melapuk dan menyuram. Ada meja besar dengan enam kursi coklat tua. Dia duduk membelakangi jendela dan aku di hadapannya. Selalu begitu. Tak pernah ada yang berubah."Kalau saja waktu berputar kembali, lima belas tahun lalu, apa akhirnya akan berbeda?" waktu itu aku terus saja mengulangi pertanyaan itu.Dia hanya diam. Tentu dia mencari jawaban yang tidak menyakiti hati. Tapi hati siapa? Hatiku? Hatinya?“Aku tidak suka menjawab sesuatu yang diawali kata kalau. Kau sendiri tidak yakin dengan pertanyaanmu, bagaimana aku bisa menjawabnya.”“Kau percaya bahwa semua ada takdirnya? Apa kita ini ditakdirkan? Apa perasaan kita ternyata cuma kebetulan ada karena kita kebetulan ketemu?” tanyaku mencoba menangkap bola matanya yang sedari tadi mengelak dari pandanganku.“Kenapa kau selalu memperumit sesuatu yang sederhana?”“Karena aku ingin tahu alasannya. Kenapa kita terus terjebak? Kenapa kau lebih memilih dia? Kenapa di ujung hari selalu aku yang menangis, sementara kau tak merasa apa-apa. Apa yang sebenarnya kita lakukan ini? Apa aku cuma sebuah nama untuk menguji rumah tanggamu, yang nanti di ujung usiamu bisa kau kenang penuh kemenangan bahwa kau bisa mempertahankan rumah tanggamu sekaligus cinta rahasiamu tanpa siapa pun tahu?”“Pikiranmu memperumit cinta yang sederhana. Sesederhana aku mencintaimu. Sesederhana aku mencintai istriku.” Senyumnya melingkar legit, tapi bisa kusesap pahit dari udara yang menguap. Dia menghembuskan asap rokok, membentuk kabut tipis lalu mengabur hilang.“Kalau kau benar mencintainya,” tandasku ketus. “Kenapa membuatku mencintaimu? Apa aku cuma selingan?”Matanya melemparkan pandangan ke kipas yang berputar di langit-langit. "Kalau kita bertemu lima belas tahun lebih awal, apakah akhirnya akan berbeda? Apa kau akan memilihku? Apakah kisah kita akan berbeda? Apa kau akan berani mencintaiku?”Dia tertunduk. Aku ikut mempertanyakan hal yang sama pada diriku. Ternyata kami berdua sama-sama tahu kalau kami tak tahu jawabannya. “Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Menikmati senyummu dari jauh dan mengagumi kesempurnaanmu. Diam-diam menggandeng tanganmu erat di antara kerumunan padat di dalam lift. Mencumbumu sembunyi-sembunyi di sini. Sesederhana itu.”“Tapi kau tak bisa menyederhanakan perasaanku. Lima belas tahun aku menunggu. Itu bukan rindu yang sederhana.Butuh berapa lama lagi agar kau sadar?” Tring tring, getaran ponselnya jauh lebih liris dibandingkan degup jantungku sendiri. Tapi suara itu seperti lengkingan sangkakala yang menampar kami berdua. Membangunkan kami kembali ke realita. Air mukanya berubah setelah membaca pesan yang tertera di sana. “Apa itu istrimu?”Dia tak menjawab. Kami sama-sama tahu, di semua yang ada di ruang sempit ini hanya akan tersimpan di sini. Begitu kakiku melangkah, saat kakinya menjejak, tepat kami meninggalkan ruangan ini, semuanya akan terkubur, tak tergali, tak terucap.Tangannya seakan enggan membuka pintu dan meninggalkanku teronggok begitu saja. Dia berhenti sejenak. Mematung seperti tenggelam dalam kelam kabut benaknya sendiri. Aku menatap penuh harap, mengawangkan mimpi.Dia merogoh saku kemeja. Aku melihat kilauan itu. Cincin kawin. Meluncur masuk ke dalam jemari manisnya. Semburatlah air mata yang kutahan dari tadi. Dia menatapku tak tega. Sekali ia membelai kepalaku yang terbenam di antara kedua lengan dan mengecup pelan. “Sampai ketemu Senin.”Dia pergi, bahkan tak sempat mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Hari itu hari ulang tahunku yang ke empat puluh. Aku hanya tertunduk menikmati kado terpahitku barusan. Makin lama kepalaku makin berat. Terlalu banyak air mata yang siap jatuh menjemput bumi. Aku mengutuk waktu. Waktu yang tiba-tiba berhenti sehingga aku sedang menangis selamanya. Waktu yang tahu-tahu melesat meninggalkanku yang masih sibuk menata hati yang remuk.“Jam tiga pagi tadi, dia meneleponmu lagi, kan?” tanyamu sekali lagi merenggutku kembali dari lembar usang bernama kenangan. Aku mengangguk pelan. “Dia bilang rindu. Dia ingin ketemu di tempat biasa.”“Kau juga rindu setengah mati? Padahal sudah sejuta kali dia meremukkan hatimu?”“Lalu aku harus bagaimana?”“Kau lihat di sana,” tunjukmu ke arah seberang kanan jalan. Aku mengikuti arah telunjukmu. Ada pembatas jalan tol, sebuah pagar baja, yang setiap beberapa jeda tertentu dipancang petunjuk kilometer. Bentuknya persegi dicat putih dengan tulisan mentereng hitam yang berpendar di kejauhan. KM 40.“Seperti KM 40 itu,” katamu. “Itulah persimpangan dirimu sekarang. Di titik ini, kau harus memilih. Apa akan mengambil jalur di pintu keluar tol tiga kilometer lagi, sampai di kantor dan menemuinya? Atau kau keluar di gerbang tol satu kilo lagi, memutar balik untuk kembali pulang ke rumah, menangis sejadi-jadinya, sampai luka itu sembuh sempurna. Kau bukan pizza yang bisa diantar ke rumahnya setiap kali dia rindu.”“Aku tidak bisa memilih.”“Harus!” bentakmu.Karena tersentak, mataku dan matamu saling bertatapan. Entah kenapa sepertinya aku mengenal mata itu dengan baik. Mata yang sama, hanya lebih tajam. Kau memulaskan lipgloss tipis seperti yang biasa kulakukan. Suaramu juga persis suaraku. Itulah kenapa aku segan menatapmu. Itulah kenapa kau tahu semuanya tentangku, tentangnya, dan tentang kami. Itulah kenapa kau bisa membaca pikiranku. Senyum kemenangan di wajahmu mendadak membuatku muak.Aku mengedipkan mata sekali. Kau menghilang.Air mata terus mengalir. Kepalaku terasa berat. Kualihkan pandangan ke arah petunjuk jalan KM. 40 itu. Sekali lagi aku bisa mendengar suaramu, kali ini bergema lantang di dalam benakku.“Kau harus memilih!”Tring tring!Aku sudah di tempat biasa. Kamu di mana?Sial!***Tangerang 3-4Juni 2011Terinspirasi cerpen “Noriyu” karya penulis Kurnia EffendiMuat di CHIC no.126/2012 17-31 Oktober 2012
Published on December 09, 2012 02:17
Anggun Prameswari's Blog
- Anggun Prameswari's profile
- 55 followers
Anggun Prameswari isn't a Goodreads Author
(yet),
but they
do have a blog,
so here are some recent posts imported from
their feed.
