Anggun Prameswari's Blog, page 6

December 9, 2012

Berlian di Hati Tejo


Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.Tejo teringat kalimat Dinda. Istrinya waktu itu pasti kecewa. Ia tak mendampinginya melahirkan di klinik bidan seberang kompleks kawasan industri. Ia meringkuk semalam di kantor polisi akibat berkelahi dengan atasan. Andai Dinda tahu, betapa Tejo merindukannya. Dinda selalu bisa melembutkan hatinya yang keras. Saat Dinda menyerah di ranjang rumah sakit karena demam berdarah, ia menitipkan Berlian, putri semata wayang mereka, untuk meneruskan tugasnya melembutkan hati Tejo. Semburat jingga menyebar di penjuru langit. Tejo sesekali berjalan miring dan mengucap permisi agar tak menabrak orang saat melewati selasar sempit menuju kontrakan. Samar tercium bau deterjen dari rentetan cucian yang digantung sejajar pintu-pintu petakan.Kontrakannya hanya empat kali enam meter. Ruang tamunya hanya diisi televisi mungil dan tiga bingkai berdebu yang tergantung layu. Senyum manis Dinda menyambutnya di balik kaca bingkai itu. Persis di balik ruang tamu, ada kamar berisi ranjang susun, yang terbawah untuknya, yang teratas untuk Berlian. Di samping ranjang, ada lemari kayu lapuk dan meja belajar usang.“Ada teman-teman ayah mampir. Tolong bikin kopi ya?”“Iya, tapi listriknya mati. Aku belum isi bak di kamar mandi.”Tejo menghela napas. Sebulan lalu, petugas PLN memergoki banyak yang mencuri listrik di sekitar sini. Sejak itu listrik kadang menyala, lebih sering tidak. Pak Sunu, induk semangnya, malah didenda enam juta karena ketahuan mencuri juga. Diliriknya buku-buku di meja belajar Berlian. Kasihan Berlian kalau mengerjakan PR hanya ditemani lilin. “Gampang, mandinya nanti saja.” ujar Tejo kembali ke ruang tamu. Bang Hendi, Mas Pram, dan Gimin sudah selonjor santai di sana. “Rosyid sudah keterlaluan.” Gimin menimpali. “Kita harus bertindak!” “Jadi apa rencanamu, Jo?“ tanya Bang Hendi menyulut rokok.“Mestinya diskusi dulu dengan serikat pekerja. Semua ada prosedurnya, jangan sembarangan.” Mas Pram berusaha menengahi. “SP dikendalikan Rosyid. Persis boneka. Nggak ada yang belain kita,” ujar Tejo.“Mas Pram tahu sendiri banyak tunjangan disunat. Waktu istri Romi di-caesar, cuma dapat ganti lima ratus ribu. Padahal sesuaiaturan perusahaan, Romi bisa dapat penggantian enam juta. Banyak juga kasus tunjangan keluarga ditilep,” ujar Gimin.“Kalau waktu itu Rosyid nggak ngaku-ngaku, aku yang dapat bonus itu. Aku bisa belikan Berlian sepatu dan baju baru,” sergah Tejo teringat insidennya saat membuat efisiensi sistem produksi dari output 50.000 unit rangka lampu motor menjadi 80.000. Untuk diajukan ke bos besar, ia butuh tanda tangan Rosyid sebagai manager utama. Ia taruh konsep itu di meja Rosyid. Tak lama, Rosyidlah yang diberi bonus uang berkat rancangan efisiensi yang persis rancangan Tejo. Tejo naik pitam. Adu mulut tak terhindarkan. Wajah Rosyid pias saat tinju Tejo hampir mendarat di pipinya. Untung saja ia dihalangi buruh lainnya.  “Kalau kamu dipecat, apa Berlian masih bisa sekolah?” sela Mas Pram.Tejo terdiam. Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.“Om-om, silakan kopinya,” Berlian membawa empat cangkir kopi. Tejo menatap mata bening Berlian, lalu beralih menatap isi cangkir. Kopi hitam pekat itu bergerak memutar karena sisa adukan. Seperti itukah masa depan Berlian? Hitam dan berputar-putar mengulang pahit yang dicecap orang tuanya?“Kita harus demo. Kumpulkan bukti-bukti, termasuk dari anak training yang sering dimintai uang supaya jadi karyawan tetap,” Gimin membuyarkan lamunan Tejo.  “Slip-slip gaji bermasalah difotokopi. Bikin petisi minta Rosyid mundur dan rencana lapangannya. Hati-hati, jangan bocor ke Sarno si penjilat!”“Jo, konsekuensinya berat. Kamu bisa dipecat karena jadi korlap. Tahu sendiri Rosyid sentimen sama kamu. Salah gerak, kamu bisa out,” Mas Pram mengingatkan.“Mas mau gaji kita cuma UMR tapi beban kerja tinggi. Lembur tanpa uang lembur. Mati pelan-pelan namanya,” bantah Tejo, “Walau cuma kuli pabrik, kita bukan kuli goblok yang bisa dikendalikan seenaknya.”“Oke, kamu bikin konsepnya, kita yang jalankan. Kita serahkan semuanya sama kamu,” ujar Bang Hendi.Ada kilat semangat di mata Tejo saat menatap mereka. Sepuluh sampai dua belas jam digerus kerja fisik tiap hari membuat mereka lebih tua dari usia sebenarnya. Kelelahan memakan habis harapan mereka. Hanya ia yang bisa mengubah keadaan. “Ayah, lampunya sudah nyala!” teriak Berlian girang dari dalam kamar.***
Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.Kalimat itu mampu melirihkan gumaman teman-temannya yang bergerombol di depan pabrik. Hampir saja megaphone di tangannya jatuh ke tanah. Ia seperti melayang ke awan yang mendesak-desak langit, seperti kerumunan yang kini mendesak-desaknya. Mereka membawa spanduk dan karton bertuliskan provokasi pemecatan Rosyid.“Jo, belum telat untuk berdiplomasi. Banyak yang dipertaruhkan,“ ujar Mas Pram.Tejo tak mengangguk atau menggeleng. Ia hanya ingat wajah Berlian saat menyodorkan surat dari sekolah. Surat itu meminta Tejo menemui kepala sekolah untuk membahas kemajuan pendidikan Berlian tanpa jelas apa masalahnya. Baru Tejo akan bertanya, Berlian telanjur tertunduk. Ia jadi tak tega. Apa nilai Berlian merosot karena lampu di kontrakan terlalu sering mati? Apa karena bayaran sekolahnya yang sudah telat dua bulan?“Hari ini ayah nggak bisa. Ada demo di pabrik. Bilang sama kepala sekolah, ayah datang besok pagi. Gimana?”“Janji ya Yah?”“Jo!” ujar Mas Pram.Lamunannya terbang ditiup angin.Tangannya terkepal kuat.“Iya, Mas. Ini buat kita-kita juga kan. Buat anak saya. Buat anak-anak Mas Pram juga,” jawabnya gemetar seakan mempertanyakan keyakinannya sendiri.Anak perempuanlah yang bisa melembutkan hati seorang bapak.Tejo menaiki undakan untuk berorasi. Megaphone di tangannya kini mengacung di udara. Kata-katanya meluncur menyirami semangat kawan-kawan seperjuangan. Spanduk dan karton teracung tinggi, tak peduli matahari memanggang ubun-ubun mereka. Dari posisi yang lebih tinggi, Tejo mendongak menjawab bisikan istrinya ke arah langit. Dinda, mungkin seorang bapak harus keras hatinya demi masa depan putrinya. Gerombolan buruh berubah menjadi ombak panas yang menghantam kokohnya gerbang pabrik. Semuanya mulai tak terkendali. Di kejauhan sirine truk polisi memuntahkan belasan petugas. Ketika seragam cokelat susu buruh berbaur dengan seragam coklat polisi, Tejo tak sanggup lagi membedakan wajah dan suara. Semuanya berteriak. Benda-benda beterbangan. Spanduk dan karton melayang. Ada batu terpental membentur perisai polisi. Entah siapa yang melempar. Tejo menjatuhkan megaphone-nya dan berusaha memisahkan pergulatan di depannya. Kerah bajunya ditarik. Tak lama, ia didorong kuat dari belakang sampai terjerembab dan dagunya terparut aspal. Sebuah laras hitam tak henti menumbuknya. Lengan kiri. Punggung atas. Pinggang. Betis. Lalu lengannya lagi. Warna hitam pentungan itu tiba-tiba ikut melunturi warna-warna di sekelilingnya. Hanya suara “Janji ya Yah?” terngiang di telinga. Suara itu memudar seiring ditelan pandangan hitam pekat.***Berlian bangkit dari tempat tidurnya. Ia tak bisa tidur semalaman. Ranjang Ayah masih rapi tanpa ada kerut bekas ditiduri. Sepatu kerja ayah yang biasa ditaruh di balik pintu juga tidak ada. Ayah belum pulang.Hari ini ayah janji akan ke sekolah bersamanya. Sengaja ia tak bercerita bagaimana dirinya lolos ujian seleksi beasiswa sebuah bank swasta. Ia ingin membuat kejutan untuk ayah. Ia ingin melihat wajah bangga ayah karena tak perlu lagi membayar uang sekolah dan buku sampai lulus SD berkat beasiswa itu.  Berlian melongok ke arah gang kecil di depan kontrakan. Ia ingin sekali meminta ayahnya untuk tidak berdemo di pabrik. Tapi wajah ayah begitu keras, sekeras niatnya. Mana berani ia membujuk ayah. Melunakkan hati ayah yang keras? Mana mungkin ia bisa. Ditemani ujung rok merahnya yang mulai pudar, Berlian hanya bisa duduk di pintu menunggu ayahnya pulang sambil ditemani suara detik jam yang terasa makin lambat. *** Tangerang, 17 April 2008Pemenang 1 Lomba Cerpen Ummi. Muat edisi November 2012
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 09, 2012 02:17

September 12, 2012

2 Cerpenku di #CeritaSahabat2


Cerita Sahabat 2 adalah rangkaian kedua dari proyek menulis yang digawangi oleh Mbak Alberthiene Endah. Setelah KumCer Cerita Sahabat 1 terbit di tahun 2011 dan menuai kesuksesan luar biasa, di tahun 2012 dilanjutkanlah proyek #CeritaSahabat2. Kali ini tema yang diusung adalah Cinta dan Kesetiaan.

#Wordisme adalah awal perkenalan "fisik" pertama saya dengan Mbak AE, begitu beliau biasa disebut. #Wordisme adalah acara jumpa penulis di mana para penulis senior terlibat dalam berbagai sesi berbagi pengalaman. Nah, dalam acara itu saya berkenalan "fisik" dengan Mbak AE, Alex Thian, Jia Effendie, dan banyak penggiat dunia menulis yang cukup aktif di linimasa.

Singkat kata, Mbak AE menghubungi saya, lagi-lagi via twitter untuk bergabung dalam project ini. Kalo ditanya bagaimana perasaan saya waktu itu, tentu senang girang bukan kepalang dong! Dengan berbekal satu cerpen yang masih tersimpan manis dalam folder laptop - Lelaki yang Dicintai Istriku - dan satu cerpen baru yang sengaja ditulis untuk meramaikan antologi ini - Meja Rias Mama, maka awal Juli lalu terbitlah Kumpulan Cerpen #CeritaSahabat2 - Asmara Dini Hari by Alberthiene Endah and friends. Selain saya, ada banyak penulis lama dan baru yang terlibat di buku ini. Jadi nggak diragukan lagi, buku ini kaya warna, tapi napas romantisnya tetap terjaga.

Berikut kutipan cerpen Lelaki yang Dicintai Istriku di Kumpulan Cerpen ini.
Tamu istimewa. Dialah alasan kenapa aku enggan pulang. Entah sudah berapa lama aku dan dia tenggelam dalam persaingan ini. Aku tidak ingat pastinya. Mungkin kami sudah bersaing sejak aku bertemu dengan Ema, gadis yang telah menjadi semestaku seumur hidup.Siapa pun yang mengenal Ema pasti akan jatuh cinta. Pernahkah kau merasa, saat kau  seorang melihat wanita, duniamu terasa berhenti. Seakan udara berjejalan memasuki rongga hidung, seakan kau hampir mati kehabisan napas. Dia tersenyum dan sekejap kau merasa ada di surga. Bukankah memang di sana bidadari tinggal? Dan dari surga, kau langsung terjatuh, jatuh limbung tanpa peduli di mana kau akan mendarat atau sesakit apa kau nanti jadinya.Ema seperti bunga kapas yang mengayun ringan tertiup angin, begitu rapuh dan lembut. Ia juga serupa embun yang bergulir dari daun yang tak lagi kuat menahan beratnya, lalu jatuh ke bumi. Memberikan wangi segar di tengah tanah yang basah oleh hujan semalam.Hanya saja, masalahnya kepada siapa Ema menitipkan hatinya.

Berikut kutipan cerpen kedua yang dimuat di Kumcer ini, judulnya Meja Rias Mama
Sebuah meja rias. Meja rias kayu jati tua dan antik. Ada masing-masing tiga laci sorong di sebelah kanan dan kiri. Cermin besarnya dibingkai kayu jati. Di sekelilingnya bertatahkan bohlam-bohlam putih. Aroma tua dan lapuk makin terasa menyengat, tapi lelaki tua itu tak peduli. Meja itu bersih tanpa ada benda apa pun diletakkan di atasnya. Setiap hari lelaki tua itu mengelapnya sendiri. Dengan kain lap lembut dan cairan pengilap khusus mebel antik, ia menyeka setiap celah yang tersembul atau tersembunyi. Seakan ia mencurahkan semua perasaan cinta yang ada di hatinya pada meja rias itu. Bukankah itu mengerikan? Perasaan cinta seharusnya dicurahkan pada seseorang, bukan benda. Entahlah, sejak kepergian istrinya, rasanya lebih mudah merawat dan menyayangi benda-benda. Setidaknya benda-benda, termasuk meja rias ini, tetap ada di sini menemaninya selama lebih dari dua puluh tahun. Sedangkan manusia, bisa datang dan pergi. Saat pergi, mereka akan meninggalkan lubang di hati yang butuh entah berapa tahun cahaya untuk bisa menggenapinya kembali seperti semula.Termasuk putri tunggalnya. Takdir manusia memang menikah dan mendirikan kerajaannya sendiri. Putrinya sudah membeli istananya sendiri,  dan siap mengarungi hidup bersama suaminya. Tanpa dirinya. Tanpa sang ayah yang diam-diam mencintainya, tapi tak sanggup menjabarkannya dalam kata.
Penasaran sama kelanjutan ceritanya? Yuk beli bukunya dan nikmati indahnya kisah-kisah cinta yang sebenarnya sederhana, tapi kebutuhan akan kesetiaan memperumitnya. Saya menunggu komen dan ulasannya ya? ;)
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 12, 2012 18:34

MERINDU HUJAN


Dewinta melirik jam tangan. Ia datang lebih awal empat puluh menit. Kalau pun Martin tepat waktu, ia harus tetap menunggu. Memang ia sengaja datang lebih awal. Dewinta harus mengatur napasnya, mempersiapkan hatinya, menjernihkan akalnya. Semua untuk kemungkinan terburuk. Di luar sedang hujan, tidak deras, tidak pula ringan. Tergopoh-gopoh ia keluar dari taksi menuju beranda kafe. Apa yang dihindarinya? Hujan? Atau kerumunan bocah-bocah yang menghampirinya sambil berkata, “Payung, kak?” Kenangan itu terlalu menyakitkan.“Selamat siang, mbak. Mau pesan apa? Hari ini kita ada spesial menu,…”Dewinta melirik sekilas dan membiarkan pramusaji itu terus berbicara. Ia kembali melihat anak-anak penjaja jasa payung yang berkerumun di pinggir jalan di dekat kafe. Payung-payung terkembang. Merah. Biru. Kembang-kembang. Hitam. Semuanya terekam dalam gerak lambat. Titik-titik air yang terpantul di permukaan payung. Perciknya membias warna-warni. Tangan-tangan kecil yang gemetaran menahan dingin dan beratnya payung yang digelantungi air. Bibir mereka membeku kebiruan tapi masih sanggup menawarkan jasa. Semuanya menggumpal memadat menjadi kenangan.“Hot latte,” ujar Dewinta pendek. Pelayan itu pun pergi, setengah merasa terusir.Baru lima menit, tapi sudah ada kenangan yang mencacah. Hujan itu kenangan. Kenangan yang bertahan di zaman yang berputar sampai habis kefanaan.Di luar hujan terus menitik. Dewinta mulai berusaha menahan air matanya jatuh.  Sekali lagi ia melirik jam tangan. Masih punya waktu tiga puluh limamenit untuk mengatur perasaannya yang mulai berantakan. Sebelum Martin datang. Sebelum semuanya hilang.***Apa yang ia lakukan di sini? Duduk sendiri. Yang bisa ia dengar hanya deru AC mobil dan detak jantungnya sendiri. Ia meringkuk seperti pengecut yang mundur bahkan sebelum berperang menghunus pedang. Apa yang ia takuti? Bukankah selama ini ia pun tak takut mati?Matanya menatap lekat menembus kaca mobil. Ada wanita itu di sana, duduk di meja di batas dinding kaca. Ia terlihat cantik. Rambutnya terurai jatuh menutupi bahu. Sedikit lebih kurus, tapi tetap menawan. Tetap menjadi kesayangannya. Mata wanita itu menatap jauh, tapi Martin tahu apa yang sedang wanita itu lihat. Anak kecil pengojek payung. Rintik hujan artinya harapan berupa lembaran ribu untuk ibu. Martin tertawa kecil. Pasti Dewinta teringat anak kecil berlari riang di tengah hujan sambil menggenggam payung mengembang. Mengenang masa kecilnyakah? Martin harusnya turun dan menghampiri Dewinta. Karena mereka harus bertemu. Karena memang sudah merindu. Tapi hujan datang seperti ada pertanda, berupa asa, duka, air mata, dan luka bercampur jadi satu. Martin malah bergeming di dalam mobil sambil menatap bidadarinya itu.Hujan juga pertanda. Adarindu yang terlalu kuat di antara mereka. Membumbung tinggi lalu terkondensasi. Tak kuat lagi menahan serta terdesak perih, lalu semburat di angkasa. Dan tiada yang tahu ada konsentrat pekat aroma rindu di tiap tetes hujannya.Dewinta gelisah menanti hujan reda, sekaligus menunggu Martin datang. Tapi pria itu, masih duduk di mobil, tanpa sanggup bergerak, bahkan bola matanya sekali pun. Semua tertuju untuk Dewinta. ***Hujan menderas di tiap detiknya. Anak perempuan kecil itu mendongak karena penasaran. Ada lubang besarkah di langit sana, sampai hujan tak lelah-lelahnya berjatuhan. Saat kepalanya menengadah, mata membelalak, tetes-tetes hujan terasa tajam menusuk mata. Ah, kapan hujan berhenti. Ia benci hujan. Gara-gara hujan, ia tak bisa pulang. Sebentar lagi kartun kesayangannya diputar dan ia masih terjebak di beranda ruko tempatnya belajar balet.Tiba-tiba titik air tak lagi mengetuk-ketuk kepalanya. Ia menoleh. Ada payung besar hitam tepat di atas dua kuncir kudanya. Ia menoleh lagi, ada bocah laki-laki memegangi payung itu. Senyumnya lebar sekali sampai deretan giginya tampak. Ada dua gigi atas yang tanggal. Anak perempuan itu hampir tertawa. Lucu. Giginya hilang dua. Di depan pula.“Mana payungmu?”“Aku tidak bawa payung,”“Pakai saja punyaku.”“Aku tidak punya uang,” “Yang bayar payungku cuma orang besar saja.”“Kata mami aku juga sudah besar.”“Kamu masih kecil. Buktinya kalah tinggi sama aku. Kuantar pulang ya?” Ia kembali tersenyum.“Nggak usah. Bentar lagi dijemput bibik.”“Ikut aku aja. Main hujan-hujanan. Kamu pasti bosan, kan?”“Iya sih, tapi kata mama kalau aku kehujanan, aku nanti sakit.”“Aku setiap hari main hujan malah kuat. Yuk,” anak lelaki itu mengulurkan tangan. “Si bibik gimana?”“Nanti kita kembali lagi sebelum bibik kamu datang.”Senyum tak bergigi itulah yang berdaya pikat. Tulus. Jujur. Pun jenaka. Dan untuk pertama kalinya mereka bergenggaman tangan.***Genap semenit Dewinta mengaduk isi cangkirnya. Matanya tertuju di pusaran kecoklatan di dalamnya. Seakan dari sanaia bisa menziarahi kenangan yang rapi tersimpan di hati. Dulu sekali ia bertemu Martin di tengah hujan seperti ini. Ia punya senyum tak bergigi yang manis dan tulus. Tangannya mungil tapi kokoh. Satu memegang payung besar, yang satu lagi menggenggam tangannya. Mereka berlari di tengah hujan. Ah salah, tepatnya menari seirama rintik hujan.Dewinta dulu membenci hujan. Basah. Dingin. Sepi. Tapi sejak bertemu dengan Martin, hujan menjadi ramai, tawa, dan indah. “Kamu nggak pernah sakit gara-gara kehujanan? Nggak dimarahin mamamu?”“Nggak. Kan aku pulang bawa uang buat beli buku sama bayar sekolah.”“Kalau gitu, hari ini aku bantu kamu cari uang?”“Eh, nanti kamu sakit kalau hujan-hujanan.”“Kanada kamu yang payungin aku,”Martin kecil pun menggenggam tangan Dewinta yang jauh lebih mungil. Kecipak-kecipuk kaki mereka bertalu di atas genangan lumpur. Dewinta tak peduli kalau pulang nanti mamanya murka setengah mati. Ia juga tak peduli kalau nanti demam membelenggunya di ranjang sambil terbatuk-batuk. Martin, si anak senyum tulus tanpa dua gigi depan, telah membuatnya bahagia.Dulu mereka sering bersama-sama menawarkan jasa payung. Tiap lembar atau koin yang basah, terjejal lusuh di saku Martin. Dewinta selalu menunggu saat menghitung hasil yang mereka terima di penghujung hari. Itulah saat di mana senyum Martin menjadi penutup dongeng hariannya.Tersenyum kecil saat rupiah tak seberapa, tersenyum lebar saat hasilnya luar biasa.“Payung, kak!” tanpa sengaja Dewinta menggumamkan kata-kata itu. Sejak itu, Dewinta mulai jatuh cinta pada hujan. Ia merindu hujan. Juga pada pria yang telah membuatnya merindu hujan.***“Aku paling suka hujan.” ujar Martin tiba-tiba. Tangannya dingin seperti es. Matanya menatap lekat ke hujan yang berurai. Dewinta menatap ujung rok abu-abunya yang lembab oleh cipratan air. Mereka berdiri bersisian di halte yang penuh grafiti usang. Tak ada yang berteduh lagi selain mereka.“Masih ingat pertama kali kita ketemu?”“Masih. Gigimu bolong dua di depan kan waktu itu?”Martin tertawa kecil. Tapi tangannya masih tetap dingin. “Masih ingat rupanya.”“Menurutmu kalau hari itu tidak hujan, apa kita akan bertemu?” tanya Dewinta menunduk lagi. Ujung-ujung sepatunya sedikit berlumpur. “Kalau hari itu tidak hujan, pasti kita akan bertemu di hari hujan lainnya.”“Makanya aku selalu menunggu hujan. Malah kalau perlu selalu turun hujan, tak perlu berhenti.” “Tapi sebesar apa pun hujannya, pasti nanti juga berhenti.”“Kalau hujan berhenti, kita tidak akan bertemu lagi?”“Menurutmu, di Houston nanti ada hujan?”“Tentu saja nanti akan ada hujan, sekecil apapun. Tapi aku tak bisa datang kalau di Houston hujan. Dan kau pun tak bisa datang ketika di Jakartahujan.”“Menurutmu apa aku harus pergi?”“Harus. Beasiswa, Tin, ke Houston, kamu sudah berjuang seumur hidupmu untuk ini.”“Lalu kita?”“Sampai kapan pun hujan akan tetap ada. Kita hanya perlu menunggunya turun. Nanti kalau di Houston kau lihat ada hujan turun, anggap saja aku ada di sampingmu.”“Ya. Kamu juga. Anggap saja aku menemanimu saat hujan turun di Jakarta.”Martin menggenggam jemari Dewinta yang gemetar. Entah karena hujan atau karena gugupnya perasaan. Tapi ia tak peduli. Toh Dewinta takkan mendengar riuh gemuruh dentuman di hatinya.***Di hari yang lain dengan rinai hujan yang sama, kenangan kembali mencipta bentuknya. Saat Dewinta memperkenalkannya pada pria itu, Martin seperti paham. Tahu apa di balik uluran tangan itu. Tahu ada kisah apa yang membentang selanjutnya.“Surya,”“Martin,”Dewinta tertunduk tak sanggup menatap keduanya. Martin hanya berdiri di depannya berusaha tersenyum, walau Dewinta tahu betul apa yang ada di pikirannya.Perlahan ia mengangkat kepala. Mata sayu Martin menghujam tepat bagai lubang hitam besar yang menghisap seluruh kekuatannya. Mereka saling bertatapan dan dalam diam mereka berbicara.Jadi ini lelaki itu?IyaIni lelaki yang menurut papa mamamu terbaik?Iya.Menurutmu, apa ia yang terbaik untukmu?Tidak.Lalu kenapa kau tak bicara pada orang tuamu?Aku tidak bisa. Apa aku perlu bicara pada orangtuamu?Jangan. Lagipula tidak akan mengubah apa-apa.Tapi bukankah cinta harus diperjuangkan?“Hei,” Surya tersenyum menatap mereka berdua. Membuyarkan semua percakapan hening yang mereka lakukan. “Kenapa kalian diam saja? Kudengar kau sahabat Dewinta sejak kecil.”“Dewinta bilang begitu?”“Kalau begitu, pasti kau bisa datang ke pernikahan kami dua bulan lagi?”Hanya ada petir yang menggelegar menjawab pertanyaan Surya. Seperti itulah jawaban yang ada di hati Martin. Rasanya ia ingin berlari mengejar petir yang telah merobek wajah langit. Berlari sejauh mungkin. Seperti ada yang akan menderas keluar dari pedih yang baru ia rasakan. Biar air matanya menyatu dengan hujan, agar tak ada yang tahu. Biar ia dirajam hujan agar sakit yang mencacah-cacah hatinya tidak terasa. Tapi Martin tetap berdiri di sana. Berusaha tersenyum. Berusaha kuat.“Tentu, jika Dewinta mengundang,”Dan di luar sana, hujan mulai mereda. Kelabunya telah dibawa oleh kekarnya suara petir. Tapi tidak hati keduanya. Kelabunya perlahan mulai menjadi pekat.***Maaf Win, aku minta maaf. Aku tahu hari ini kita harus ketemu. Tapi aku ngga sanggup ketemu kalau hanya untuk menerima undangan pernikahan kamu.Sebuah pesan pendek masuk. Hati Dewinta seperti dirobek-robek kecil dan serpihannya membentuk mosaik wajah Martin. Dengan gemetar ia menekan tombol di ponselnya. Satu kali nada sambung. Dua kali. Limakali. Ayo angkat, Martin!“Hallo.”“Halo? Martin? Kamu di mana?”“Kamu sudah baca pesanku kan?”“Tapi kamu kanjanji tiap hujan kamu akan datang menemui aku.”“Dua puluh tahun lalu, kita pertama ketemu. Itu kenangan yang indah. Sepuluh tahun lalu, aku pergi karena beasiswa di Houston, memang sakit tetapi tetap indah. Tapi sekarang Win? Kita ketemu buat berpisah selamanya. Itu sama sekali bukan kenangan yang mau aku simpan selamanya.”“Tapi…”“Kita lebih baik ngga ketemu. Akan lebih mudah,…”“Tapi hujan akan terus ada.”“Tapi sebesar apapun hujan itu turun, pasti akan reda dan digantikan matahari.”“Aku nggak mau matahari, aku mau hujan. Aku mau kamu.”“Menurutmu aku tidak?” Tenggorokannya tercekat. “Sebentar lagi hujannya reda. Maafkan aku,”Tut tut tut. Martin melemparkan ponselnya ke jok kursi di samping. Kesal. Benci. Rindu. Semuanya menggumpal begitu besar sampai rasanya susah bernapas. Dari mobil, ia melihat Dewinta membenamkan wajah ke dalam telapak tangan. Pasti itu tangisan yang menyakitkan. Rasanya ingin lari ke sanadan menyeka air mata itu dengan senyuman. Menepuk lembut kepala Dewinta dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Bahwa ia akan masih tetap di sana. Tapi jika begitu, selamanya kenangan hujan di antara mereka takkan mereda.“Siaaal!” genggaman tangan Martin menghantam kemudi beberapa kali. “Maafkan aku, Win.”Terdengar deru mobil keluar dari parkiran kafe. Ia sekuat tenaga tidak melihat ke arah Dewinta. Tepat saat gadis itu memandang ke luar, mobil Martin sudah menghilang ditelan jalanan ibukota.***Dewinta menatap ke luar jendela. Hujan sedikit mereda tapi gerimisnya masih berirama satu-satu turun ke bumi. Maskaranya mulai luntur oleh bulir air matanya. Seperti tanpa dikomando, badannya bergerak melayang ringan. Lunglai dan hampa, ia berjalan keluar dari kafe menembus rintik hujan.“Payung, kak?”“Kakak, pakai payung aku aja.”“Kak, aku aja. Tiga ribu aja.”Dewinta berhenti melangkah. Anak-anak basah kuyup dengan kepak payung bersesakan mengelilinginya. Merah, biru, kembang-kembang, hitam, semuanya berebut menaunginya. Ia menatap pasang-pasang mata bening yang menyunggingkan senyum. Dicarinya senyum dengan dua gigi depan yang hilang. Lalu semua mengabur dan wajah-wajah menghilang, digantikan oleh wajah Martin kecil di mana-mana. Di anak berpayung merah. Biru. Kembang-kembang, juga hitam.Hujan tiba-tiba kembali deras. Hujan datang. Maka sebentar lagi Martin akan menghampirinya dengan senyum dan payung besarnya. Ia hanya perlu menunggunya. “Aku mau payung Martin,” bisik Dewinta di antara rintik yang makin pekat.Anak-anak itu bertatapan. Setengah tak mengerti, setengah tak mendengar. Dewinta terus melangkah. Dingin. Badannya menggigil. Air mata pecah satu-satu berbaur dengan titik-titik hujan. Ia merindu hujan. Ia merindu pria yang mengenalkannya pada hujan.Ia merindu pria yang tak lagi menemaninya menari di tengah hujan.***Meja Kantor, Tangerang, 8-16 Februari 2011Dimuat di Majalah Femina no.29/2012 tgl. 21-27Juli 2012
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 12, 2012 18:18

July 23, 2012

AKAD NIKAH


Akhirnya aku tiba di rumah itu. Dekor gerbangnya sudah rapi tertata. Sepasang pohon pisang dengan tandan-tandan masak menguarkan aroma manis; berpadu dengan tebu wulung dan cengkir gading. Mataku menjelajah helai-helai dedaunan yang terjalin – daun beringin, daun mojo-koro, daun alang-alang, dadap serep. Segala simbol pernikahan Jawa yang sarat nilai dan doa. Pernikahan adalah ibadah. Aku tersenyum memikirkannya.Seorang ibu tergopoh-gopoh menyambutku. Dari paduan gurat cantik dan raut lelah di wajahnya, kutebak ia ibu mempelai perempuan. “Kamu Angel, ya? Syukur syukur, kukira batal akad hari ini,” sambutnya dengan jari-jari gemuk menggamit lenganku. “Ajeng kokbisa kena cacar di hari seistimewa ini. Untung ada kamu.”Aku mengangguk. Tanganku mengepal erat. Terlambat untuk pergi dari sini. Ibu itu memandangi wajahku tanpa kedip. Aku melirik bayanganku yang terpantul di bola matanya. Mataku yang sipit, kulitku yang putih pucat dengan rambut lurus hitam menjuntai. Pasti ada sejuta pertanyaan di kepalanya. Keturunan Cina mampu merias pengantin Jawa? Ah, dia bukan orang pertama yang menatapku seperti itu.“Ajeng bilang kamu muridnya yang paling berbakat. Juara lomba ini, itu, aku lho nggak peduli. Yang penting ada yang ndandani anakku sebaik dandanannya Ajeng.”Lagi-lagi aku mengangguk lengkap dengan seulas senyum simpul. Ia mengantarkanku ke kamar pengantin. Kakiku langsung membeku. Pintu kayu kamar itu terbuat dari jati, kokoh dan cokelat. Sekilas terkesan angkuh, tapi diperlembut oleh hiasan salur-salur melati dan bebungaan lainnya. Memabukkan. Seperti mabuk asmara.Wanita itu menyambutku. Tari namanya. Kalau kubaca dari undangannya, nama lengkapnya Betari Puspita Maharani, entah apa artinya. Aku kurang pintar bahasa Sansekerta. Konon Betari artinya bidadari di surga. Sedangkan namaku, Angel, kependekan dari Angelina, yang orang bilang artinya malaikat. Sama-sama makhluk cantik penghuni kahyangan. Tapi toh ini sekedar nama. Hanya kebetulan semata.Binar mata Tari langsung menyerangku dengan perasaan aneh, bertubi-tubi, tanpa henti. Aku mengeluarkan peralatan rias. Pandanganku terantuk pada kebaya pengantin broken white bertabur payet dengan potongan leher tinggi. Sial, air mataku tidak boleh jatuh. Maskaraku bisa luntur. Keprofesionalanku bisa dipertanyakan. Aku ini perias pengantin. Aku mencari uang dengan merias. Pernikahan tidak seharusnya membuatku sentimentil seperti ini.“Cicik Angel, kan?” ujar Tari mengulurkan tangan. “Aku Tari. Mau sekarang diriasnya?”Aku mengangguk. Tari pun duduk di depan meja rias. Mata kami saling beradu di pantulan cermin. Wajah bulat telurnya berpadu sempurna dengan lentik tebal bulu mata. Bibirnya melengkung tersenyum saat menatapku. Aku tak perlu meriasnya. Dia sudah cantik. “Cik, kantung mataku tebal ya? Tadi cuma tidur tiga jam,” ia membuka percakapan.“Pasti. Kalau midodareni kamu baru boleh tidur setelah tengah malam. Konon katanya akan ada ruh bidadari turun dari kahyangan untuk mendampingimu sepanjang malam. Kalau kau tidur, ia akan marah dan mengutukmu.”“Haha, itu dongeng, Cik. Bidadarinya ya aku ini. Namaku Betari, artinya bidadari,” sahutnya, “eh, aku boleh panggil Cicik kan?”“Panggil nama juga boleh. Aku baru dua tujuh.”“Oh ya? Suamiku, eh maksudku, calon suamiku juga dua tujuh.”Aku berdehem tak peduli. Pada titik ini, menjelang empat jam sebelum akad, kata “calon” terdengar merendah. Apakah mempelai prianya masih bisa mundur?“Mas Mada yang usul untuk pakai mbak Ajeng, lho. Katanya Mas Mada kenal dekat sama mbak Ajeng. Juga sama Cik Angel.”Wanita yang banyak bicara. Aku juga suka berbincang. Tapi hari ini, pernikahan ini, aku hanya ingin cepat-cepat menyelesaikannya. Kutegakkan bahunya, lalu kuusap lengannya ke atas, melintasi bahu, merambat naik ke leher. Bulu kuduk Tari meremang. Ini semacam ritualku sebelum merias. Telapak tanganku mengusap leher dan mengangkat dagunya naik.“Siap?” tanyaku. Tari masih terpana oleh pijatan ringanku, tanpa berani mengangguk. Ia hanya mengedipkan mata beberapa kali.Perlahan aku membersihkan wajahnya dengan susu pembersih dan penyegar. Bukan sesuatu yang istimewa. Pun dengan alas bedaknya. Jemariku menepuk-nepuk tipis di kulitnya yang kenyal dan putih. Sempat terlintas di pikiranku apakah pipi itu pernah dikecup calon suaminya. Kalau iya, seperti apa rasanya? Melayang ke awang-awang atau tenggelam ke laut dalam? Berhenti berpikir melankolis, Angel.“Ini namanya paes penunggul. Bentuknya seperti pucuk daun sirih di tengah dahi. Lalu di kanan kirinya disebut penitis. Di antara penunggul dan penitis ada pengapit. Kalau kau perhatikan, semua ujung ketiganya mengarah tepat ke ujung hidungmu yang mbangir ini,” ujarku tak sanggup menahan diam. Ternyata keheningan membuatku gugup.“Cicik tahu banyak tentang rias Jawa.” Tari melirikku.Aku kembali bungkam. Tentu saja aku tahu rias Jawa. Aku perias pengantin Jawa, walau darahku Cina. Bertahun-tahun aku belajar kebudayaan Jawa, awalnya semata karena aku tak sanggup menjaga hati untuk jatuh cinta pada seorang pria Jawa.“Cik, kenal sama calon suamiku?” tanyanya melirik dari pantulan cermin rias.“Kenal. Kami teman SMA.”“Dulu dia waktu SMA seperti apa?”“Itu sudah lebih dari sepuluh tahun. Kalaupun kuberitahu, belum tentu masih sama.”“Mas Mada melamarku tiga bulan lalu. Padahal kami baru pacaran 6 bulan.”“Kamu tidak yakin padanya?”“Bukan. Aku seratus persen percaya padanya. Hanya saja,…”“Buang ragumu. Tiga jam lagi kamu akan jadi nyonya Mada.”“Cik Angel sudah menikah?” “Sudah. Dua tahun lalu.”“Sudah punya anak?”“Belum.” Kuharap dia tidak bertanya kenapa? Sengaja ditunda ya? Sudah ke dokter? Aku akan langsung menjejakkan kaki meninggalkan riasannya yang masih separuh ini.“Waktu itu, kenapa Cicik mau diajak menikah?”Aku menegakkan punggungku yang pegal membungkuk menata sanggul wanita ini. Aku mulai membenci pertanyaan-pertanyaannya yang sepertinya sengaja disiapkan untuk menyiksaku. Tapi dari sorot matanya, aku tahu ia sebenarnya tak tahu apa-apa.“Karena jodoh.”“Dari mana tahu itu jodoh?”“Dari mana kau tahu Mada itu jodohmu?”Ia terdiam. “Mas Mada melamarku. Menurutku dia baik. Taat. Pekerjaannya mapan. Sabar. Humoris. Pintar. Calon suami ideal, kan? Waktu dia melamarku, kupikir, kalau aku menolak, bodohnya aku menolak calon suami seideal itu. Manusia tidak ada yang sempurna, tapi kalau cicik jadi aku, cicik akan menolak lamarannya nggak?”Sisir sasak itu meluncur bebas dari genggaman tanganku. Entah kenapa kudengar suara berderak lalu denting berhamburan. Padahal tak ada yang pecah. Mungkinkah suara hatiku yang berserakan?“Hanya wanita bodoh yang menolak lamaran pria seperti Mada.” Dan ada perih menderas, mengucur, mengalir ke tiap lekuk rongga tubuhku. Jangan menangis, jangan, Angel.Setelah selesai semua, aku menuntunnya menuju meja akad. Mataku menyorot lurus menghindari sepasang mata yang teduh, yang menenangkan, yang mengunci semestaku sehingga berhenti berputar. Kau pun tersenyum. Kalau senyummu adalah lukisan, aku akan memberinya judul senyum diam bulan sabit. Senyummu tetap sama, bibir mengatup melengkung membentuk bulan sabit. Apa aku pernah memberitahumu, kalau aku suka kerut matamu saat tersenyum menatapku?Hanya saja, ada yang berbeda. Sorot dan senyum itu bukan untukku. Diam-diam aku mengikuti alur tatapanmu. Tentu saja untuk bidadari yang tengah kugamit, kutuntun ke sampingmu. Mata kita bertaut. Kau tersenyum. Senyum diam bulan sabit kesayanganku. Namun, apa artinya? Kau bahagia? Kau suka dengan riasan calon istrimu? Kau sudah memaafkanku? Apa? Katakan padaku.Aku benci pemandangan ini. Kau dan dia berdampingan. Kau dan dia mengenakan setelan pengantin yang serasi. Kau dan dia akan berbagi segalanya, selamanya. Tapi bukankah aku pernah meletakkanmu pada posisi yang sama? Aku dan suamiku, bersanding di altar. Katakan padaku, apa perih yang kurasakan detik ini serupa dengan pahit yang kaucecap dua tahun lalu?Aku berdiri di sudut ruangan mengamati kalian. Riasannya sempurna. Kebayanya menawan. Kukunya lentik berpulas merah jambu menyala, berpadu pas dengan bibir ranumnya. Sanggul bertahta ronce melati yang mengular jatuh menutupi bahu pun tanpa cela. Tapi aku masih tak puas. Mungkin karena semestinya aku yang ada di sana.Menikahlah denganku, Angel.Maaf, Mada.Kenapa? Kukira kau mencintaiku.Kecuali kau terlahir Cina atau aku terlahir Jawa.Dan menurutmu itu bisa menghapus cinta kita?Saat itu aku tak menjawabnya. Aku menatap tangan kita yang saling menggenggam. Kulit putihku terlihat kontras dengan gelap kulitnya. Bahkan tubuh kita sendiri pun seperti menjadi penjabar pertanyaanmu itu. Dua tahun lalu, akulah yang menelan bulat-bulat perasaan membuncah penuh cinta. Akulah yang pernah melukaimu begitu dalam. Akulah yang meruntuhkanmu.Aku memutar-mutar cincin kawin di jemariku. Cincin itu makin terasa besar, atau jarinya menyusut karena emosi tak henti menggerogotiku. Daguku terangkat naik. Aku tak mau air mataku tiba-tiba jatuh karena aku tak sengaja menundukkan kepala. Aku ingin kembali. Aku ingin memutar waktu, mengulang hari, menghapus pedih ini semua. Aku lelah memutar kenangan karena makin lama lukanya makin dalam. “Saya terima…”Maafkan aku. Aku menyesal.“Nikah dan kawinnya…”Aku ingin kembali. “Betari Puspita Maharani binti Sudaryanto Kusumo,”Dua tahun aku berkubang duka, maafkan aku. Bebaskan aku dari rasa ini, Mada,…“Dengan mas kawin tersebut, tunai.”“Sah?”“Sah.”“Alhamdulillah.”Maafkan aku, Mada. Berbahagialah tanpa aku.Pipiku basah. Rasanya air mata ini terus mengalir ke palung dalam. Setiap kali kumenarik napas, tusukan perih itu semakin menghujam. Aku memejamkan mata menikmati sakit itu, lalu saat kumembuka mata, kuberharap ini semua mimpi. “Terima kasih, Angel.” Alunan suara itu menarikku kembali. Mada dan senyum diam bulan sabit kesayanganku. Matanya membiusku. Senyumnya melumpuhkanku. “Terima kasih kamu sudah mau merias Tari untukku,” ujarnya. Aku hanya tersenyum.“Jangan menangis lagi, Angel, apa kau tidak bahagia untukku?”Aku memang tidak bahagia.“Lihat aku. Lihat dirimu. Kita sama-sama sudah menemukan bahagia kita sendiri.”Karena bahagiaku telah lama kutitipkan padamu.“Tersenyumlah untukku, Angel. Setidaknya sekali ini saja, supaya aku tahu kau baik-baik saja dan aku bisa tenang melanjutkan semuanya.”Ia mengulurkan tangan. Aku menatapnya ragu. Apa arti uluran tangan itu? Matanya masih menatap teduh seakan membujukku untuk menyambut genggamannya. Sekali lagi, mungkin terakhir kali, aku menggenggam tangannya. Pemandangan itu. Kulit putihku berpadu kontras dengan gelap kulitnya. Cina. Jawa. Ah, cinta bukankah seharusnya buta warna, tak sanggup membedakan rona?Jadi, jaga bahagiaku baik-baik, Mada, dengan cara menciptakan bahagiamu sendiri.Kalimat itu hanya sanggup tersemat di tenggorokan. Dengan tabir senyum menutupi perihku, aku hanya sanggup mengangguk. “Semoga kau bahagia, Mada.”  GM, 22 Januari – 2 Februari 2012Muat di Majalah CHIC no.111/2012
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 23, 2012 18:48

March 25, 2012

Holiday Writing Challenge - Rooftop Sunset

Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Seren yang dulu, sekretaris divisi ekspor-impor di perusahaan Jepang, yang tak membiarkan ujung bajunya kusut atau terlipat, yang selalu rapi tanpa cela dengan blush on dan pulas lipstick menghiasi wajah. Aku sekarang Miss Seren, seorang guru baru yang sederhana, dengan seragam kemeja putih dan rok biru gelap bermake-up tipis. Aku boleh berubah, tapi hatiku tetap sama. Mungkin tak peduli seberapa jauh aku melarikan diri, sejauh apa pun kuubah penampilanku, aku tetap Seren yang dulu.

Seren yang masih mencintai Andhit.

“Nah,” ujar Elang memecah keheningan yang kubuat, tepat saat pintu lift berdenting terbuka. “Selamat datang, Miss Seren, di atap SMA Pusaka satu, tempat terbaik untuk menikmati senja.”

Angin berhembus menerpa wajahku. Helai-helai tipis rambutku berkibaran dan dalam sekejap aku menghirup aroma sore yang khas. Aroma hangat matahari yang siap-siap kembali ke peraduannya. Aku memejamkan mata berusaha menangkap semua yang inderaku bisa tangkap. Desir angin menggemerisik dedaunan. Kepak sayap burung-burung yang kembali pulang. Mentari yang pelan-pelan bergeser di horison barat.

Aku membuka mata. Di sanalah dia. Elang berdiri membelakangi langit yang kini berubah oranye gradasi merah muda dan ungu. Senja tiga warna, senja yang langka. Sosok Elang kini tampak seperti siluet hitam dengan latar warna-warni.

“Di sini,… bagus banget.”
Senyum Elang merekah lebar. “Aku sudah bilang, kan?”
“Aku suka senja ini.”

Elang melangkah ke bagian pinggir atap yang dibuat bersusun lebih tinggi. Disandarkannya tas gitar itu di sana. Dia merentangkan tangan, menghirup udara sore sampai memenuhi dada, lalu berteriak, “I am the King of the world!”

Aku tersenyum dan menyusulnya ke sana. Entah kenapa langkahku terasa mantap menyusulnya. Lalu tepat di sampingnya, kubentuk corong di mulutku, lalu menjawabnya bahkan dengan suara yang jauh lebih lantang, “I am the Queen of universe!”

Kami berdua semburat tertawa terpingkal-pingkal. Elang mengacak rambutnya sendiri yang sudah berantakan dipermainkan angin. Lalu tangannya disandarkan di susuran, jari-jemari saling menggamit. Tatapannya lurus ke depan. Senyum seperti masih enggan meninggalkan wajahnya. Untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menatap wajahnya lebih erat, lebih dekat. Rahangnya yang ramping dan tegas, dihiasi bulu-bulu halus sampai ke cambang di sisi telinga. Bibirnya tebal dan sempurna melengkungkan senyum. Bibir itu, kapan terakhir memagut dan mencium? Apakah hangatnya sanggup menelusup, menderas bersama aliran darah? Apakah,…

“Kamu mikirin apa?” tanya Elang tiba-tiba.
Aku tergagap. Ditatapnya wajah Elang yang berkernyit. Menggemaskan, seperti anak kecil yang penuh ingin tahu. “Ehm, aku penasaran,…”
“Penasaran apa?”
Penasaran seperti apakah rasanya mencium bibirmu. “Kenapa kau bawa gitar ke atas sini?” ujarku bohong.

“Karena aku ingin melihat kamu ketawa.”
“Hah?” aku harus berhenti dengan segala Hah? ini. Sumpah, wajahku pasti kelihatan konyol dengan ungkapan melongo seperti itu.
“Sejak pertama kali kau masuk ke sekolah ini, aku belum pernah melihatmu tersenyum.”
“Masa?”
“Kalau sekadar senyum biasa sih, sering. Senyum menipu gitu. Senyum basa-basi, for the sake of courtesy. Tapi senyum lepas, belum pernah. Dan itu sangat menggangguku.”

“Kenapa mengganggumu? Itu kan cuma senyum,”
“Lalu,” Elang tak menghiraukan tanggapanku. “Lalu aku lihat di bio twittermu, kamu pecinta senja, aku ajak kamu ke sini. Melihat senja. Mendengarku bernyanyi.”
“Kamu nyanyi? Terus bisa bikin aku senyum, gitu?” aku tergelak sendiri membayangkannya.
“Tuh, kan? Belum nyanyi aja kamu sudah ketawa.”

“Oke, oke, monggo, silakan. Kita lihat sehebat apa kamu,” ujarku tersenyum. Rasanya mulai nyaman. Sepertinya aku akan baik-baik saja di atas sini.
“Oke, Miss Seren. Karena namamu Serenade Senja, dan pementasanku ini ada di tengah senja, maka untuk menggenapi, aku akan memainkan lagu dari Secondhand Serenade.”
“Secondhand Serenade? Aku belum pernah dengar lagu-lagu mereka.”
“Nah, kalau begitu kamu dengar pertama kali dariku. Judulnya Goodbye. Ini lagu favoritku.”

Elang mulai membongkar gitarnya. Lalu dengan bersandar di susuran tepi atap gedung, dia mulai mengambil nada. Denting-denting beningnya mulai terdengar di sunyi senja sore itu. Nada-nada intro pembuka melantun. Tatapan Elang kembali serius dengan sorot tajamnya. Jemarinya lincah bermain, melompat-lompat lihai di kunci-kuncinya. Aku bisa merasakan wajahku hangat ditimpa sorot senja, sekaligus karena tersipu malu.

Dengan ditemani senja sebagai pengiringnya, dia mulai bernyanyi.

It’s a shame that it had to be this way,
It’s not enough to say I’m sorry

Pikiranku langsung melayang ke malam itu. Malam di mana semestinya malam terindah antara aku dan Andhit. Di malam hari jadi kami yang ke sepuluh tahun. Diterangi redup temaram cahaya lilin. Dengan aroma udang bakar saus barbecue yang berebutan di udara bersama wangi kembang sedap malam yang lembut. Gaun terusan brokat hitam yang melambai dan parfum yang menggoda. Aku dan Andhit. Tapi semua dibuka dengan kata-katanya, “Maafkan aku, Seren. Maaf.”

All I had to say is good bye, were better off this way

Tanpa terasa air mataku mulai menggenang. Sedikit lagi, pertahananku akan runtuh, dan sekali lagi aku akan menangis demi dia yang kucintai.

I’m alive but I’m losing all my drive.
‘Cause everything we’ve been through, and everything about you
Seemed to be a lie

Jadi, selama ini kita apa, Andhit? Kau cinta pertamaku. Aku mencintaimu sejak umurku lima belas tahun. Sepuluh tahun, selama itu kita bersama, dan kau bilang kau tidak lagi mencintaiku? Lalu selama ini, apa yang kita lakukan? Apa aku tidak sedikit pun layak untuk diperjuangkan? Layak dipertahankan?

“Berhenti, Lang,” ujarku lirih. Tapi sepertinya dia masih menikmati permainannya.
“Aku bilang berhenti,”
Dia seakan tak mendengarnya.

Take my hand away, spell it out
Tell me I was wrong

Kenapa kau tidak mencintaiku lagi, Andhit? Katakan di mana salahku, akan kuperbaiki. Katakan kau salah, kau masih mencintaimu. Katakan, kau ingin kembali padaku, Andhit.

“BERHENTI!” Aku berteriak. Bahkan aku terkejut dengan suaraku sendiri. Elang sontak menghentikan genjrengannya. Dia menatapku tanpa kedip. Aku merasakan ada yang hangat mengalir di pipiku. Semua perih dan nyeri itu kembali merajamku tanpa henti.

“Berhenti! Jangan bernyanyi lagi. Aku benci lagu itu. Berhenti!”
“Seren,”
“Aku nyesel ke sini. Buang-buang waktu,”
“Kamu kenapa?” tanya Elang kebingungan.

Ada sejuta pertanyaan dan kata-kata yang ingin aku ungkapkan, tapi semua untuk Andhit. Di hadapannya hanya ada Elang, yang semata mengajakku kemari agar aku tersenyum. Senja makin bergulir, langit menggelap. Seperti hatiku yang ditelan mentah-mentah oleh gelap yang tak berujung.

“Maafkan aku Elang, maaf. Aku harus pulang sekarang.” Aku langsung berlari menuju lift tanpa berkata apa-apa lagi. Elang hanya terpaku menatapku yang membelakanginya. Bahkan sampai pintu lift menutup, menelan tubuhku, aku tak menatap wajahnya lagi. Aku sibuk menyembunyikan wajahku yang basah oleh air mata. Tanpa ada seorang pun yang melihat, sendiri di dalam lift, lututku lemas. Aku jatuh terduduk. Air mataku tak berhenti mengalir.
Andhit. Andhit. Aku tak bisa melupakannya. Bahkan sampai detik ini, sakitnya masih ada. Kenapa aku harus mengingat Andhit, saat bersama Elang? Kenapa? Kesunyian menelan bulat-bulat suara tangisku.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 25, 2012 16:48

February 12, 2012

@jejakubikel dan "AKAD NIKAH"

Bulan Februari ini aku sibuk banget. Selain tugas-tugas yang harus diselesaikan sebagai seorang guru di sebuah sekolah, ada beberapa proyek menulis yang kuikuti. Suka tidak suka, aku harus memaksa diriku keluar dari belenggu mood dalam menulis. Itu sebabnya aku mulai "memaksa" diri untuk menulis. Untungnya ada mas Daniel dan program jejakubikel yang mendorongku untuk terus menulis.

Pada bulan Februari ini, mereka mengadakan tema #Troublove yaitu menulis cerpen selama satu bulan penuh dengan tema-tema yang silih berganti setiap tiga hari sekali. Pada tiga hari pertama, tema yang diusung adalah "Beda Etnis". Maka aku pun menulis cerpen "Akad Nikah" sebagai perwujudan tema itu. Kalau ingin baca, silakan baca di sini. Jangan lupa tinggalkan komen di sana. Masukan seperti apa pun akan kutunggu.

Thank you, guys. Looking forward for your comments!
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 12, 2012 03:44

February 10, 2012

10 Tahun Perjalanan Cerpen "Cantik"

Sekitar lebih dari sembilan tahun lalu, tepatnya tanggal 16 Oktober 2002, aku menyelesaikan sebuah cerpen berjudul "Cantik". Waktu itu aku baru berumur 17 tahun, dengan gaya penulisan masih sangat mentah. Sebenarnya tema cerpen ini sederhana tentang percintaan remaja dengan bumbu rendahnya rasa kepercayaan diri.

Akhirnya aku kirimkan cerpen itu ke sebuah majalah remaja tahun 2002, tapi ditolak. Kemudian tahun 2004, aku mencoba peruntungan lagi dengan mengirimkannya ke majalah remaja lainnya, tapi sama-sama ditolak. Dan akhirnya tahun 2005, tepatnya 13 Agustus, kuirimkan ke Majalah Aneka Yess!

Tunggu menunggu, tak ada kabar. Pikiran pertama yang terlintas di kepalaku adalah "Ah, cerpen ini pasti ditolak lagi." Oleh karena itu, akhirnya aku menyerah dan berhenti mengirimkan cerpen "Cantik" itu ke majalah lainnya.

Suatu hari di bulan Februari 2012, aku sedang bengong dan iseng mengetik keyword "Cerpen Anggun Prameswari" di Google. Dan di tautan pertama yang muncul adalah alamat situs majalah AnekaYess! berisi cerpen "Cantik" yang ditulis oleh Anggun Prameswari. Silakan cek tautannya di sini. Dari keterangan yang tercantum di situs itu, tanggal pemuatannya 12 Februari 2010.

Kaget dong! Tentu saja termasuk senang karena ada satu cerpenku, my baby, yang menemukan rumah bernaungnya. Nggak ada rasa kesal atau jengkel, tapi excited. Tapi kemudian, tanda tanya mulai bermunculan. "Kok aku nggak tahu cerpenku dimuat di majalah sebesar majalah Aneka Yess! Di mana nih missing link-nya?"

Seperti anak muda jaman sekarang, aku berbagi kisah di linimasa. Salah satu respons yang kuterima dari mbak Jia yang ternyata juga mengalami hal yang sama. Justru beberapa kali ia tahu kalau cerpennya dimuat dari teman atau followernya. Aku pun mention ke akun twitter Majalah Aneka Yess! dan ternyata mereka memberikan respons yang sangat baik. Mereka berjanji akan mengusut hal ini.

Keesokan harinya, mereka memberitahu via Direct Message kalau cerpenku memang dimuat di Majalah Aneka Yess! edisi 19 tahun 2005. Sedangkan tanggal pemuatan via situs adalah 12 februari 2010. Aku baru tahu kalau cerpen itu dimuat berkat Google tanggal 2 Februari 2012. Lucu ya. Jadi ada jeda hampir sepuluh tahun sejak cerpen itu selesai sampai blog ini ditulis. Sebuah perjalanan yang panjang! Tentang honor pemuatan pun sedang ditelusuri oleh pihak majalah Aneka Yess! Semoga aku masih bisa mendapatkan hak saya itu. Sekaligus majalah aslinya untuk arsip pribadi. Maklum, aku memiliki record yang cukup rapi untuk inventarisasi cerpen-cerpen itu. They are my babies, so I treat them carefully and nicely.

Sampai sekarang belum ada berita apa-apa lagi dari pihak majalah tersebut. Tapi semoga akan ada jalan terang tentang ini, setidaknya copy majalah Aneka Yess! yang memuat cerpenku supaya aku bisa melengkapi catatan cerpen di folder pribadiku.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 10, 2012 00:19

December 1, 2011

"Wanita Bergaun Merah" di antologi BookOfCheat#1


/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} [image error]
Potongan gambar menyambar benakku, seperti tebaran puzzle. Yang kuingat cuma selembar gaun berwarna merah. Tak ada yang istimewa dengan modelnya. Hanya sebuah gaun berpotongan dada terbuka dan bertali kecil mengait di bahu. Warnanya merah menyala. Warna merah tua yang sanggup menusuk-nusuk mataku. Apa arti warna merah itu? Sebuah kenangan yang lama. Hanya saja kenapa saat kupikirkan itu, rasanya seluruh energiku habis? Sepotong gaun merah. Tampaknya penuh arti. Lalu apa artinya? Di mana aku pernah melihatnya? Siapa pemiliknya? Semuanya begitu buram.

Itu kutipan cerpen "Wanita Bergaun Merah" yang masuk ke dalam antologi cerpen "Book Of Cheat#1" yang diterbitkan oleh @nulisbuku, sebuah self-publishing service. Awalnya saya tertarik dengan tawaran mbak @yuska77 ketika membuat proyek BOOK OF CHEAT ini. Saya percaya bahwa setiap karya selalu memiliki singgasananya sendiri. Maka saya pilihlah cerpen ini, sebuah cerpen lama yang menunggu terbang ke nirwana menjemput singgasananya.

Ini cerita seorang wanita yang jatuh cinta. Bukankah cinta itu indah? Tapi masa lalunya menghantui dalam potongan-potongan imaji berupa "Wanita Bergaun Merah". Lebih lanjutnya, silakan klik di sini.

/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin-top:0in; mso-para-margin-right:0in; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0in; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} Aku menyesal sudah bertanya. Jawabannya pasti akan menyakitiku. Karena aku benci realita. Tidak dulu atau sekarang. Entahlah, aku tidak pernah berteman baik dengan kenyataan. Aku selalu bermusuhan, selalu mencoba berlari walau pun selalu gagal.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 01, 2011 21:40

Anggun Prameswari's Blog

Anggun Prameswari
Anggun Prameswari isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Anggun Prameswari's blog with rss.